Langsung ke konten utama

Setangkai Lili Calla (Tamat)

Foto: Freepik.com

Bion tampak gagah dengan setelan hitam, dan rangkaian baby breath di saku jasnya. Rambutnya disisir rapi dan kelimis. Dia bolak-balik sambil menggosokkan kedua tangannya. 

Tiga orang temannya tertawa, tentu saja Bion yang menjadi bahan candaannya. Mereka pun tampil sangat rapi, tetap gagah meski ketiganya tidak menggunakan jas seperti Bion. Mereka menepuk-nepuk pundak Bion.

Mereka tiba-tiba terdiam, seorang berjanggut di antara mereka menepuk pelan dada Bion dan mengisyaratkan supaya Bion berbalik. Firda berjalan diiringi kedua orang tuanya. Gaun putih panjang dengan siluet renda di bagian dada, senada dengan buket bunga lili calla di tangan Firda. Sebagian rambutnya disanggul, sebagian sengaja tergerai dan hiasan dari bunga-bunga segar melingkari sanggulnya.

Lampu di kiri kanan menerangi langkahnya, sekaligus menciptakan siluet-siluet yang indah. Malam itu terasa sakral, rembulan sedang penuh dan tidak ada suara musik yang mengganggu kekhidmatan. Para tamu terpesona dan tidak satupun dari mereka yang bersuara. Hening.

Bion berkaca-kaca. Tangannya gemetaran. Dia menghembuskan nafas dari mulutnya seolah sedang bersiap untuk menghadapi sebuah pertarungan. Gadis pujaannya, kekasih sejak masa sekolah, kini akan segera menjadi teman hidupnya.

Prosesi pernikahan Bion dan Firda berakhir indah, dua burung merpati berkalung hiasan bunga dilepas ke udara. Berikutnya para tamu menikmati jamuan bersama Bion dan Firda, sangat hangat dan akrab.

Bion menarik nafas dan membuka matanya. Dia bermimpi lagi tentang hari pernikahannya. Hotel ini memang penuh kenangan. Dia membalikkan badan dan menatap lekat wajah Firda.

Perempuan ini berjuang sendiri, dan aku tidak mengerti apa yang harus kulakukan.

Firda berbisik, "Bunda di sini, Issa. Bunda di sisimu."

Tak disadarinya air mata menetes di pipi Bion. Dia terkejut dan segera mengusapnya. Bion tak kuasa, dia ingin menangis, menangis begitu keras. Bion menutup wajah dengan kedua tangannya dan segera membalikkan badan ke arah jendela.

Beberapa saat kemudian, tangan Firda menyentuh punggungnya. Bion mengatur nafas dan menutup matanya. Dia bisa merasakan Firda yang sedang bergerak bangkit dari sisinya sambil terisak pelan.

Firda menyalakan ponselnya, pesan pertama yang muncul berasal dari Trudi, dan berikutnya dari dr. Andrei. Dia membaca pesan dr. Andrei terlebih dahulu, dan air mukanya berubah seketika. Dia melihat ke arah Bion, lalu bersimpuh di hadapan wajah suaminya.

Bion menahan diri untuk membuka mata dan memeluk istrinya. Dia ingin memberi waktu agar istrinya bisa mengeluarkan emosinya. Menghadapi the moment of truth yang membuatnya tak sanggup menghadapi istrinya setiap hari. Namun dia sadari, istrinya justru membutuhkan suaminya lebih dari apapun.

Tangis Firda makin menjadi, tubuhnya bahkan gemetar hebat. Bion membuka matanya dan bangkit mendekap erat tubuh istrinya. Bion mengetahui isi pesan dr. Andrei karena dialah orang pertama yang dikabari mengenai kondisi Firda yang memburuk.

Berselang sepuluh hari kemudian, kondisi fisik dan psikisnya makin buruk. Dia kerap terbangun karena bermimpi buruk. Bion pun terpaksa mengambil cuti panjang, untuk sementara klinik miliknya diambil alih oleh Trudi. Bisa dibilang Firda pada akhirnya bisa memperbaiki hubungan keduanya.

Bion memutuskan untuk merawat Firda di rumahnya sendiri. Setiap sore akan ada perawat yang memeriksa kebutuhan medis Firda. Semua itu pilihan yang dibuat Bion bukan sebagai bentuk penyesalan melainkan kecintaannya. Jauh di dalam hatinya, Bion mengetahui istrinya tidak memiliki banyak waktu.

Bion paham. Pedihnya rasa bersalah dan kehilangan menggerogoti istrinya itu. Firda merasa dirinya tidak mampu menjadi seorang ibu yang baik, dia gagal menjaga malaikat kecilnya. Issa yang malang tidak bisa berenang, lalu dia tenggelam hingga matahari terbenam.
...

Siang itu, Bion mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Matahari sedang terik-teriknya di musim panas ini. Dia bergegas ke sebuah toko bunga dan meminta dua tangkai bunga lili calla yang masing-masingnya diberi pita berwarna putih dan kuning.

Firda pernah bercerita tentang alasannya begitu menyukai bunga lili calla. Baginya lili calla sangat indah, bermakna, dan sakral. Konon memang bunga ini selalu dipakai dalam pernikahan untuk menyimbolkan kesucian, kesungguhan dan pengabdian yang mendalam. Begitu juga di upacara pemakaman sebagai tanda simpati dan pelepasan mendiang.

Dulu Bion hanya tertawa mendengar penjelasan Firda, baginya bunga itu sama saja. Namun kini, mendengar si penjual bunga menanyakan apakah bunga ini untuk hadiah pernikahan atau pemakaman, Bion hanya tersenyum getir.

Satu jam kemudian Peugeot putih Bion memasuki kawasan pemakaman. Dia berkendara hampir ke ujung pemakaman, lalu berhenti di pinggir sebuah pohon pinus besar. Tangan kanannya membawa dua tangkai lili calla, sedangkan tangan kirinya berada dalam saku celana. 

Bion berjalan menuju dua nisan yang berdekatan, dan melepaskan kacamata hitamnya. Dia berlutut dan menyimpan setangkai bunga di atas nisan bernama Firda Aryani Sugiono dan setangkai satunya di atas nisan Marissa Bian Moola. Kepalanya tertunduk.

Beau, maaf aku terlambat. Issa sayang, selamat ulang tahun ya. Papa bawa bunga lili calla kesukaan kalian. I'm missing you both, love. Issa ngga sendirian lagi kan ya, Bunda sekarang bisa temani Issa bermain. Nanti Papa pasti menyusul.

Komentar

  1. Udah deg2an baca part 3, nebak2 ini itu, ternyata part terakhir lebih sedih lagi 😭

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a