Langsung ke konten utama

Masih Perlukah Resolusi di Awal Tahun Baru?

welcome 2024
Disunting menggunakan Canva

 

Bagaimana rasanya tahun sudah berganti hanya dalam sekejap mata?

365 hari di tahun 2023 kemarin sudah berhasil kita lalui dengan berbagai kisah, suka dan duka. Banyak hal yang menyenangkan sekaligus mengecewakan. Kenangan baik dan kenangan buruk menjadi pengalaman dan pelajaran untuk kemudian kita melangkah kembali di tahun ini.

Rasanya memang berat melangkah ketika setengah dari jiwa kita masih ingin tetap di masa lalu. Namun, wakt uterus berjalan dan dunia terus berputar. Lalu bagaimana dengan resolusi yang kita buat di tahun lalu?

Dari sekian banyak bucket list yang kita buat, semoga sbagian besar sudah kita lakukan atau capai. Beberapa yang belum, kita masih ada waktu untuk melakukannya kali ini. Jadi masih perlukah kita membuat resolusi tahun baru untuk tahun ini?

Sebenarnya membuat resolusi tahun baru punya beberapa manfaat, hanya saja kita membuatnya terlalu ideal atau bersikap sangat perfeksionis. Alhasil, sulit untuk kita melakukannya satu per satu. Nah, manfaat apa yang bisa kita dapat dari membuat resolusi untuk pribadi?

resolusi tahun baru
Tim Mossholder via Unsplash

Refleksi diri

Seringkali kita merasa tidak melakukan apapun, padahal tanpa disadari kita memiliki kebiasaan baru atau pencapaian yang besar. Sebut saja beberapa dari kita sulit untuk membiasakan diri untuk meminum air putih, tapi kali ini kita bisa menghabiskan 1 - 2 liter setiap hari.

Fokus dan terarah

Dengan banyaknya hal yang kita kerjakan atau ingin dicapai, seringkali kita menjadi tidak bisa menentukan prioritas. Resolusi membantu kita untuk menentukan prioritas sehingga kita tetap on track dengan tujuan. Misalnya, kita ingin menguasai bahasa Inggris dengan baik, maka meluangkan waktu dan bergabung dengan komunitas belajar bisa membantu.

Inspirasi

Ketika kita terbiasa merekam perjalanan selama 365 tahun lalu, bukan hanya orang lain yang bisa terinspirasi melainkan kita juga. Kita belajar menjadi lebih baik dari perjalanan hidup orang lain dan diri sendiri. Dengan banyaknya produk plastik di sekitar kita, menggunakan bahan daur ulang atau menggunakan kembali barang yang tidak terpakai bisa menjadi salah satu contoh menginspirasi.

Nah supaya resolusi tahun baru kita bisa berjalan dengan baik, bersikap realistis dan bertanggungjawab adalah dua hal yang perlu dilakukan. Yuk membuat resolusi tahun baru atau melanjutkan PR tahun lalu kali ini dengan semangat.

Selamat tahun baru 2024.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a