Langsung ke konten utama

Selain Alexandria, Ini 5 Perpustakaan Tertua Di Dunia

 Libraries raised me. (Ray Bradbury)

Cepatnya evolusi di bidang teknologi, membuat kita mempunyai akses terhadap literatur lebih luas. Buku-buku fisik tidak hanya menjadi satu-satunya sumber keilmuan dan rujukan. Buku digital juga mendapat pamornya di antara para pembaca yang menginginkan kepraktisan dan efisiensi waktu mebaca. Untuk membaca soal buku digital, bisa lanjut di sini ya.

Tidak aneh dong ya para pembaca baik buku fisik atau buku digital pasti mempunayi koleksi buku di perpustakaan pribadinya. Nah, bicara soal perpustakaan. Selama ini kita pasti sering mendengar perpustakaan tertua dalam peradaban manusia adalah Perpustakaan Alexandria di Mesir. Konon perpustakaan ini dibangun oleh Ptolemaios I pada abad ke-3 SM. Sayangnya perpustakaan ini hancur akibat kebakaran dan konflik.

Selain Perpustakaan Alexandria, ada lagi loh perpustakaan tertua di dunia dan masih bertahan sampai sekarang. Ada yang tahu perpustakaan lainnya? Kalau belum, yuk kita bahas satu per satu di sini ya.

Perpustakaan Nalanda, India


Konon Perpustakaan Nalanda ini didirikan Maharaja Kumaragupta pada abad ke-5 M dan terletak di Bihar, India. Semula Nalanda ini adalah sebuah vihara kecil dan berkembang menjadi pusat pendidikan dan pengetahuan di bawah Raja Harsha pada abad ke-7 M.  Perpustakaan ini mempunyai banyak koleksi berupa naskh-naskah kuno dan langka. Naskah-naskha ini bahkan ditulis dengan beragam bahasa seperti Sansakerta, Pali dan Tibet.

Ribuan pelajar dari berbagai negara termasuk Tiongkok, Tibet, Persia dan lainnya. Mereka mempelajari berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, astronomi, sastra, matematika, dan kedokteran. Ketika mengalami invasi pasukan Turk, banyak naskah yang hilang sehingga Nalanda kehilangan pengaruhnya sebagai pusat pendidikan.

Meski begitu, tahun 2006 pemerintah India mendirikan Universitas Nalanda untuk meneruskan tradisi keilmuan Nalanda. Warisan intelektual Nalanda mednorong adanya studi budaya dan sejarah India, studi keagamaan dan filsafat, dan keilmuan lainnya bersesuaian dengan perubahan zaman.

Perpustakaan Saint Gallen, Swiss


Didirikan pada abad ke-8 di Swiss oleh Santo Othmar, perpustakaan ini adalah bagian dari Biara Saint Gall yang di bangun satu abad sebelumnya. Saat itu biara ini adalah pusat agama dan intelektual di Eropa. Pembangunan perpustakaan ini membuatnya makin mempunyai koleksi naskah sampai sekitar 170.000 yang sangat langka dan berharga.

Naskah-naskah ini meliputi disiplin ilmu yang luas mulai dari teologi, sastra, sejarah, hukum dan lainnya. Naskah-naskah itu berasal dari berbagai peradaban dan bahasa yang juga beragam. Bahkan di era Renaissance, perpustakaan ini berkembang sangat pesat dengan bertambahnya minat pada seni dan humaniora.

Koleksi naskahnya terus bertambah dan menjadikan Perpustakaan Saint Gallen berperan menjaga pengetahuan dan sejarah Eropa. Sekarang kita malah bisa mengakses koleksi naskah-naskahnya secara online. Selain itu, para pelajar, peneliti dan masyarakat umum bisa mengunjungi perpustakaan ini secara langsung atau lewat program penelitian sehingga aksesnya bisa lebih luas.

Perpustakaan Baitul Hikmah, Baghdad

Perpustakaan Baitul Hikmah ini termasuk salah satu yang tertua di dunia dalam peradaban manusia dan Islam. Didirikan oleh Khalifah Al-Mamun dari kekhalifahan Abbasiyah di abad ke-9 M, Baitul Hikmah bertujuan untuk mengumpulkan, menerjemahkan dan mempelajari berbagai naskah kuno dari semua peradaban dan budaya. Banyak naskah penting dari Yunani, Persia dan Sansakerta diterjemah dan dipelajari.

