Langsung ke konten utama

Karya Saya

Berikut ini adalah beberapa karya yang sudah saya tulis. Semuanya memiliki kenangan dan kesenangan tersendiri juga pelajaran supaya kelak saya lebih baik lagi dalam berkarya.

Naskah drama 

  •   Naskah Drama "Himmelreich" (2016)
  •   Naskah Drama "Dear Faustus" (2017)
  •   Naskah Drama Musikal "Sunyi Boonyi" (2020)


Buku Antologi

  •   Antologi Sastra Bandingan Menelisik Teks (2012)
  •   Antologi cerpen b.Inggris "Journey" (CV. Semiotika, 2019)
  •   Antologi memoar "Menjadi Ibu Itu Berat, Tapi Nikmat" (Nulisyuk, 2023)
  •  Antologi fiksi " Anakku Istimewa"  (PT. Literasi Anak Negri, 2023)
  • Antologi non-fiksi "Bersama Meraih Mimpi: Curhatan hati sang pengabdi" (CV. Alineaku, 2023)
  • Antologi memoar "Persimpangan Jalan" (Zahir Publishing, 2023)

Buku

  • Bunga Rampai Rancage "Sastra dan Budaya" (2010)
  • Buku Teks Selingkung "Pengantar Sastra dan Budaya Inggris" (2012) 

Beberapa karya berupa artikel ilmiah dapat diakses melalui tautan  https://scholar.google.com/citations?user=zUNoUvgAAAAJ&hl=en&oi=ao 

Beberapa artikel populer yang sudah dipublikasi di portal media daring dapat diakses melalui tautan https://muckrack.com/nenden-rikma-dewi-s

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a