Langsung ke konten utama

Bookstagram 101: Tips Nge-Bookstagram Untuk Pemula


"Pengen deh rasanya jadi booktok atau bookstagram, tapi gimana ya?"
Kalau sempat terlintas di pikiran kita soalan di atas, tulisan saya kali ini pas untuk disimak.

Tahu ngga kalau hobi membaca dan senang berbagi pengalaman soal buku bisa banget jadi bekal kita sebagai seorang bookstagram? Sering kita melihat foto-foto buku  aesthetic, review dan rekomendasi buku, dan tips baca buku dalam setiap akun seorang bookstagram. Kalau kita tertarik untuk jadi seorang bookstagram, ternyata ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Nah, tulisan ini adalah intisari dari diskusi daring perdana Chillax di Instagram pada Juni lalu. Bahasan topiknya adalah kehadiran buku di era digital dan bookstagram. Diskusi ini mengundang seorang blogger, bookstagram, content writer sekaligus brand ambassador Asus, Listiorini Ajeng Purvasti.


Listiorini akrab dipanggil Ori sering merekomendasi buku-buku keren di akun Instagramnya. Saat ini Ori juga mengelola laman blognya sendiri yaitu HobiHepi.com yang banyak menulis tentang gaya hidup, musik, film dan lainnya bertema K-Pop. 

Ori berbagi pengalamannya ketika memulai dan mengembangkan akun bookstagram-nya, termasuk bagaimana dia mengatur waktu membaca, memilih buku, dan membuat konten bookstagram yang menarik.

Berikut ini tips untuk nge-bookstagram untuk kita sebagai pemula:


Membaca buku yang disukai

Sering juga kita dapat rekomendasi buku dari media sosial atau teman, kita bisa menjadikannya sebagai referensi. Memang ada beberapa buku yang sesuai selera atau minat kita, ada juga yang tidak. Membaca buku yang kita suka ternyata penting banget karena kita bisa lebih leluasa.

Ada saatnya selera kita juga berganti seiring suasana hati atau perubahan cara berpikir. Ini juga sangat penting untuk kita menjadi seorang bookstagram. Jadi ketika minat kita berubah, sebaiknya disiasati dengan membuat daftar buku bacaan. 

Menulis dengan konsisten

Setelah membaca buku yang kita sukai, langkah berikutnya adalah menulis pengalaman membaca kita. Tulisan pertama kita sangat mungkin belum sempurna, tapi terus menulis dan mencari tahu dari para bookstagram atau blogger bisa membuat tulisan kita berkembang.

Konsisten menulis adalah tantangan buat siapapun termasuk para penulis. Kalau kita masih pemula, menulis beberapa kalimat setiap hari bisa dilakukan. Memilih waktu yang bisa tepat untuk menulis dan tempat yang nyaman adalah strategi untuk bisa rutin menulis.

Memberi ulasan yang jujur tapi menghargai 

Ketika kita menulis sebuah ulasan buku, penting banget untuk jujur tentang isi buku itu. Tentunya kita harus tetap menghargai karya yang dibaca dan penulisnya. Salah satu langkah awalnya adalah memulai dengan pendapat tentang hal-hal yang kita sukai dari buku itu sebelum masuk ke kritik. 

Setelah itu, barulah disampaikan alasan pendapat kita supaya orang lain bisa lebih paham sudut pandang kita. Meski kita tidak menyukai atau tidak sesuai dengan harapan, dalam menulis ulasan pun bahasanya harus tetap sopan dan tidak merendahkan. 


So, kalau kita sudah tertarik dan berminat jadi seorang bookstagram, kita perlu ingat bahwa perjalanan ini membutuhkan waktu dan bisa sangat menyenangkan! Dengan tiga tips dari pengalaman pribadi Ori, perjalanan bookstagram kita sendiri bisa dimulai. Mulailah dengan membaca buku yang kamu sukai dan jangan ragu untuk berbagi pengalamanmu. Konsistensi dalam menulis juga kunci penting; mulailah dengan beberapa kalimat setiap hari dan lihat bagaimana tulisanmu berkembang seiring waktu.

Semua orang memulai dari awal dan pasti sulit, kita nikmati saja prosesnya. Siapa tahu, perlahan tapi pasti tulisan kita membaik bahkan bisa jadi inspirasi bagi orang lain untuk berbagi kecintaan mereka pada buku juga! 

Selamat mencoba, dan semoga perjalanan bookstagrammu jadi pengalaman yang seru dan menyenangkan!

Komentar

  1. Konsistensi adalah kunci, tp tantangannya keseringan kepentok di jari nihh 🙈 terima kasih sharingnyaa sangat bermanfaat 🤍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini tantangan untuk kita sama-sama atasi ya >.<

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a