Langsung ke konten utama

Membuat Kenangan Di Museum Geologi

Foto: Dokumentasi Pribadi



Dua hari lalu adalah H-2 kepergian kami dari tanah kelahiran menuju tanah rantau, untuk bersama dengan suami/ayah di Kalimantan. Segala jenis emosi muncul bergantian kami rasakan. Akhirnya kami putuskan untuk pergi berjalan-jalan ke beberapa tempat. 

Tempat yang kami kunjungi adalah Museum Geologi. Jarak dari rumah kami tepat hanya 1.0km. Salah satu museum yang selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun internasional, mulai dari anak-anak sekolah sampai orang dewasa yang magang kerja. 

Museum, Alternatif Liburan Murah
Di Bandung sudah banyak tempat wisata alternatif dan harganya terjangkau. Mulai dari kawasan Bandung Selatan sampai Bandung Timur, bahkan belakangan ada beberapa tempat wisata yang ramah anak. Di tengah kota Bandung sendiri banyak tempat wisata yang bisa dikunjungi seperti taman, galeri, dan museum. 

Hal yang perlu dipertimbangkan justru adalah waktu kunjungan dan jarak. Ketika mengunjungi tempat-tempat wisata di hari libur, biasanya cukup padat sehingga memilih taman, galeri dan museum bisa menjadi alternatif. Bukan hanya bermain, para pengunjung khususnya anak-anak bisa belajar langsung.

Sebenarnya sebagai asli warga Bandung, terakhir mengunjungi museum Geologi adalah 2016 lalu. Harganya sampai sekarang masih sangat terjangkau. Pengunjung umum dan lokal dewasa cukup membayar Rp3.000 sedangkan para pelajar Rp2.000. Pengunjung asing membayar sedikit lebih tinggi yaitu Rp10.000. Serunya, anak-anak di bawah usia sekolah malah gratis.

Hari Senin, Museum Geologi hanya menyelenggarakan Virtual Tour secara gratis lewat platform Zoom. Ini menarik karena ada dua sesi yang bisa dipilih, yaitu pukul 08.00-09.30 dan 10.30-12.00 WIB. Buat calon pengunjung, fasilitas ini bisa juga dijadikan bahan survei sebelum datang langsung.

Di hari Selasa sampai Kamis, Museum Geologi buka dari pukul 09.00-15.00 WIB. Pengunjung yang ingin datang di hari Sabtu dan Minggu bisa datang pukul 09.00-14.00 WIB. Sayangnya untuk para calon pengunjung yang datang hari Jumat atau memanfaatkan hari libur nasional tidak bisa berkunjung karena Museum Geologi pun ikut libur.

Empat Ruang Pamer
Seperti kunjungan ke tempat wisata dan museum, kami mendapat tiket dan gelang. Pelayanan mulai dari pembelian tiket sampai keluar, menurut kami, sangat memadai dan membantu pengunjung. Apalagi alur kunjungan ke setiap ruangan sekarang dibuat melingkar dan diberi tanda jejak kaki Tyrannosaurus Rex di lantai membuat kunjungan ke museum terasa seperti berpetualang.

Ketika sampai di pintu masuk museum, kita disambut oleh sebuah fosil gajah purba. Kepala gajah purba ini juga menjadi logo dari Museum Geologi. Beberapa bagian replika tulangnya sangat jelas terlihat. Meski begitu, ukurannya yang luar biasa besar membuat kami seperti manusia mini.

Ruang pamer pertama dalam alur kunjungan adalah Ruang Sumber Daya Geologi. Ruangan ini dipenuhi dengan beragam bebatuan dan informasi terkait jenis, dan asal bebatuan. Di dalam ruangan, pengunjung disambut oleh sebuah bola dunia besar terbuat dari logam. Di bagian atasnya terdapat potongan yang memperlihatkan lapisan bumi sampai inti bumi.

Foto: Dokumentasi Pribadi


Di antara ruang pamer ini dengan ruang pamer Geologi Indonesia, terdapat sebuah area seperti studio. Pengunjung bisa melihat sejarah bumi Nusantara alias Indonesia lewat sebuah tayangan film pendek. Hal paling menarik dari ruang Geologi Indonesia adalah sebongkah besar batuan mineral bernama kristal Amethyst. 

Batuan mulia seperti pirus, giok dan lainnya juga dipamerkan di dalam. Jalur pengunjung kemudian mengarah ke lantai dua. Sepanjang koridor, kami melihat informasi terkait sejarah perminyakan di Indonesia. Akhirnya sempat penasaran dengan isi ruang pamer di atas.  

Ternyata di atas adalah ruang pamer bernama Manfaat dan Bencana Geologi. Sangat menarik sekali karena di dalamnya ada mesin simulator gempa sehingga para pengunjung bisa mengalami sensasi getaran ketika terjadi gempa. Namun sayangnya kami tidak bisa mencoba karena mesinnya sedang diperbaiki.

Meski begitu, isi koleksi di ruangan ini sangat menarik juga. Ada banyak koleksi yang memperlihatkan kegunaan hasil geologi dalam kehidupan manusia, mulai dari perlengkapan rumah tangga sampai perhiasan. Pengunjung bahkan bisa melihat bagaimana mineral alam dimanfaatkan dalam peralatan elektronik.

Foto: Dokumentasi Pribadi


Di bagian samping kanan, dalam sebuah etalase kaca, terdapat tampilan kondisi perlengkapan rumah tangga, bahkan kendaraan seperti motor dan kerangka rumah dari lokasi kejadian Wedus Gembel. Bencana awan panas yang terjadi di Yogyakarta beberapa tahun silam memang menyisakan pilu. Semua benda meleleh akibat tingginya suhu awan panas ini.

Bencana geologi di Indonesia sepertinya memang tidak bisa dihindarkan karena letak geografis Indonesia yang membentang di sepanjang sabuk api dunia. Itu sebabnya Indonesia sering juga dikenal sebagai negara di sabuk khatulistiwa yang cantik sekaligus berbahaya.

Rayya kemudian bertanya soal ruang pamer berisi fosil kerangka dinosaurus. Untuk sampai ke ruang pamer Sejarah Hidup, pengunjung sebenarnya bisa saja turun melalui lift ke lantai satu
 tapi sayang lift sedang tidak bisa digunakan. Alhasil kami, khususnya nenek Rayya, harus berjuang naik turun menggunakan tangga.

Saya pribadi hampir terjatuh beberapa kali karena harus menuruni anak tangga sembari menggendong Rayya. Bukan karena terlalu tinggi, tetapi menaiki dan menuruni tangga terasa seperti petualangan sendiri. 

Sampai di lantai satu, ternyata ruang pamer berisi fosil ada di sayap kanan lantai satu alias bagian kanan dari pintu masuk. Sayang sekali ruang pamer ini masih direnovasi sampai November 2023 sehingga Rayya gagal melihat fosil dinosaurus secara langsung.

Hari-hari kami di Bandung rasanya sangat singkat. Namun, kami menikmati semuanya dengan bahagia, kenangan indah di kota kelahiran akan selalu ada di ingatan. Sampai jumpa, Bandung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a