Langsung ke konten utama

Memilih Menjadi Blogger, Kenapa Tidak?




Dorongan untuk menjadi penulis, khususnya blogging, sebenarnya sudah ada sejak 2006. Tentunya ada semangat yang menggebu-gebu di awal-awal menulis di blog, tetapi seiring kegiatan yang mulai padat rasanya kewalahan untuk menulis. 2008 sepertinya tahun terakhir aku menulis di blog tersebut.

Akhirnya, blog pertama itu menghilang entah kemana bersamaan dengan tidak aktifnya alamat surat elektronik yang kupakai. Beberapa tahun kemudian, 2013, aku mulai membuat lagi akun blog kedua. Tujuannya adalah melatih kembali kemampuanku dalam menulis populer.

Menulis sebuah gagasan dengan gaya santai, ringan dan mengalir adalah salah satu keterampilan yang perlu terus kulatih. Meski terkesan klise, menulis menjadi sebuah keharusan sekaligus kebutuhan untuk mencurahkan keriuhan di kepala.

Namun, sayangnya blog ini pun terpaksa harus hiatus karena kesibukan di kampus yang makin hari makin padat. Fokus menulisku kembali ke gaya formal dan sangat ilmiah sesuai bidang ilmu yang kugeluti. 

Sesekali aku masih menulis di beberapa portal media daring supaya tetap bisa menyampaikan gagasanku juga berinteraksi dengan para pembaca. Namun seperti halnya blog, aku pun perlahan mundur karena kesibukan kampus juga urusan rumah tangga.

Alasan yang terkesan klasik dan klise ya, tapi memang begitu adanya. Blogging belum menjadi prioritas sehingga selalu terkalahkan dengan urusan lainnya. Sampai satu waktu menjelang pengunduran diri dari kampus, saya memantapkan hati untuk fokus belajar membaca dan menulis lagi.

Kemantapan hati ini sayangnya baru terealisasi justru ketika anak pertamaku berumur dua tahun. Keriuhan di kepala sudah tidak bisa lagi dibendung. Keriuhan ini butuh wadah dan atmosfir yang mendukung sampai akhirnya bertemu dengan Komunitas ODOP.

Sekarang rasanya selain kemantapan hati, hal lain yang diperlukan adalah komitmen dan konsistensi. Supaya kubisa menjawab setiap kali orang bertanya alasanku menjadi seorang blogger. Di tulisan ini, saya akan berbagi beberapa alasan itu.


Beban moril sebagai "The Priviliged Few"
Pendidikan rasanya masih terasa sangat mahal dan cuma bisa dinikmati segelintir orang saja. Jangankan pendidikan, buku-buku anak di tingkat sekolah dasar saja tidak bisa dinikmati semua anak-anak Indonesia. 

Apalagi dengan semua literatur dan hasil penelitian para akademisi di perguruan tinggi. Mayoritas karya-karya ilmiah mereka cuma bisa diakses oleh kalangan akademisi saja, padahal masyarakat umum pun berhak menikmatinya.

Selain itu, sekalinya tulisan itu dipublikasi, para pembaca awam merasa sulit memahaminya.  Saya sadar tidak semua orang mampu menikmati pendidikan sampai jenjang tertinggi. Itu sebabnya sejak menjadi bagian dari tenaga pendidik di perguruan tinggi, saya berniat belajar menulis dengan gaya yang lebih populer.

Pengetahuan dan wawasan yang saya peroleh memang sudah sewajarnya dikembalikan ke masyarakat. Meski gagasan dan konsep ini ada dalam tridharma perguruan tinggi, pada kenyataannya cuma sedikit masyarakat yang bisa mendapatkan manfaatnya.

Prof. Karlina Supeli pernah menyebutkan setiap orang yang memiliki kesempatan belajar sampai perguruan tinggi adalah seorang yang memiliki hak istimewa. Resikonya adalah dia memiliki tanggung jawab dan beban moril untuk menyebarkan pengetahuan dan wawasannya sehingga berdaya guna bagi masyarakat banyak.

Mengikat Ilmu
Meski sudah mengundurkan diri dari dunia kampus, seringkali saya masih berdiskusi dengan teman-teman mahasiswa. Obrolan kami membahas suatu isu seringkali memotivasi diri untuk menulis, untuk mengikat Ilmu.

Dulu gagasan-gagasan yang muncul selama berdiskusi bisa segera dituliskan dalam berbagai penelitian. Namun sekarang, rasanya gagasan ini bisa ditawarkan kepada mereka yang tertarik dengan isu sosial humaniora, sastra dan literasi.

Meski sekarang banyak informasi yang muncul di internet, mengikat Ilmu dengan menulis masih sangat relevan. Setidaknya tulisan itu menjadi pengingat untuk diri sendiri. 

Melatih kemampuan menulis
Kemampuan berbahasa dan keterampilan literasi harus terus dilatih tidak masalah berapapun usia kita. Membaca, berpikir kritis dan menulis memang tidak bisa dilepaskan sehingga penting untuk selalu belajar.

Ketika berpikir tetapi tidak ditulis atau sekadar ditulis apa adanya, cara menulis pun cenderung berantakan. Tulisannya terasa tidak terstruktur dan kaku atau terlalu santai.  Karenanya  menulis,  baik secara spontan dan bebas atau secara struktural, memang sudah sewajarnya terus diasah.

Setidaknya tiga alasan ini cukup kuat dan memotivasi untuk terus belajar. Semoga dengan saya bergabung dengan Komunitas ODOP pun, blog saya akan terus hidup dan bermanfaat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a