Langsung ke konten utama

Setangkai Lili Calla (Bag. 2)

Foto: Freepik.com

Pukul 09.23

Firda terlambat lagi, kali ini hanya 23 menit. Sebuah kemajuan. Dia menoleh ke samping kiri dan kanan mobilnya, memeriksa ruang kosong untuk memarkir Citroen AMI birunya. Mobil mungil untuk Firda yang juga mungil. Sangat cocok.

Sebagai seorang istri dan ibu di usianya yang awal tiga puluhan, Firda malah tampak seperti seorang siswa sekolah menengah atas. Badan mungilnya sekarang memakai pakaian casual, yang menurut Bion terlalu kekanakan, berwarna senada dengan sepatu Converse Chuck 70s ungu.  

Memang kalau diperhatikan, tidak akan ada yang menyangka kalau dia sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan berusia 4 tahun. Apalagi dengan penampilannya yang berjaket bomber dipadu celana jeans flare berwarna hitam. Ditambah topi hitam milik Bion, dia benar-benar seperti seorang remaja tanggung.
 
Firda memarkir mobilnya tepat di samping mobil Jeep hitam Trudi. Nyalinya seketika menciut seperti seekor semut, kedua tangannya mencengkram setir erat-erat.

Trudi sebenarnya adalah kenalan lama ayahnya, tapi seiring waktu dia sudah seperti keluarganya sendiri. Dia juga seorang psikolog yang menangani Firda sejak kecil dan satu-satunya orang yang tidak bisa dibohonginya. Itulah sebabnya dia merasa cemas setiap kali harus bertemu dengan Trudi seorang diri.

Hubungan Bion dan Trudi, tidak kalah peliknya. Bagi Bion, Trudi adalah seorang mentor sekaligus adik ipar dari ibu tirinya. Meski sudah belasan tahun, Bion masih menyalahkannya untuk kemalangan yang dialami ibunya. 

Aku bisa, semua baik-baik saja. Ayo Firda.

Pukul 09.46
Ponselnya berdering. Firda tidak segera mengangkatnya, setelah berdering tiga kali ponselnya mati. Trudi. Ponselnya berdering lagi dan Firda menarik nafas panjang. Dia menghembuskannya perlahan dan menjawab panggilan Trudi yang kedua.

"Halo, Tante. Aku di parkiran. Maaf tadi aku sedang memarkir." Keceriaan yang dibuat-buat itu pasti bisa terdengar jelas oleh si penelepon.

"Ya, aku ingin mengajakmu ke tea shop kawanku. Kita bicara santai saja di sana yuk." Trudi mengubah niatnya ketika mendengar suara kekanakan Firda. 

Semula dia hanya ingin memastikan Firda datang di sesinya. Namun, sekarang dia hanya ingin menjadi teman bagi Firda.

"Mmmh sekarang? Aku masih di mobil." Suara Firda sedikit bergetar.

"Kita naik mobilku saja ya. Kau tahu mobilku kan? Tunggu di sana, lima menit lagi aku turun." Trudi berbicara, sedangkan tangan kirinya sedang menulis catatan dan menempelnya di monitor komputer milik asistennya. Dia lalu menutup telepon dan bergegas turun.

Sementara itu Firda sedang mengatur emosinya sendiri di dalam mobil. Sedikit lebih tenang, Firda mengetik pesan kepada Bion.

"Bae, Trudi mengajakku ke tea shop. Call me ya anytime, please." 

Pesan terkirim.

Firda mengambil lip tint dari laci dashboard, mengolesnya tipis dan membenahi ikatan rambutnya. Hhhh baiklah Trudi, mari kita berbicara. Lalu dia memastikan tidak ada satupun barang pribadinya yang tertinggal. 

Dari kejauhan Trudi berjalan mendekati mobil Jeepnya. Firda pun keluar, menutup dan mengunci pintu mobilnya. Dia memasang senyum, ragu-ragu melambaikan tangannya.

"Hallo sayangku, kau sehat?" Trudi memeluknya.
"Mmmh."
"Bion masih marah padaku ya?" Sebuah pertanyaan basa-basi sebab dia sendiri mengetahui tindakannya di masa lalu sangat menyakiti Bion.

Firda tidak berkata-kata, cuma dengusan di antara senyum dan diamnya. Trudi membukakan pintu penumpang untuk Firda dan mengajaknya naik. Firda mengangguk. Jeep itu seperti mesin raksasa yang melahap tubuh mungilnya. Tampak garang sekali.

Perjalanan menuju kedai teh tujuan mereka tidak lebih dari satu jam. Keduanya turun dari Jeep. Mereka berjalan beriringan, tapi gerak-gerik Firda terlihat sangat tidak nyaman. Kikuk dan kaku, ya begitulah. 

Ponselnya berdering, tangan Firda yang berkeringat membuat ponselnya jatuh tergelincir ke dekat sepatu boots Trudi. Trudi berjongkok mengambilnya, sekilas dia melihat foto Marrisa mengenakan gaun ungu sambil memamerkan gigi kelincinya di layar ponsel.

"Terima kasih, Tante." Dia mengulurkan tangannya untuk menerima ponsel 

"Marissa cantik sekali, little angel, just like her mum." Trudi menanggapi Firda. 

Keduanya masuk ke kedai teh di sebuah komplek pertokoan. Bagi Firda menikmati secangkir teh akan lebih menyenangkan jika sambil duduk-duduk di teras belakang rumah sambil menemani Marissa bermain.

Trudi memilihkan tempat duduk di balkon, bagian paling private. Setelah keduanya memilih dan memesan, Trudi mengeluarkan sebuah buku diary kecil penuh dengan ornamen kelinci. Dia menyodorkan ke hadapan Firda sambil tersenyum.

"Kenapa Tante punya diary ini?" Firda mengernyitkan dahinya.  

Kedua tangannya mengambil buku diary itu dengan sungkan. Diary ini adalah buku catatan tumbuh kembang Marrisa yang dibuatnya sejak dia mengetahui ada kehidupan dalam perutnya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a