Langsung ke konten utama

Proses Berganti Domain Bersama Rumahweb

Proses Berganti Domain Bersama Rumahweb 



Sejak serius untuk menjadi penulis blog, saya menyadari bahwa salah satu konsekuensinya adalah memiliki domain sendiri. Namun, perjalanan untuk mengubah dari platform gratisan menjadi domain berbayar pun bukan perkara mudah.

Memantapkan hati dan menyiapkan budget demi membeli domain itu butuh perenungan juga perencanaan. Apalagi untuk seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya tidak "menghasilkan" nominal. 

Artinya akan ada pos baru dalam perencanaan keuangan setidaknya untuk setiap tahunnya. Beruntunglah saya bisa belajar di komunitas ODOP bersama ODOP Blogger Squad (OBS). Tidak cuma belajar tentang niche dari blog pribadi sampai Top Level Domain (TLD).

Gagap Soal TLD

Selama ini sih saya memang mengetahui bahwa banyak laman situs dan blog berakhiran .com, .id, dan lainnya. Namun pengetahuanku tidak lebih dari kepanjangan dari .edu, .gov, dan .sch, misalnya.

Ternyata domain adalah nama yang menjadi alamat situs atau blog yang diikuti dengan “akhiran” atau extension seperti tadi. Sampai beberapa waktu lalu, secara pribadi, saya merasa tidak perlu mengubah domain.

Blog yang saya miliki semula akan menjadi wadah dari segala keriuhan di kepala. Namun, begitu mengetahui manfaat mengubah domain blog menjadi TLD, saya berpikir ulang dan cukup lama. 

domain harga murah


Alasan Utama Beralih ke TLD

Menggunakan platform gratisan sebenarnya sangat menguntungkan karena sebagai pengguna pemula, saya tidak perlu repot ini itu. Namun ketika TLD memberikan manfaat yang lebih besar dan banyak daripada domain gratisan, kenapa tidak?!

Setidaknya ada dua alasan utama peralihan dari blogspot ke [dot]com. 

Personal branding

Soal branding ini sebenarnya tidak melulu untuk mereka yang memiliki bisnis atau merintis usaha. Meski memang para pebisnis ini sangat diuntungkan untuk mengenalkan seluk-beluk produk yang ditawarkan.

Branding untuk non bisnis alias profesional branding juga bisa dilakukan. Apalagi ketika kita memiliki niche blog yang bersesuaian dengan kepakaran atau profesi di dunia nyata. 

Ketika kita memilih blog sekadar untuk dijadikan personal blog pun, peralihan domain ke TLD bisa menguatkan image diri terhadap pembaca. Misalnya, seseorang yang gemar kuliner dan sekadar ingin berbagi kenangan atau pengalaman, bisa jadi kelak berubah menjadi seorang food blogger.


Alamat blog lebih singkat

Kekurangan platform gratisan adalah alamat blog yang panjang. Seperti laman blog ini, misalnya. Sebelumnya alamatnya www.aksararayya.blogspot.com.

Alamat ini terlalu panjang dan seringkali tidak mudah diingat. Berbeda ketika beralih domain, akhiran blogspot [dot]com akan menghilang. Laman ini berubah menjadi www.aksararayya.com.

Memilih Domain Blog

Kegalauan berikutnya dalam mengalihkan domain adalah memilih penyedia domain blog yang tepat. Saya sering mendapat informasi atau tawaran dari para penyedia domain dan hosting.

Namun saking banyaknya pilihan, saya malah kebingungan. Bersyukur teman-teman di ODOP Blogger Squad banyak memberi saran seperti:

  1. Menentukan tujuan dibuatnya blog, misalnya untuk kebutuhan bisnis, personal atau profesional.
  2. Memilih nama domain yang sederhana, singkat dan mudah diingat. Saya tidak menggunakan nama pribadi karena terlalu panjang, akhirnya menggunakan perpaduan nama si kecil dengan filosofi pribadi.
  3. Memilih penyedia domain blog yang amanah alias terpercaya dan tentunya jangan tergiur oleh penawaran harga yang murah.


Peralihan Domain Bersama Rumahweb

Setelah sekian lama, pilihan saya jatuh pada Rumahweb. Selain tawarannya menarik dan rekomendasi dari banyak teman, saya pribadi menyadari komunikasi antara provider dan pelanggan sangat dijaga.

Dengan berbekal nama aksararayya, saya memeriksa ketersediaan nama domain dan memilih akhiran [dot]com sebagai domain. Prosedur pembelian domainnya pun mudah dan cepat.

Setelah mengisi data diri lengkap, saya tinggal melakukan pembayaran untuk pembelian domain selama satu tahun. Biayanya cukup terjangkau dan setelah PPN pun masih di bawah kisaran Rp150.000.

Berikutnya saya tinggal mengikuti langkah-langkah yang sudah diberikan untuk mengalihkan laman blogspot ke domain baru. Sebagai seorang yang awam dengan bahasa pemrograman, beberapa kali saya mengalami kendala.

Kendala pertama adalah saya mendaftar menggunakan gawai dan bukan laptop sehingga ada beberapa fitur yang tidak bisa muncul. Salah satunya adalah ketika mengubah alamat dari blogspot ke domain baru.

Kendala kedua adalah jaringan internet yang tidak stabil sehingga ketika melakukan pengisian data pengalihan alamat tetiba galat transmisi. Alhasil propagasi domain gagal beberapa kali.

Berikutnya saya melakukan penyuntingan pada DNS setting melalui laptop, karena kendala yang terus terjadi saya memutuskan untuk menghapus dahulu input di DNS setting.

Setelah berhasil dan muncul keterangan untuk menunggu waktu propagasi, berikutnya adalah penantian panjang aktivasi [dot]com. Sore harinya, saya mendapati alamat blog masih galat sehingga memutuskan untuk menghubungi pihak teknisi di Rumahweb.

Mendapatkan informasi yang faktual dari teknisi bahwa input sudah sesuai dan tinggal menunggu waktu propagasi adalah sebuah kabar gembira. Akhirnya beberapa jam kemudian propagasi alamat laman blog dengan domain [dot]com berhasil.


Menabung atau Memonetisasi Blog

Menyewa akhiran [dot]com di tahun pertama ini memang mendapatkan potongan harga, tetapi tahun berikutnya tidak. Artinya, saya harus mempertimbangkan langkah berikutnya.

Memonetisasi blog tentunya akan sangat menguntungkan dan pastinya membutuhkan pengetahuan lebih, salah satunya tentang Search Engine Optimisation (SEO). Di kelas ODOP Blogger Squad malah ternyata diberi kesempatan untuk belajar lebih lanjut tentang SEO.

Apapun pilihannya ke depan, menulis sesuai passion secara disiplin dan kontinyu sangat diperlukan. Bagaimanapun reputasi dan kredibilitas, selain usia blog, menjadi pertimbangan monetasinya. Jadi bersiap dengan menabung sambil terus mempelajari blogging yang bijak bisa jadi pilihan jangka pendek.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a