Langsung ke konten utama

Berbagi Ilmu, Berpenghasilan Kemudian

Foto: Dokumentasi Pribadi




Awal tahun ini sempat ada keriuhan di dunia maya tentang umur blog di 2023. Kebanyakan orang menduga dengan dinamika dunia maya yang sangat cepat, bahkan cenderung di luar dugaan, blogging akan segera mati. Dugaan ini bisa jadi disebabkan kecenderungan orang-orang untuk mendapatkan informasi melalui media sosial,video atau siniar.

Namun banyak pihak juga yang meragukan bahkan menolak anggapan ini, salah satunya seperti yang ditulis oleh Martina Bretous. Pendek kata, dia mewawancarai sepuluh orang pakar di bidang marketing yang semuanya sepakat tentang satu hal. Meski blogging mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir, penggunaannya masih sangat efektif atau setidaknya berdampak pada citra suatu layanan atau produk.

Dengan begitu dalam dunia marketing, blogging masih diperlukan untuk penjelasan naratif tentang suatu layanan atau produk yang ditawarkan. Lalu, sebagai seorang pengguna biasa, apakah blogging masih penting bahkan berdampak terhadap diri dan kehidupan si pengguna?

Menulis di blog alias blogging memang tidak bisa dinafikan bisa menghasilkan uang. Namun, menggunakan blog sebagai sarana berbagi informasi, menunjukkan kemampuan diri, berpendapat dan lainnya. Blog masih mendapatkan antusiasme tersendiri.

Saya salah satu dari para pengguna blog yang memberanikan diri untuk menghidupkan kembali dan berusaha konsisten menulis di blog. Alasannya tidak melulu tentang mendapat penghasilan, setidaknya untuk saat ini. Bagaimanapun saya menyadari untuk menjadikan blog sebagai sumber penghasilan membutuhkan tidak hanya keterampilan menulis melainkan juga keterampilan teknis terkait pengelolaannya.

Seperti yang pernah disampaikan dalam sebuah tulisan di blog ini bahwa blogging bagi saya dimaksudkan untuk menyebar pengetahuan atau opini terkait suatu hal, mengikat ilmu, dan melatih keterampilan menulis. Setidaknya bagi seseorang yang tidak nyaman berbicara di depan kamera atau berbicara di siniar, menulis adalah sebuah tempat yang aman.

Foto: Dokumentasi Pribadi


Blogging menuntut kontinuitas dan konsistensi
Bagi banyak orang disiplin diri cukup sulit dilakukan, khususnya dengan bombardir informasi di dunia maya dan kondisi di dunia nyata. Meski begitu, masih banyak juga yang ingin bersusah payah untuk mendisiplinkan dirinya agar menjadi lebih baik.

Dua hal yang kemudian perlu diperhatikan dalam mendisiplinkan diri adalah kontinuitas dan konsistensi. Sementara keduanya pun bukan hal yang mudah dilakukan, apalagi ketika kita, saya khususnya, sedang mengalami demotivasi. Demotivasi seringkali membuat kita enggan untuk melakukan segala hal yang sebelumnya menarik atau menjadi kegemaran.

Bahkan, saya mempertanyakan kenapa juga harus berlelah-lelah toh tidak semua orang akan membaca atau membutuhkan apa-apa yang kutulis. Namun ternyata "tidak semua" berarti masih ada yang membaca dan membutuhkan apapun yang kutulis. Mengetahui ini saja bisa membuat kita bersemangat lagi.

Itulah sebabnya kontinuitas diperlukan dengan cara rutin menulis gagasan, opini atau pengetahuan yang kita ketahui. Salah satu cara untuk memudahkannya adalah menuliskan sebanyak-banyaknya gagasan yang terlintas di benak untuk kemudian ditulis. Berikutnya saya dituntut untuk konsisten menulis sesuai dengan waktu yang saya sepakati sendiri.

Menjaga kontinuitas dan konsistensi ini juga suatu tantangan yang tidak mudah karena saya harus melawan diri sendiri. Bukan sekali atau dua kali rasa malas dan jenuh muncul. Pada akhirnya memulai lagi dari awal akan selalu lebih sulit dan lebih berat, tapi bisa dilakukan.
 
Blogging Memperbaiki Cara Berpikir
Pada dasarnya menulis tidak jauh berbeda dengan berbicara. Ada informasi atau gagasan yang disampaikan dengan gaya dan caranya sendiri. Perbedaannya adalah soal spontanitas dan seringkali kita tidak dapat menarik kembali semua yang sudah diucapkan.

Ini pastinya berbeda dengan menulis yang dapat kita perbaiki kemudian. Sebenarnya cara menulis akan dipengaruhi cara dan gaya dalam berbicara sehari-hari. Inilah yang ingin saya latih ketika menulis di blog. Memang gaya penulisan pun beragam dan benar-benar manasuka, tetapi cara berpikirnya tetap harus dilatih.

Seringkali ketika menulis beberapa ide muncul bersamaan. Seringkali juga ide itu tumpang tindih ketika dituliskan. Alhasil tulisannya tidak dapat sepenuhnya dipahami oleh pembaca atau justru tidak bisa dipahami sama sekali. 

Menulis menuntut kita untuk menyampaikan informasi atau gagasan secara runtut, sesuai kaidah bahasa yang digunakan. Misalnya ketika menulis dalam bahasa Indonesia tentu berbeda dengan menulis menggunakan bahasa Inggris. Tata bahasa keduanya berbeda dan unik sehingga memerhatikan penggunaannya sangat penting.

Semestinya tidak cuma menulis di blog saja yang memerlukan cara berpikir dan struktur. Namun saya harus sangat memerhatikan ini karena sebagai penulis, saya pun harus berperan sebagai penyunting sekaligus penerbit. Artinya semua ditulis dan dipublikasi tanpa campur tangan orang lain sehingga cara berpikir pun perlu dilatih dan diperhatikan.

Foto: Dokumentasi Pribadi

Berpenghasilan dari blog kemudian
Ketika semua alasan dasar saya memulai blog terpenuhi meski perlahan, tidak bisa dipungkiri mendapatkan penghasilan bisa menjadi tujuan berikutnya. Dibandingkan dengan para pendahulu di blogging, blog saya malah masih sangat jauh dari baik. 

Belajar dari cara mereka menulis, menyampaikan gagasan, dan melakukan optimasi di blognya masing-masing membuat saya menyadari apa saja yang perlu dilakukan. Menyampaikan gagasan atau informasi di blog memang berbeda dengan media lain seperti media sosial.

Karenanya dengan menyelesaikan bahkan menyempurnakan kemampuan saya dalam blogging, saya yakin berpenghasilan dari menulis blog bisa dilakukan kemudian. Mulai menulis secara kontinyu dan konsisten, evaluasi dan rekreasi khususnya dalam mengoptimalkan potensi dari blog bisa dilakukan. Semua ini adalah pekerjaan rumah yang harus selalu dikerjakan.

Menjadi seorang blogger profesional dan berpenghasilan tinggi tentunya membutuhkan waktu, tenaga dan mental luar biasa untuk bisa terus berjalan. Semoga di masa mendatang tulisan yang saya hasilkan pun memberikan manfaat kepada mereka yang membutuhkannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a