Langsung ke konten utama

Blogging: Niche dan Passion

Foto: Canva 


"Duh apa ya topik dan tema blognya?"
Pertanyaan ini terus saja muncul setiap kali membuka laman blog. Seharusnya menulis ya menulis saja, batinku juga. Namun, asal menulis juga sepertinya tidak baik.

Sebenarnya memang sejak lama saya ingin fokus menulis tentang literasi, pendidikan dan apapun tentang human interest. Terpikirkan juga untuk membuat fokus itu menjadi niche dari blog pribadiku. Namun sesungguhnya apa niche itu dan kenapa penting akan saya coba ulas. 

Evolusi Makna Niche
Selama ini saya memang sudah lama mendengar dan membaca beragam definisi dari kata niche. Kebanyakan memang berbicara secara umum bahwa niche terkait dengan topik yang diminati dan dapat memiliki nilai ekonomis.

Namun, rasanya ada yang kurang ketika kata itu sering digunakan tanpa mengetahui akar kata, atau sejarah kemunculan katanya. Rasa penasaran itu berujung pada sebuah artikel yang menyebutkan bahwa istilah niche semula digunakan di bidang ekologi dan penemunya bernama Joseph Grinell di tahun 1913.

Istilah itu merujuk pada satu tempat di mana sebuah spesies dan sub-spesies tinggal. Artinya hanya ada satu jenis mahluk hidup dan turunannya. Seiring waktu istilah ini mengalami evolusi dan digunakan dalam berbagai bidang, salah satunya blogging.

Banyak blogger yang memiliki ragam ketertarikan dan akhirnya menulis beragam topik. Misalnya saja dia tertarik pada dunia entertainmen sehingga tulisannya selalu terkait di bidang itu. Namun, dia juga gemar memasak, kuliner dan traveling. Isi blognya pun memiliki banyak variasi yang bisa dinikmati pembaca alias general blog.

Blog semacam ini bisa juga diartikan sebagai lifestyle blog niche. Isinya campur aduk tetapi memiliki potensi untuk menjangkau pembaca lebih luas. Berbeda dengan blogger yang memilih pada salah satu topik saja sesuai dengan ketertarikan dan "kepakarannya". Misalnya seorang tenaga medis yang membagikan pengalamannya selama berkarir di bidang medis dan segala pernak-perniknya.

Blog semacam ini bisa disebut sebagai specific niche. Banyak juga blogger yang kemudian menemukan fokus topiknya justru setelah menulis di blog dengan beragam topik. Tentunya niche pun bisa sangat menguntungkan karena ia memiliki pasarnya sendiri, atau niche market

Foto: Picjumbo.com via pexel


Niche dan Branding
Ketika saya memutuskan untuk menulis blog, topik spesifik yang menaunginya adalah humaniora dan literasi. Itu sebabnya saya memilih nama Aksara Rayya. 

Kata Aksara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah (1) sistem tanda grafis yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran, (2) jenis sistem tanda grafis tertentu seperti Pallawa, (3) huruf. Sementara Rayya adalah nama anak pertamaku yang berarti cahaya, keharuman dan dahaga yang terpuaskan.

Nama blog ini saya harapkan menjadi sebuah branding yang melekat di pembaca mengenai manusia dan dunianya. Karenanya, dalam setiap artikel yang dituliskan saya membubuhkan tag dan label yang saling berkaitan. 

Pada laman blog ini, para pembaca bisa menemukan label berjudul Soshum atau sosiohumaniora yang berkaitan dengan segala isu sosial sehari-hari di kehidupan sekitar, literasi berisi informasi atau kritik terkait pendidikan, karya sastra, baik berupa buku, film, musik.

Cerpen adalah label untuk karya fiksi yang saya tulis. Sementara #RayyaBertanya adalah berbagai pertanyaan dari si kecil Rayya yang justru memantik rasa penasaranku selain untuk mencari jawaban dari pertanyaannya. Terakhir, label ODOP adalah artikel terkait dengan aktivitas di komunitas One Day One Post.

Dengan begitu, blog saya memiliki niche yang berdampingan dengan personal brand saya selaku seorang yang pernah dan masih bergelut di bidang akademis. 