Perpustakaan yang ada di Baghdad ini tidak cuma menjadi pusat pengetahuan dan penyimpanan Al-Qur'an dan Hadis. Di dalamnya, ada banyak naskah dari berbagai disiplin ilmu seperti sejarah, filsafat, matematika, kedokteran, sastra, matematika dan astronomi. Konon, di perpustakaan ini sering berkumpul para filsuf, cendikiawan dan penterjemah bukan hanya untuk bekerja tapi bertukar gagasan dan mengembangkan pengetahuan.

Pada masa kejayaannya, Baitul Hikmah ini berhasil menyelenggarakan berbagai diskusi dan debat ilmiah. Ketika Mongol menyerang Baghdad di  abad ke-13 M, perpustakaan ini hancur dan dan banyak koleksi yang hilang atau terbakar. Meski perpustakan ini hancur, Baitul Hikmah masih berperan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.

Perpustakaan Al-Qarawiyyin, Maroko


Selain Baitul Hikmah, salah satu perpustakaan tertua dalam peradaban manusia dan Islam adalah Al-Qawariyyin. Pendiri perpustakaan ini adalah seorang muslimah yang berpengetahuan luas dan berasal dari keluarga terpandang. Fatimah Al-Fihri adalah pendiri perpustakaan yang masih aktif sampai sekarang di kota Fez, Maroko. 

Konon, setelah mendapatkan warisan dari keluarganya Fatimah memutuskan untuk mendirikan sebuah masjid dan perpustakaan. Perpustakaan ini didirikan pada abad ke-9 M dan berada dalam komplek masjid. Selain mempunyai koleksi naskah-naskah Islami, koleksi dari berbagai disiplin ilmu seperti teologi, kedokteran, sastra, hukum, matematika, filsafat dan astronomi. 

Saking banyaknya koleksi yang dimiliki perpustakaan Al-Qawariyyin, para cendikiawan, pelajar dan filsuf menggunakan perpustakaan ini sebagai pusat penelitian dan pengetahuan lintas disipllin. Sampai akhirnya abad ke-10 M, Universitas Al-Qawariyyin didirikan sebagai bagian dari perpustakaan ini. Baik universitas maupun perpustakaan Al-Qawariyyin sekarang pun masih aktif mengadalan diskusi, seminar dan kegiatan akademik lainnya.

Perpustakaan Nasional China, Taipei

Perpustakaan Nasional China ini awalnya bernama Imperial Peking Library di tahun 1909. Sejak kali pertama dibangun oleh pemerintahan Qing, nama perpustakaan ini berubah sesuai pemerintahan yang berkuasa. Pada 1914, perpustakaan ini dinamai Perpustakaan Provinsi Taiwan, pada 1928 diubah menjadi Perpustakaan Umum Nasional Taiwan. 

Tahun 2005, perpustakaan ini berubah lagi menjadi Perpustakaan Nasional Republik Tiongkok.  Sampai akhirnya nama perpustakaan ini ditetapkan menjadi nama yang kita kenal sekarang di tahun 1999. Konon awalnya koleksi dari perpustakaan ini adalah koleksi pribadi seorang pejabat negara Tiongkok bernama Zhang Zhidong.

Koleksi yang ada di perpustakaan ini sangat beragam bahkan koleksi naskah kuno dari dinasti-dinasti China dengan berbagai topik terkait budaya dan sejarah China. Selain naskah kuno, ada juga artefak budaya, catatan sejarah, dokumen-dokumen resmi dan kronik sejarah. Semua koleksi ini bisa juga sekarang diakses secara online untuk mempelajari secarah dan budaya China secara digital.

Lima perpustakaan tertua di atas cuma sedikit dari sekian banyak perpustakaan dalam peradaban manusia. Perpustakaan mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga dan melindungi warisan pengetahuan, budaya dan sejarah kita. Bahkan dengan adanya teknologi dan digitalisasi membuat perpustakaan makin mudah diakses untuk mencari informasi yang lebih kredibel.

Sekarang ini selain mencari buku atau dokumen untuk referensi, kita bisa menikmati berbagai kegiatan di perpustakaan. Banyak diskusi buku atau lokakarya diselenggarakan di perpustakaan, termasuk menyiapkan kegiatan untuk anak-anak. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a