Kampung tempat Tinus tinggal memang memiliki sebuah sekolah, tetapi tidak ada guru yang mengajar. Mama Edo menyebutkan tidak ada guru yang betah tinggal di kampung Tinus.
Bapak Edo bercerita kampung Tinus itu jauh, tidak ada jalan raya dan semua orang harus melewati hutan. Bagi Edo, tidak ada guru membuat anak-anak tidak bisa belajar dan pintar.
Dia lalu bertekad untuk menjadi seorang guru untuk mengajar anak-anak. Kedua orang tuanya sangat bangga dengan cita-cita Edo dan berjanji sekuat tenaga untuk mewujudkannya.
Kisah Edo ini adalah salah satu cerita yang diterbitkan oleh UNICEF dan berjudul Edo Ingin Menjadi Guru. Sebuah kisah karya Rafri Kirihio yang memberikan gambaran tentang kondisi masyarakat di Indonesia bagian Timur.
Tentunya kisah ini sangat inspiratif dan memotivasi anak-anak untuk meraih mimpi dengan memajukan kawasan tempat tinggalnya. Mengejar mimpinya sekuat tenaga sehingga masyarakatnya dapat bersaing dengan siapapun.
Sayangnya, hingga saat ini memang begitulah kondisi masyarakat dan pendidikan di banyak kawasan Indonesia Timur. Mulai dari minimnya infrastruktur, terbatasnya sarana dan prasarana, sampai kurangnya tenaga ahli.
Cita-cita mulia Edo dan kerja keras kedua orang tuanya demi masa depan Edo bisa saja mengalami hambatan. Bahkan sangat mungkin tidak terwujud jika tidak ada pemerataan pembangunan dan pendidikan bagi masyarakatnya.
Data yang dicantumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tentang tingkat penyelesaian pendidikan menurut jenjang pendidikan dan Provinsi periode 2020-2022 menunjukkan Papua Barat mengalami peningkatan. Di tahun 2020, angkanya berada di 89,21 persen, dan meningkat menjadi 91,81 persen.
Di tahun 2022, angkanya kembali naik menjadi 93,94 persen. Angka penyelesaian jenjang pendidikan tertinggi ini adalah jenjang yang ditamatkan oleh seseorang dan ditandai dengan dikeluarkannya sertifikat atau ijazah. Setidaknya begitu menurut pemaparan BPS.
Namun, angka ini tidak menjamin kualitas pendidikan yang diperoleh anak-anak di sana. Terlebih lagi dengan perbedaan kultur dan geografi di Papua Barat yang tidak bisa disetarakan dengan pendidikan di Pulau Jawa. Mereka tidak bisa mengejar standar yang ada.
Menurut pemikiran saya, permasalahan yang muncul ini perlu dicari akarnya sehingga pendidikan dapat dinikmati semua kalangan di mana pun. Bukankah pemerintah Indonesia sendiri sudah bercita-cita untuk mewujudkan generasi emas di tahun 2045?
Generasi emas ini adalah para pemuda Indonesia yang berada di 100 tahun usia Indonesia. Diharapkan pada masa itu, Indonesia sudah menjadi negara maju dan bangsa yang unggul. Pemerintah, seperti dilansir dalam situs Menpad.go.id, menyebutnya sebagai Indonesia Emas 2045.
Generasi yang diharapkan sudah menjadi generasi yang melek digital dan sains tanpa melupakan akar budayanya. Namun, untuk mencapai ini sudah seharusnya melibatkan semua pihak mulailah dengan pemerataan penyediaan pendidikan, bukan pemerataan kurikulum tanpa melihat kekhasan setiap daerah.
Mulailah dengan pembentukan karakter yang melahirkan integritas, pengasahan keterampilan yang memunculkan kualitas sumber daya manusia unggul, dan tentunya ketakwaan sehingga menjadikan manusia yang tidak hanya terdidik melainkan juga bermoral.
Bisakah cita-cita Edo terwujud sehingga semua anak di setiap sekolah di penjuru Indonesia bisa bersekolah dan memiliki guru?
Komentar
Posting Komentar