Langsung ke konten utama

Membaca Nyaring vs. Mendongeng: Apa Sih Bedanya dan Kenapa Penting?



Masih ingat saat-saat orang tua atau kakek-nenek kita mendongeng? Kita bahkan menghabiskan berjam-jam untuk mendengarkan ceritanya. Mulai dari kisah pengalaman mereka semasa kecil sampai dongeng yang mereka dapat dari orang tua atau kakek-neneknya.

Membangkitkan kenangangan ya. Nah selain mendongeng yang sudah kita dengar sejak lama, ada satu lagi cara untuk bercerita. Namanya adalah membaca nyaring atau read aloud. Banyak pelatihan dan kegiatan yang menawarkan membaca nyaring untuk para orang tua dan pendidik.

Tetapi, sebenarnya pernahkah kalian bertanya-tanya apa bedanya antara membaca nyaring dan mendongeng? Keduanya terdengar mirip ya padahal sebenarnya ada perbedaan yang cukup menarik, lho. Yuk, kita bahas bersama-sama! 

Reading aloud is an important practice, even for adults. It helps us slow down, appreciate the beauty of language, and immerse ourselves in the world of the story. (Unknown)

Membaca Nyaring (Read Aloud)

Membaca nyaring adalah ketika kita membaca teks yang sudah tertulis dengan suara keras, jelas dan penuh ekspresi. Bacaan yang seringkali digunakan dalam membaca nyaring adalah buku cerita, buku bergambar, cerpen, puisi, artikel atau apapun saja.

Membaca nyaring ini mendorong kita untuk menghidupkan cerita dengan menciptakan nuansa melalui beragam suara. Selain itu, membaca nyaring juga bisa menyampaikan pesan berupa nilai atau moral dari bacaan. 

Manfaat membaca nyaring untuk si kecil
Sumber: Olly via Pexels.com

Seringkali pembacanya adalah orang tua dan guru di sekolah. Namun, sekarang ini sudah banyak kegiatan dan pegiat yang mengajak anak-anak untuk membaca nyaring.  Lalu apa saja manfaatnya?

Pertama, ketika kita membacakan nyaring pada si kecil dengan ekspresi yang pas, volume suara dan intonasi yang beragam si kecil bisa memahami isi bacaan dengan mudah.

Kedua, si kecil berlatih untuk mengembangkan kemampuan mendengar secara aktif dan memahami berbagai kosa kata baru.

Ketiga, membaca nyaring yang dilakukan oleh si kecil bisa membantunya berlatih keterampilan berbicara. Begitu juga sebagai orang tua atau orang dewasa, kita bisa berlatih untuk lebih ekspresif dalam berbicara di depan umum.

Keempat, melatih konsentrasi dan memori si kecil sehingga dia bisa menyampaikan kembali cerita dengan bahasanya sendiri.

Kelima, membangun kelekatan (bonding) antara orang tua dan anak-anak sehingga mereka merasa lebih tenang, aman dan nyaman.


Mendongeng

Mendongeng adalah kegiatan yang bisa dilakukan siapapun lho. Kita bercerita dengan suara yang hidup dan penuh ekspresi, mengajak pendengarnya masuk ke dalam dunia yang penuh imajinasi. Kita mengajak pendengar alias di kecil untuk membayangkan berada dalam cerita. Bayangkan saja, kita bisa terbang ke negeri dongeng atau berpetualang bersama pahlawan super hanya dengan kata-kata!

Manfaat mendongeng untuk si kecil
Sumber: CNN Indonesia

Mendongeng bukan hanya untuk hiburan, lho. Kita bisa bercerita kapan dan di manapun bersama si kecil, atau mengaitkannya dengan pelajaran. Lewat cerita, anak-anak bisa belajar banyak hal tanpa merasa bosan.

Sepertihalnya membaca nyaring, mendongeng pun punya banyak sekali manfaat. Nah lihat yuk apa saja manfaatnya.

Pertama, dengan mendengar cerita membuat si kecil berimajinasi secara kreatif.

Kedua, imajinasi mereka yang semakin kaya dan kreatif akan mendorong si kecil untuk membuat ceritanya sendiri.

Ketiga, kosa kata si kecil dapat bertambah dan pemahamannya dalam menyusun setiap kata menjadi memiliki makna semakin terlatih.

Keempat, si kecil atau kita seing merasa kurang percaya diri kan? Ternyata dengan mendongen, kita dan si kecil sama-sama dapat berlatih untuk berbicara dengan baik, jelas, terstruktur dan ekspresif.

Nah, setelah tahu semua manfaat dari membaca nyaring dan mendongeng semakin semangat untuk membaca buku kan? Yuk pilih buku terdekat dan termudah untuk kita baca bersama si kecil.












Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a