Langsung ke konten utama

Setangkai Lili Calla (Bag. 3)

Foto: Freepik.com

"Buna, Isa mau es kim." Marissa berlari kecil dan menggelayuti ibunya.
"Boleh, sedikit aja kamu masih agak pilek." Firda mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum.
"Holeee, holeee. Makasih Buna." Marissa berjingkrak dan berputar-putar mengelilingi ibunya.

Firda terbangun dipelukan Bion. Dia rupanya baru saja bermimpi, dia hilang kesadaran setelah bertemu Trudi. Bion mengusap pipi dan mengecup keningnya. Melihat keduanya seperti ini menjadi bukti masih ada cinta diantara mereka.

"Beau, masih pusing atau sakit kepalamu?" Bion menggenggam tangan Firda dan mengelusnya dengan ibu jari.

"Kepalaku terasa ringan. Aku tadi pingsan ya?" Tanya Firda setengah berbisik.

"Iya, kamu kecapekan, Beau. Hari ini kita liburan yuk di tempat favorit kamu itu. Aku sudah ambil cuti buat besok?" Ujar Bion dengan lembut.

"Kamu cuti, Bae? Serius?" Firda melepaskan diri dari pelukan Bion.

"Loh iya, istriku lagi butuh refreshing kan?" Sambil menjawil pipi istrinya yang bulat. 

"Aaah mau mau. Aku siap-siap ya." Penuh semangat Firda bangkit dari sofa dan bergegas menuju kamar tidur utama.

Bion tersenyum, merasa lega istrinya kembali seperti semula. Ceria dan penuh energi. Perlahan senyumnya pudar ketika ujung matanya melihat foto besar di dinding ruang keluarga. Foto yang monumental dan penuh kenangan.

Dari tempatnya duduk, Bion bisa mendengar Firda bersenandung. Dia tertawa kecil dan bangkit menyusul Firda ke kamar. Tak lama, dia menutup pintu kamar.

Suasana di rumah serba putih ini sekarang terasa hangat lagi. Bunga lili calla di meja ruang keluarga masih segar padahal sudah tiga hari berada dalam vas. Bunga ini kesukaan Firda dan Marissa. Bunga bermahkota tunggal dan berwarna putih, hanya bagian stemnya saja yang berwarna kuning creamy.

***

"Kami sudah reservasi atas nama Bionious Moola. B-I-O-N-I-O-U-S, Bionious."


"Baik, Pak. Mohon maaf, Pak, Mohon mengeja nama belakangnya."

"M-O-O-L-A, Moola."

"Baik. Executive Suite dengan Balcony dan non smoking untuk tiga hari dua malam atas nama Bapak Bionious Moola. Porter kami akan membawakan bagasi Bapak dan Ibu. Bapak bisa menghubungi concierge kami, Mba Lisa, yang bertugas hari ini untuk membantu Bapak dan Ibu. Ini kartu kamarnya dan selamat menikmati hotel kami." 

Akhirnya setelah 14 jam penerbangan, Bion dan Firda sampai di Nusa Dua, Bali. Tempat penuh kenangan ketika mereka mengucapkan janji pernikahannya. Meski pernikahan mereka tidak mengundang banyak orang, rasanya sangat meriah. Apalagi melihat Firda dengan balutan gaun putih dan buket lili calla yang sangat cantik.

Kamar yang dipesan Bion juga sebenarnya adalah kamar bulan madu mereka. Bukan tanpa alasan tentunya Bion memilih tempat ini untuk mereka berlibur. Firda membuka pintu kamar setelah Bion menempelkan kartu pada layar kunci. 

"Gosh, Bion. It's been decades we haven't had our own vacation." Firda berputar-putar dengan gembira di tengah ruangan.

Bion tertawa lepas dan duduk di sofa berwarna mustard. Tak lama pintu kamar diketuk.

"Selamat siang, Pak. Saya mengantarkan bagasi Ibu dan Bapak." Ujar suara di balik pintu.

Bion berdiri dan membuka pintu, sedangkan Firda masih asik terkesima oleh pemandangan di balkon kamar. Setelah memasukkan semua koper dan menerima tips dari Bion, porter itu mengucapkan terima kasih lalu pamit.

"Bae, lihat lihat. Kolam renangnya kosong. Yuk." Firda menarik Bion untuk keluar kamar, tapi Bion menolak dan memintanya beristirahat dulu.

"Nanti malam ya, kita istirahat dulu. Kita juga belum makan siang." Bion memeluk Firda dan mengelus rambutnya.

"Marissa pasti senang di sini ya, Bae" Firda kali ini tidak seceria ketika datang. Senyumnya seolah hilang ditelan kepiluan mendalam.

"Dia akan selalu senang dimana pun, Beau." Bion berusaha mengembalikan keceriaan Firda. 

Bion menggandengnya ke balkon dan keduanya duduk dalam diam. Keduanya dikejutkan oleh dering ponsel Bion. Dia melihat ponselnya lalu mematikan daya ponsel itu.

"Kenapa dimatikan?" Tanya Firda sambil duduk di pangkuan Bion.

"Cuti berarti tidak bekerja. My time is for this milady." Bion menjawab sambil menggendong Firda ke tempat tidur.

***

"Buna.... Papa....Issa sendiian,Buna Papa dimana?"
"Issa, Marissa. Bunda di sini. Bunda di sebelah Issa. Tidur ya, Nak."
"Mau peluk, Buna. Issa peluk Buna. Papa mana?"

Firda membuka matanya, dia menoleh ada punggung Bion yang masih terlelap. Ponselnya ada di meja sebelah Bion. Firda pun bangun pelan-pelan agar tidak membangunkan Bion, padahal Bion sudah terbangun sejak tadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a