Foto: Cottonbro Studio via Pexel



Bagaimana Cara Menentukan Niche?
Jawaban dari pertanyaan ini pasti bisa dengan mudah dicari, apalagi dengan adanya teknologi sekelas Artificial Intelligent (AI). Namun, seperti halnya sesuatu yang artifisial alias tiruan, seringkali jawabannya terkesan teknis.

Niche bagaimanapun terkait dengan emosi dan minat. Sebagai seorang manusia adalah normal kita merasa selalu ingin mencoba hal-hal baru atau berubah-ubah terhadap sesuatu. Namun, ketika kita selalu berakhir pada satu hal dan menghabiskan banyak sumber daya pada hal itu, bisa jadi itulah minat kita yang sesungguhnya.

Saya sendiri merangkum berbagai jawaban dari satu pertanyaan di atas menjadi enam poin berikut:

Mencari tahu topik yang tidak habis untuk kita bicarakan. 
Ketika memiliki topik yang tidak habis-habisnya dibicarakan tentu akan membuat blog kita tetap hidup. Setidaknya kita bisa memberi pandangan lain dari topik itu, kalaulah tidak bisa menawarkan solusi.

Memang banyak isu kontemporer yang terjadi di sekitar kita, tetapi kita pun bisa mengaitkannya dengan topik yang kita kuasai. Dalam kata lain, kita menawarkan pandangan lain terhadap suatu isu.
 
Mempersempit topik sesuai dengan kepakaran.
Saya pribadi tidak merasa pakar di bidang literasi, tetapi minat ditambah pengalaman sepuluh tahun di bidang akademis dan humaniora memberi sedikit banyak keuntungan. 

Saya menemukan banyak blogger yang belajar secara otodidak berbagai bidang peminatannya. Misalnya para blogger di bidang kecantikan dan kesehatan yang tidak hanya menulis melainkan juga menjalani gaya hidup yang ditulisnya.

Melakukan riset lewat kunjungan blog alias blogwalking
Berkunjung ke blog lain yang memiliki niche serupa atau yang umum sekalipun tentu memberi banyak manfaat. Kita bisa mempelajari tata letak, kerjasama yang dijalin dan gaya penulisan di blognya.

Banyak blogger yang sudah berhasil membentuk brand-nya sendiri. Dengan begitu kita bisa mempelajari, mengadaptasi, menerapkan dan memodifikasinya sesuai dengan niche blog. 
 
Mengenal dan mengidentifikasi produk atau layanan yang sesuai dengan niche
Berdasarkan beberapa informasi terkait marketing niche, kita bisa menjalin kerjasama dengan penyedia layanan atau jasa yang memiliki kesamaan. 
 
Misalnya, ketika niche blog kita adalah olahraga bisa jadi, pihak yang kita hubungi atau justru menghubungi merupakan pelaku atau penyedia layanan terkait olahraga. Sebuah sarana bermain futsal menawarkan tempatnya untuk diulas pun bisa menjadi sebuah keuntungan.
 
Menguji niche secara real time
Melihat bagaimana traffic dari satu artikel ke lainnya sangat membantu karakteristik artikel yang diminati pembaca. Peningkatan pembaca pada artikel-artikel terkait topik tertentu bisa menjadi acuan untuk kita menentukan niche blog.

Pada laman blog saya pribadi, artikel yang membahas tentang literasi yang melibatkan anak-anak memiliki traffic yang cukup tinggi. Sementara artikel lainnya cenderung sepi.


Mengulas niche dan konten blog berdasarkan hasil pengujian. 
Dari hasil pengujian sebelumnya, kita bisa menentukan apakah akan mengikuti ketertarikan pembaca yang berpotensial menjalin kerjasama atau tetap menulis seperti sebelumnya.

Keduanya memiliki manfaat bagi kita sebagai empunya blog. Bagaimanapun setiap artikel dan niche blog yang kita pilih memiliki pembacanya tersendiri.

Sebenarnya dengan atau tanpa menerapkan niche tertentu, saya masih akan tetap menulis. Meski begitu, niche blog membantu saya untuk terus menulis di jalur yang sama. Kalaulah berbeda, pada akhirnya saya akan tetap kembali pada gaya dan topik yang diminati dan dikuasai.

Jadi menurutmu, pentingkah memiliki niche pada blog?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a