Langsung ke konten utama

Semalam #DebatCapres Lagi. Tapi, Tahukah Kamu Sejarah Debat Di Dunia?

 

There are two sides to every question. (Protagoras)

Sempat menyimak debat calon presiden (Capres) ke-3 semalam? Tema debat semalam memang cukup ramai karena berkaitan dengan kondisi riil sekarang ya. Peperangan di dunia, potensi peperangan di Laut Cina Selatan, ketahanan dan pertahanan nasional juga banyak lagi disebut ketiga capres dalam penyampaian visi misi dan tanya jawab.


Anies, Prabowo, Ganjar
Debat Capres ke-3
(Tangkapan layar via Youtube tempo.co)


Sejak Debat Calon Presiden 2024 dilaksanakan pertama kali pada 12 Desember 2023, antusiasme dan animo masyarakat terhadap debat semakin meningkat. Mereka menganggap debat kali ini memiliki nuansa atau keunikan tersendiri. Sebenarnya debat sendiri bukan barang baru di dunia politik. 

Kita bisa menelusurinya hingga era Yunani Kuno di sebuah pusat diskusi bernama Agora dan sampai sekarang masih dikenal istilah "Agora Debate". Cari tahu lebih lanjut yuk.

Sejarah Awal Debat

Banyak naskah sejarah menyebut bahwa abad ke-5 SM adalah era paling penting dalam sejarah debat di Yunani Kuno. Masyarakat, para cendikiawan, filsuf dan siapa saja bisa menyampaikan gagasanya di bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum. Mereka sering berkumpul di satu tempat terbuka dam saling beradu argumentasi bahkan mari kesepakatan atas permasalah yang dihadapi.

Saking seringnya mereka berkumpul dan berdiskusi, muncullah orang-orang yang disebut sophist. Konon mereka adalah para filsuf dan guru yang mengajarkan keterampilan beretorika dan berargumentasi. Mereka sering melakukan perjalanan dan mengajarkan logika dan keterampilan berbicara. Salah satu tokoh sophist yang terkenal ini adalah Protagoras.

Protagoras konon adalah sosok berpengaruh bagi Socrates. Salah satu metode paling terkenal dari Socrates adalah metode dialektika dan pengajuan pertanyaan kritis terhadap audien. Metode ini sebenarnya adalah bagian yang dipelajarinya dari Protagoras bahwa dialog dan bertanya adalah cara untuk memahami lebih dalam. 

debat dan cicero
Cicero dan retorikanya
(Sumber: weebly.com)

Di Romawi Kuno, ada juga forum semacam ini bernama Forum Romawi dan Senat Romawi. Keduanya digunakan untuk beretorika, berdiskusi, berdebat dan berargumentasi khususnya di bidang politik dan hukum. Salah satu tokoh paling terkenal dan menjadi teladan dalam retorika adalah Marcus Tullius Cicero. Cicero konon berhasil membujuk Senat Romawi untuk bertindak terhadap konspirasi Catiline. 

Berbeda dengan era klasik, debat di Abad Pertengahan di Eropa cenderung pada permasalahan teologis dan filosifis, dan politis. Mereka mengembangkan cara berpikir dan berargumentasi dengan tujuan mencari kebenaran. Perdebatan mereka dikenal sebagai Disputationes yang dilakukan secara lisan dan tulis.

Tidak cuma beretorika dan beragumentasi, mereka juga memberi tanggapan dan refleksi kritis pada saat debat. Salah satu teolog yang terkenal dalam hal ini ada Saint Thomas Aquinas dan Saint Anselm of Canterbury. Keduanya memiliki karya berisikan perdebatan filosofis dan teologis.

Era Renaissance dikenal sebagai era pencerahan di Eropa sehingga debat pada masa ini menjadi sarana penting untuk memperjuangkan gagasan filosofis, politis dan keilmuan baru yang melawan dogma dan otoritas tradisional. Era ini sering disebut kemunculan pemikiran rasional, kebebasan berpikir, hak asasi manusia dan peran negara dan masyarakat. 

Para filsuf seperti John Locke, Rene Descartes, Jean-Jacques Rousseau dan Voltaire adalah sedikit dari banyak pemikir yang berargumentasi menggunakan logika, deduktif dan kritis. Ini berkembang dan memengaruhi dunia intelektual dan sosial di era modern, bahkan sampai era kontemporer ini. 

Di era Modern, tema atau isu yang dibahas tidak melulu politik dan hukum. Banyak isu terkait lingkungan, hak asasi, ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi. Debat bahkan sudah menjadi bagian dari diskusi akademik karena kita didorong untuk berpikir kritis, mengumpulkan fakta dan bukti, mencari refernsi dan sumber yang terpercaya. 


Perbedaan Debat Dulu dan Kini

Setiap era memiliki karakteristik dan ciri khasnya sendiri, perubahan lazim terjadi sebagai bentuk dari adanya evolusi pemikiran, perubahan sosial, pergeseran nilai-nilai dan perkembangan teknologi. Kita bisa mencari tahu bagaimana hal-hal itu memengaruhi debat di era klasik dan kontemporer lho.

Debat di era klasik, Yunani dan Romawi Kuno, cenderung fokus pada seni berbicara dalam debat. Mereka sering melakukan debat dengan forum atau lokasi yang terpusat di mana orang-orang banyak berkumpul. Selain itu, mereka bertujuan untuk mencari kebenaran dan pemahaman mendalam tentang isu-isu di sekitar.


Format debat model United Nations
(Sumber: bestdelegate.com)

Sementara di era kontemporer ini, debat terkesan menjadi lebih terstruktur karena ada perbedaan antara debat di pemerintahan, di kompetisi dan debat politik seperti dalam pemilihan kepala daerah. Ada optimalisasi teknologi dan media sosial sehingga siapapun bisa menyimak debat secara langsung atau siaran tunda.

Selain itu tema atau isu yang dibahas pun lebih beragam dan menawarkan persepektif yang berbeda juga. Mereka yang terlibat forum debat dituntut untuk memiliki keterampilan verbal dan nonverbal sehingga mereka bisa memberi argumentasi dan persuasi yang kuat juga logis.

Dengan segala keunggulan yang dimiliki seorang debater, hal yang perlu tetap dijaga dalam melakukan debat adalah etika. Kita harus mampu menghormati argumentasi lawan, memberi tanggapan yang efektif dan sesuai dengan pertanyaan atau pernyataan, juga memberi kesempatan supaya orang-orang awam dapat memahami. 

Nah jadi kira-kira debat capres semalam membuat kita paham tentang pertahanan, keamanan, hubungan internasional dan geopolitik atau justru semakin bingung? Tuliskan opini kalian di komentar ya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a