Langsung ke konten utama

Kenapa Membaca dan Menulis Penting Banget untuk Anak Muda Seperti Kamu?

Pentingnya membaca dan menulis bagi Gen Z

Bayangkan dunia tanpa buku, novel, cerpen atau bahkan pesan singkat di ponsel. Membosankan, bukan?

Belakangan banyak pendidik dan orang tua yang mengeluhkan anak remaja dan dewasa mudanya yang kesulitan membaca. Tentunya bukan soal membaca dalam hal mengartikulasikan setiap kata, frasa, klausa dan kalimat. Mereka sangat pintar membaca. Namun, membaca dalam arti yang lebih dalam seperti mengetahui maksud, makna yang tersirat atau menafsirkan menjadi momok buat mereka.

Membaca dan menulis adalah dua keterampilan dasar yang sering kali kita anggap remeh, padahal keduanya sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun, fenomena yang mengkhawatirkan saat ini adalah banyak anak muda yang memilih untuk tidak membaca atau bahkan tidak suka membaca. 

If you want to know who you are, you have to be willing to look at yourself and be honest about it. Reading and writing can help you do that. (Emma Watson)

Tuh Kakak Emma Watson menyebutkan kalau kita ingin mengenali diri sendiri, kita harus mau mencari tahu dan jujur dalam prosesnya dengan bantuan membaca dan menulis. Lalu, sebenarnya apa sih alasan membaca dan menulis menjadi kunci untuk membuka berbagai pintu kesempatan, khususnya bagi generasi muda?

Pertama, membaca adalah jendela dunia. Melalui membaca, kita bisa menjelajahi berbagai belahan bumi, memahami budaya yang berbeda, dan mendapatkan pengetahuan tanpa batas. Apakah kamu tahu tentang tablet yang kita anggap sebagai teknologi mutakhir itu ternyata terinspirasi dari peradaban kuno di Mediterania?

Semua informasi itu tersedia dalam berbagai bentuk bacaan. Dengan membaca, kita tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga melatih otak untuk berpikir kritis dan analitis. Sayangnya, banyak anak muda yang lebih memilih hiburan instan seperti media sosial atau video game. 

Untuk sesekali memainkan keduanya tentu tidak masalah, menghibur diri dengan bermain memang perlu juga dilakukan. Tetapi kita seringkali terjebak dan tidak mendapatkan manfaat intelektual dari keduanya.

Padahal, membaca bisa menjadi sumber inspirasi dan hiburan. Novel favorit, artikel menarik, atau bahkan puisi pendek bisa menjadi pelarian dari rutinitas yang membosankan. Dalam halaman-halaman buku, kita bisa menemukan inspirasi untuk mencapai impian dan tujuan hidup kita. 

Membaca juga dapat meningkatkan empati kita dengan mengajak kita masuk ke dalam kehidupan dan pikiran orang lain. Namun, kurangnya minat baca di kalangan anak muda bisa menghambat perkembangan empati dan kreativitas kita. Untuk mengatasi ini, ada beberapa buku ringan dan relevan yang dapat menarik minat anak muda.

Sumber: hot.detik

Misalnya,  buku berjudul You Do You karya Fellexandro Ruby yang bisa menjadi panduan praktis tentang bagaimana menemukan jati diri dan meraih kebahagiaan dengan menjadi diri sendiri. Buku ini ringan, santai dan cukup relatable, untuk kamu yang sedang mencari arah dalam hidup.

Sumber: Gramedia.com

Bisa juga membaca buku Garis Waktu dari Fiersa Besari untuk kamu yang ingin mencoba membaca puisi dan prosa. Buku ini adalah kumpulan puisi dan prosa yang menggambarkan perjalanan cinta dan kehidupan. Fiersa Besari yang juga seorang musisi berhasil menyampaikan emosi yang mendalam dengan kata-kata  sederhana dan mudah dipahami.

Sumber: Gramedia.com

Buku lainnya adalah Ikigai: Rahasia Hidup Bahagia dan Panjang Umur dari Jepang karya Hector Garcia dan Francesc Miralles. Kalau kamu sering mendengar kata Ikigai tapi belum mengerti maksudnya, buku ini bisa jadi referensi bacaanmu. Buku ini menginspirasi kita dengan melatih kebiasaan dan mencari alasan kuat untuk kita bangun di pagi hari.

Kedua, menulis adalah cara kita mengekspresikan diri dan mengomunikasikan ide-ide kita kepada dunia. Apakah itu melalui tulisan di media sosial, esai di sekolah, atau laporan pekerjaan, menulis membantu kita menyampaikan pesan dengan jelas dan efektif. 

Membaca erat kaitannya dengan menulis, keduanya saling menopang. Kemampuan menulis yang baik juga bisa membuka banyak peluang, seperti kesempatan kerja yang lebih baik atau kemampuan untuk memengaruhi opini publik. Sayangnya, tanpa kebiasaan membaca yang baik, kemampuan menulis juga akan terpengaruh, karena membaca adalah salah satu cara terbaik untuk belajar struktur bahasa dan gaya penulisan yang baik.

Sebenarnya menulis memiliki manfaat pribadi. Dengan menulis, kita bisa merefleksikan pengalaman dan perasaan kita sehingga kita bisa mengetahui perubahan-perubahan yang kita alami. Menulis jurnal, misalnya, bisa membantu kita memahami diri sendiri dan mengatasi berbagai masalah emosional. Namun, tanpa minat pada membaca, banyak anak muda kehilangan kesempatan untuk menggunakan menulis sebagai alat refleksi diri yang efektif.

Di era digital ini, banyak  anak muda yang menganggap membaca dan menulis sebagai aktivitas yang kuno, atau tepatnya membosankan. Padahal, kemampuan ini semakin penting untuk menghindari informasi yang salah dan hoaks. Dengan membaca kritis, kita bisa memfilter informasi yang valid dan berguna. 

Dengan membaca kritis, hasil pembacaan kita pun kemudian bisa kita salurkan melalui tulisan. Menulis dengan baik pun membantu kita menyampaikan argumen yang kuat dan berdampak lho. Untuk anak muda, ini adalah keterampilan yang sangat berharga di tengah banjir informasi di dunia digital saat ini.

Jadi, menulis dan membaca adalah fondasi yang membantu kita tumbuh sebagai individu yang berpengetahuan, kritis, dan kreatif. Yuk, kita luangkan waktu setiap hari untuk membaca sesuatu yang baru dan menulis pikiran kita, karena dengan begitu, kita sedang membangun masa depan yang lebih cerah dan penuh peluang. 

Siapa tahu, kamu bisa menjadikan membaca sebagai salah satu hobi yang paling menyenangkan dan bermanfaat!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a