Langsung ke konten utama

Menulis Sebagai Katarsis: Sebuah perjalanan menerima keriuhan dalam diri

 

Writing for healing


Beberapa tahun belakangan ramai sekali pembahasan soal writing for healing alias menulis sebagai bentuk terapi. Sebenarnya untuk kebanyakan, menulis jadi sebuah aktifitas yang gampang-gampang susah atau malah susah-susah gampang. 

Saya pribadi harus jujur kehilangan momen yang menikmati proses menulis untuk pelepasan beban emosi cukup lama. Sekitar 2 tahun lalu,saya memaksakan diri untuk mulai membaca dan menyunting beberapa tulisan lama. 

Tahun 2023 menjadi garis start untuk saya kembali menulis dalam bentuk blog, esai dan semi otobiografi. Dari sinilah akhirnya tiga buku karya saya berhasil terbit. Tiga buku yang betul-betul menguras emosi.


Awal kembali menulis

Awal tahun 2023, saya keukeuh dan menguatkan diri untuk menbghidupkan kembali blog yang sudah lama hiatus. Saya bergabung dengan komunitas blogger, ODOP, dan menemukan tempat belajar baru. Menulis yang dulunya adalah keharusan karena tuntutan pekerjaan, pada saat itu menjadi hobi yang dikonsistenkan.

Semua berjalan lumayan lancar. Saya bergabung juga dengan beberapa kelompok penulis, dan salah satunya mendorong saya untuk melakukan refleksi diri. Refleksi atas salah satu peran saya sebagai manusia, yaitu sebagai seorang ibu. 

Bersama setidaknya 30 orang perempuan berstatus ibu, saya menulis sebuah antologi. Sebuah pesan untuk si kecil tentang perasaan saya menjalani peran sebagai seorang ibu. Proses penulisannya tidak mudah, sangat menguras emosi.

Selama proses itu, kami ditemani seorang psikolog. Kami dibantu untuk mengetahui cara yang tepat dalam mengendalikan dan mengelola emosi. Ketika satu per satu dari para ibu menyampaikan keluh kesahnya, I know I'm not the only one and it's okay for being not okay.

Perenungan dan menulis dalam katarsis
(Foto: Arun Anoop via Unsplash.com)


Mencari Safe Place

Sebagai seorang istri yang menjalani long distance marriage (LDM) sekaligus ibu yang mengurus anaknya sendiri, saya mencari safe place. Sebuah tempat yang membuat saya merasa aman atau baik-baik saja dengan segala ketidaknyamanan dalam diri.

Menulis membuat saya merasa aman, tidak perlu takut untuk mengeluarkan segala pikiran. Bagaimana tidak, bukannya perempuan memang harus mengeluarkan lebih dari 20.000 kata tiap harinya?! 

Ini menjadi sulit sebab perjalanan seorang ibu terasa sepi dan sendirian. Kondisi yang makin memburuk ketika support system tidak lagi menjadi support bahkan menjadi sebuah system. Keriuhan dalam hati dan pikiran semakin ramai dan harus disalurkan. 

Menulis akhirnya menjadi pilihan terbaik, saya memberanikan diri terlibat dalam beberapa projek antologi. Tiga projek yang membuat keriuhan itu mendapat wadah dan porsinya sendiri. Kegelisahan, harapan, amarah, sedih dan berbagai emosi lainnya menjadi bahan bakar untukku menulis.

Dengan menulis, rasanya lebih mudah fokus dalam menata pikiran dan lebih mudah mengekspresikan diri. Meski tidak ada lagi kawan untuk berbagi pikiran, menulis baik dengan laptop atau kertas berhasil menjadi kawan berdiskusi yang tidak menghakimi.


Katarsis, sad but good

Beban atau sampah emosi dan/atau pikiran dalam diri memang sebaiknya dibersihkan. Mungkin itu sebabnya dalam ranah psikologi, katarsis diartikan sebagai proses pemurnian, pelepasan, atau pembebasan emosi yang melalui pengalaman atau ekspresi artistik.  Rasanya seperti melihat dan menguliti luka yang sudah kering. 

Menerima dan berdamai dengan rasa sakit, kecewa, sesal, marah dan sedih pastinya bukan gampang. Apalagi kita harus mengungkap lalu memproses semua perasaan terpendam itu lewat kata-kata. Sebelum bisa menerima, hal pertama yang perlu dilakukan adalah belajar untuk melepas. Melepas segala emosi dan beban dalam diri.

Mengenali setiap emosi yang hadir, memilah dan menelusuri penyebabnya itu adalah bagian paling yang menyakitkan. Mengulang setiap episode, bahkan peristiwa traumatis, untuk memahami sehingga rasa lega muncul. Bagian ini sangat menakutkan dan menyakitkan, tetapi untuk bisa lebih baik, mau tidak mau memang harus dilalui. 

Berikutnya kita menjadi lebih melihat secara objektif permasalahan yang muncul. Cara pandang kita pun perlahan akan bisa mengubah emosi dalam diri. Bagi saya memang semua ini menyedihkan harus menguliti diri sendiri, membuka luka yang susah payah ditutupi. Namun, pada akhirnya semua itu baik, untuk diri dan jiwaku. 

Komentar

  1. Definisi blog memfasilitasi kemampuan para ibu yang dapat mengeluarkan 2000 kata per hari. Tambah semangat nulis di 2024 jadinya nih baca tulisan ini. Karena emang menulis itu juga bagian dari proses membersihkan isi kepalaku yang kadang penat sekali mb

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Bun daripada ngedumel ke bocah-bocah ya lebih baik disalurkan ke bocah kertas hehehe. Semangat menulis juga, Bun

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a