The Purpose of learning is growth, and our minds, unlike our bodies, can continue growing as we continue to live. (Mortimer Adler)
Menjelang akhir tahun 2023, Mendikbudristek Nadiem Makariem menyampaikan skor pencapaian kemampuan membaca Indonesia di tahun 2022. Indonesia mendapat skor 359 poin dalam penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) itu. Goodstats menyebutkan bahwa angka ini justru terendah sejak 2000, sebab Indonesia pernah mencapai skor 402 di 2009.
Tahun 2018 saja Indonesia mendapat skor 371 poin untuk kemampuan membaca. Memang sih banyak faktor penyebab yang bisa membuat skor ini anjlok. Salah satunya bisa jadi karena penilaian ini dilakukan ketika kita sedang ada dalam kondisi pandemi Covid-19 sehingga kegiatan pembelajaran menjadi tidak maksimal.
Meski sebetulnya ini juga bisa disiasati dengan kegiatan dan proses pembelajaran di rumah bersama orang tua. Sayangnya memang kondisi di lapangan tidak ideal dan jauh dari harapan, apalagi ketika sekolah melakukan metode pembelajaran jarak jauh alias (PJJ) secara daring. Alhasil kita juga anak-anak menjadi lebih akrab dengan pembelajaran daring lewat gawai.
Manfaatnya tentu banyak apalagi dengan koneksi internet membuat informasi yang dicari menjadi lebih mudah. Akses literatur pun bisa dilakukan kapan dan di mana pun tanpa harus menunggu. Sayangnya, kondisi ini juga membuat kita, anak-anak khususnya, menjadi tidak kritis dan mengalami penurunan kemampuan menulis dan membaca.
Ya bagaimana tidak, apapun yang ingin dicari malah bisa diakses dengan bantuan kecerdasan artifisial alias AI dalam hitungan detik. Otak kita tidak diberi kesempatan untuk membaca, mengolah dan menyortir informasi yang masuk sehingga kemampuan berpikir kritis pun perlahan hilang. Lalu, cara mengatasinya apakah harus menghentikan akses digital?
Mengkolaborasi metode tradisional dan digital untuk pembelajaran yang lebih efektif (Foto: Firmbee.com via Unsplash) |
Tentu tidak. Kita bisa menggunakannya bersamaan. Bahkan saya pribadi merasakan manfaat yang sangat luar biasa ketika mengkolaborasikan pembelajaran secara daring dan digital dengan metode tradisional. Tubuh kita memang bereaksi beda ketika menulis secara manual menggunakan alat tulis dan mengetik pada keyboard. Kemampuan motorik dan sensorik menjadi terlatih, malah justru ini mendorong peningkatan kemampuan literasi, khususnya berpikir kritis.
Digitalisasi memang tidak bisa ditolak tetapi kita perlu mengasah kemampuan kita dulu secara manual sehingga tidak menjadi hampa. Secara manual yang saya maksud tentunya adalah menulis dengan alat tulis seperti pensil dan pulpen pada media kertas. Selain itu membaca buku fisik daripada buku elektonik juga bagian dari pembelajaran manual.
Meski terkesan kuno, menulis dan membaca secara manual sebagai metode pembelajaran tradisional ini malah sangat baik dalam melatih keterampilan literasi. Tidak heran pemerintah Swedia melalui Menteri Pendidikan, Lotta Edholm membuat kebijakan untuk menghentikan pembelajaran secara digital bagi siswa di bawah 6 tahun.
Edholm mengambil kebijakan untuk memperlambat digitalisasi pada usia dini. Langkahnya ini didasari penelitian yang menunjukkan anak-anak, khususnya generasi Z, mengalami penurunan dalam kemampuan membaca. Pada tahun 2021, skor pencapaian membaca anak-anak Swedia turun menjadi 544 poin dari 555 poin pada tahun 2016. Mereka memutuskan supaya anak-anak menulis dan membaca secara manual dan proses pembelajaran dilakukan secara tatap muka.
Lalu bagaimana dengan Indonesia yang malah di skor 359?
Sudah saatnya kita memulai dari rumah dan dari sekarang untuk memperbaiki kondisi ini. Sebelum itu, kita perlu menyadari bahwa masih ada orang tua yang kurang perhatian pada minat baca. Selain itu, kesalahpahaman tentang konsep kemampuan membaca dan kurangnya fasilitas perpustakaan atau taman bacaan. Bahkan kualitas guru pun menjadi masalah yang belum selesai diatasi.
Setelah mengenali dan menyadari semua masalah itu, barulah kita mencoba untuk mengatasi dan meningkatkan kemampuan literasinya. Kita bisa melakukan bebeapa upaya seperti menunda pemberian dan penggunaan gawai terkoneksi internet pada anak-anak dan remaja, mengajak mereka beraktifitas tradisonal yang menggunakan tangan seperti menulis, menggambar, melukis dan lainnya
Mengajak anak-anak mengunjungi toko buku dan mengizinkan mereka memilih buku yang diinginkan bisa menjadi upaya berikutnya. Sebagai orang tua atau orang dewasa kita kemudian bisa mengajak mereka berdiskusi terkait buku yang mereka pilih dan baca. Berikutnya, kita bisa mendorong mereka, khususnya anak-anak pembaca madya dan mahir, untuk menuliskan pemikiran mereka tentang buku yang dibacanya.
Dengan melakukan kegiatan-kegiatan ini, kita tidak hanya memperbaiki cara belajarnya, tetapi juga menyiapkan mereka menjadi manusia modern. Manusia yang memahami teknologi adalah alat sehingga untuk menggunakannya kita membutuhkan pemahaman dan keterampilan. Manusia modern yang tidak sepenuhnya mengandalkan teknologi untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi.
Seperti yang disampaikan Mortimer Adler bahwa tujuan dari belajar adalah pertumbuhan. Pikiran kita tidak berbeda dengan tubuh yang akan berhenti untuk bertumbuh. Pikiran kita dapat dan akan terus tumbuh selagi kita hidup. Yuk, kita bertumbuh menjadi pembelajar sejati dan manusia modern yang unggul.
Belajar kembali mengasah yang manual. Semoga bisa
BalasHapusInsya Allah bisa, semangat Bun.
HapusMoment bersama anak saat ini sejati adalah proses menyiapkan mereka untuk masa depan. Termasuk membacakan buku buat anak. Aaah jadi pengingat.
BalasHapusBetul, Bun. Terkadang pas lelah membacakan jadi terkesan formalitas atau rutinitas semata ya Allah
HapusSemuanya dimulai dengan pembiasaan di keluarga ya dan menjadi role model yang baik. Jangan sampai meminta anak menjadi pencinta buku, kita (terutama saya) gak pernah baca buku.. Hehe
BalasHapusiya betuk Bun, mereka belajar lebih baik dgn melihat kita.
HapusWah bener bgt yah, berawal harus dibiasakan agar jadi terbiasa, reminder buat aku pribadi
BalasHapusSemangat Bun.
BalasHapus