Langsung ke konten utama

Tak Lekang oleh Zaman, Ini 3 Novel Distopia Paling Menginspirasi

2012 lalu perfilman dunia dihebohkan oleh sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama, "The Hunger Games". Karya Suzanne Collins bergenre distopia ini mendapatkan perhatian banyak karena mengangkat latar tempat Amerika di masa depan.

Genre ini bisa dikatakan sebagai bentuk kebalikan dari Utopia, sebuah istilah yang diciptakan Thomas More dalam bukunya Utopia di tahun 1516. Sementara istilah distopia ini disebut oleh John Stuart Mill sebagai "bad place" di tahun 1868. Namun sebenarnya muncul satu abad sebelumnya oleh Lewis Henry Younge dalam karyanya Utopia: Or Apollo's Golden Days.

Younge menulisnya sebagai Dustopia dan dilafalkan distopia. Genre ini mengangkat isu kontrol penuh yang totaliter dari pemerintah, korporat, dan/atau birokrat. Mereka menggunakan langkah-langkah teknis, menanamkan moral, atau alur birokrasi mempertahankan penampilan masyarakat yang sempurna dan kontrol sosial yang represif. 

Dengan kata lain, distopia menggunakan sistem pemerintahan yang opresif. Para tokoh dalam cerita bergenre ini mayoritas berjuang melawan dominasi teknologi, penganiayaan pemerintah, dan perusakan lingkungan dalam masyarakat. Merebaknya anarkisme, ketidakadilan, kemiskinan dan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan juga sering digunakan sebagai tema dalam genre ini.

Dalam dunia sastra, karya-karya yang dikategorikan ke dalam genre ini sangat banyak. Banyak juga karya yang kemudian dialih wahana menjadi film layar lebar. Kali ini, ada tiga novel bergenre distopia yang tidak lekang oleh zaman dan menginspirasi karya lainnya.


We (Yevgeny Zamytin)

Foto: Amazon.com

Novel ini ditulis Zamytin dalam bahasa Rusia pada tahun 1920-1921 tetapi karyanya baru dipublikasikan pada tahun 1924 menggunakan bahasa Inggris. Versi bahasa Rusia baru dipublikasikan pada tahun 1952 di New York.

Konon novel ini dilarang karena dianggap kontroversi sehingga harus diselundupkan ke Amerika dan Praha untuk bisa dipublikasi. E. P. Dutton adalah penerbit di New York yang kemudian menerbitkan dan menyebarluaskan karya ini.

We kemudian dipercaya sebagai penyebab munculnya genre distopia. Karya ini juga diyakini sebagai salah satu karya yang menginspirasi H. G. Wells, George Orwell, Ayn Rand, Kurt Vonnegut dan lainnya.

Novel ini bercerita tentang sebuah negara totaliter di masa depan. Para tokohnya tidak memiliki nama selain nomor yang dimilikinya sebagai identitas diri. D-530 sebagai tokoh utama adalah seorang pembuat utama kapal luar angkasa bernama Integral. 

D-530 adalah seorang filsuf matematikawan. Dia sangat terstruktur dan menyukai lebih suka berbagai hal yang berurutan numerik. Dia tinggal di Amerika Serikat yang merupakan sebuah kota metropolis dengan Tembok Hijau yang menghalangi semua kehidupan lainnya. 

Setelah konflik dua ratus tahun, para penyintas menetap di kota ini. Setiap langkah mereka diteliti dan diawasi. Mereka semua bangun pada waktu yang sama dan pergi tidur pada waktu yang sama. Mereka makan makanan hambar yang disiapkan dengan hati-hati sambil mengunyah tepat lima puluh kali untuk setiap gigitan. 


Brave New World (Aldous Huxley)

Foto: Amazon.com

Dalam korespondensinya dengan Mrs. Arthur Goldsmith, Aldous Huxley mengakui bahwa karyanya ini terinspirasi oleh H. G. Wells yang berjudul The Sleeper Awakes. Novel Huxley ini terbit di tahun 1932, tidak terlalu lama setelah karya-karya H.G. Wells dipublikasikan.

Huxley menyebutkan bahwa selain Wells, dia pun terinspirasi oleh D. H. Lawrence. Sementara itu, perjalanannya ke Amerika Serikat membuatnya makin terganggu oleh pergaulan anak muda yang penuh dengan kebebasan, seks bebas, komersialisasi segala hal yang diinspirasi oleh My Life and Work karya Henry Ford. Huxley kemudian menuliskannya dalam Brave New World, meski latar tempat yang digunakan adalah London.

Novel ini bercerita tentang kondisi London pada tahun AF 632 atau tahun 2540 Masehi. Dunia yang dikenal para tokoh dalam cerita adalah The World State sebagai sebuah kediktatoran yang memuja tokoh sejarah Henry Ford.World State ini dipimpin oleh 10 World Controller (Pengendali Dunia) yang berbeda. 

Pemerintahnya mengatur populasi dunia melalui berbagai bentuk reproduksi buatan dan mendorong semua warga negara untuk menerima posisi mereka dalam salah satu dari lima kasta yang ada. Tokoh utama dalam novel ini adalah Lenina Crowne, seorang pekerja penetasan, dan Bernard Marx, seorang psikolog yang bekerja di tingkatan tertinggi.

Pabrik penetasan tidak hanya menghasilkan semua anak di dunia, tetapi juga mengasuh dan melatih mereka supaya mereka sesuai dengan salah satu dari lima kasta. Embrio alfa ditakdirkan untuk menjadi pemimpin dunia. Embrio Epsilon dimasukkan melalui proses yang membaginya menjadi 96 manusia kloningan di setiap telurnya.

Mereka ditakdirkan untuk melakukan pekerjaan berat dan kasar. Lima kasta diberi nama setelah lima huruf pertama alfabet Yunani dan berurutan mulai dari Alpha, Beta, Gamma, Delta, dan Epsilon.

 

Nineteen Eighty-Four alias 1984 (George Orwell)

Foto: Amazon.com

Karya kesembilan George Orwell ini dipublikasikan tujuh tahun setelah novel Brave New World terbit yaitu 1949. Itu sebabnya banyak yang mengatakan bahwa Orwell terinspirasi oleh Huxley. Dalam biografinya, Orwell menyampaikan bahwa buku ini ditulis pada tahun 1943-1944 dipengaruhi Konferensi Teheran.

Gagasan utama dari karya Orwell ini adalah masyarakat totaliter yang akan mendominasi di masa depan dan tentang orang yang sendirian yang berjuang untuk bertahan hidup. Latar tempat yang digunakan adalah London di tahun 1984. Tokoh utamanya adalah Winston Smith yang bekerja di Ministry of Truth, sebuah kementerian yang berkuasa untuk menentukan versi sejarah yang salah dan benar.

Masyarakatnya tidak bisa dan tidak mau berpikir untuk dirinya sendiri karena mereka sudah didoktrin oleh Big Brother. Big Brother adalah organisasi yang dibuat untuk melakukan kediktatoran, memerintah rakyat, menciptakan satu pendapat di antara semua, dan membunuh segala jenis individualitas dan dengan kemanusiaan itu sendiri. 

Tugasnya adalah mempertahankan sistem totaliter dan dia melakukannya dengan menguasai ketakutan dan kebencian serta pengendalian emosi dasar manusia. Pemerintah memunculkan ketakutan masyarakatnya dengan tindakan represif. Setiap kali mereka menunjukkan rasa tidak hormat sekecil apa pun terhadap hukum, mereka akan dianggap tidak pernah ada.

Propaganda Pemerintah dilakukan melalui dua cara yaitu doublethink dan newspeak. Keduanya membuat segala yang benar bisa menjadi salah, dusta menjadi benar, dan membuat mereka acuh dengan kondisi lingkungan selama dirinya selamat.

Tiga novel ini terus menerus dicetak ulang di berbagai negara meski berulang kali juga masuk ke dalam karya terlarang. Bahkan di abad 21 ini genre distopia malah banyak digemari tidak hanya oleh orang dewasa tetapi juga para remaja. 

Genre pada dasarnya mengritik kondisi masyarakat dan sistem pemerintahan yang ada di dunia ini. Bahkan pada kenyataannya, deskripsi dunia dalam ketiga karya ini masih sangat relevan dengan kondisi dunia saat ini. Sebenarnya kalau kita mau membuka hati dan pikiran, karya-karya besar ini pun menjadi peringatan supaya kita segera berbenah diri.

Jadi, apa ada novel favorit kalian di sini atau ada novel lain yang lebih kekal dari tiga novel di atas?Yuk tulis jawabannya di kolom komentar ya.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a