Langsung ke konten utama

Setangkai Lili Calla (Bag. 1)

Foto: Freepik.com


"Sudah Bunda bilang kan. Tiap kamu mau pipis seharusnya kamu bilang, bukan diam dan sembunyi!"
"Buna, aaf..." 
"Lihat itu, celana dan lantai sekarang basah. Kamu pikir membersihkan rumah seharian itu tidak melelahkan?!" Teriakannya itu diikuti dengan ayunan tangan kanan Firda ke paha kiri Marissa yang mungil.
"Sakit, Buna. Sakit." Marissa menangis sejadi-jadinya. 

Firda seolah ditarik oleh tali kekang tetiba duduk terjatuh memeluknya. Dia mengatur nafasnya dan menghitung dalam hati. satu, dua, tiga, empat, lima

"Maafin Bunda ya, Mba." Suara parau Firda terdengar putus-putus, tercekat oleh rasa sakit di dada dan tenggorokan.

Tubuhnya gemetar hebat, ada sensasi panas dan dingin yang sekaligus menyerang tubuhnya. Firda merasakan kedua kakinya tak bertenaga, seolah layu seketika, dia bersimpuh memeluk Marissa, gadis kecil kesayangannya.

Terasa sangat berat. Kedua tangan kecil Marissa memeluk leher ibunya sambil terus menangis pilu. Marissa tidak sepenuhnya mengerti alasan ibunya memukul sebegitu keras. Paha kecilnya memerah dan terasa panas di balik celana tidur Hello Kitty kesayangannya.

Kenangan buruk itu berputar terus di pikiran Firda. Antara menyesal dan sedih sekaligus marah, semua emosi itu datang silih berganti. Jam tangannya bergetar, sudah pukul 3 dini hari. Dia beranjak dari kasur Marissa, dielusnya berkali-kali selimut dan boneka kelinci kesayangan Marissa.

Ragu-ragu Firda mematikan lampu kamar dan menutup pintunya perlahan. Helaan nafasnya terdengar nyaring di suasana malam yang sunyi. Firda melihat lampu ruang tamu di lantai bawah menyala. Bion baru pulang ya. Entah kali keberapa dia mendapati suaminya selalu pulang dini hari.

Firda menuruni tangga sambil menyusuri ukiran bunga lily di pegangan tangga. Besinya terasa sangat dingin, saking dinginnya, ujung-ujung jari tangannya seperti mati rasa. Kakinya pun kedinginan, hampir membeku. Tidak ada penghangat ruangan yang dinyalakannya seharian ini. 

"Kamu sudah makan? Aku siapkan air untuk mandi ya." Firda mendekati Bion yang sedang bersandar.

"Sudah. Nggak usah. Aku mau tidur." Jawab Bion terkesan setengah hati.

Firda tidak menjawab apapun. Dia berjalan mematikan lampu ruang tamu dan berjalan ke dapur. Di atas counter, sepiring lasagna dingin dan segelas jus jeruk masih utuh. Dia lupa lagi untuk makan malam, atau sengaja melupakannya.

Telunjuk kanannya memainkan ujung gagang garpu, suara denting garpu beradu dengan piring porselen. Suara dengkuran Bion mengisi ruangan, dan Firda menghela nafas sangat panjang. Dia bangkit dan jalannya sungguh gontai. Piring porselen putih berisi lasagna itu dimasukkannya dalam microwave.

Firda menatap kaca microwave, tak lama kemudian microwave berbunyi. Beban dalam hatinya melarang dia untuk menikmati makanan, tetapi otaknya mengatakan tubuhnya kelaparan. Dia pun menyuapkan lasagna sesuap demi sesuap, sampai akhirnya tidak ada lagi yang tersisa. 

Piko si kucing Siam kesayangannya masuk dari pintu belakang. Bulunya yang lembut menyapu betis Firda, dan dia menyambut Piko dengan belaian. Ada senyum merekah di bibirnya. Cantik sekali.

Bion rupanya sudah bangun dan menghampiri Firda di dapur. Bertolak belakang dengan Firda, langkahnya begitu berat dan mantap. Dia mengambil gelas kopi dan menuang sisa kopi semalam ke bak cuci piring. Bion berdeham beberapa kali sambil mencari biji kopi yang baru dibelinya minggu lalu.

"Beau, kopi kemarin dimana?" tanya Bion.
"Mmmh, masih di laci bawah counter. Mau aku buatkan?" Firda menanggapi Bion masih sambil berjongkok mengelus Piko.

"Nah, aku bisa. Kamu istirahat lah, hari ini ada janji dengan dokter Trudi kan?" Bion membungkuk untuk mengambil kantung kopi.

Firda menggendong Piko dan duduk di kursi counter. Dengkuran Piko sangat keras. Konon katanya dengkuran kucing seperti itu bermanfaat untuk menenangkan dan menyerap energi negatif dari pemiliknya.

"Boleh ya, kali ini saja aku minta ditemani kamu?" Suaranya menyedihkan seolah dia sedang menahan tangis.

"Beau, ayolah. Kamu tahu kan, Trudi dan aku tidak pernah sependapat." 

"Antar aku sampai depan ruangannya saja, ya?" Firda masih berusaha agar Bion memenuhi keinginannya.

Bion tidak menjawab. Aroma kopi menyeruak memenuhi dapur. Dia berjalan mendekati perempuan yang sangat dikasihinya, ibu dari Marissa si malaikat kecilnya. Dia mengecup keningnya dan mengusap punggung Firda, tetapi berlalu begitu saja tanpa memberikan jawaban.

Firda menatap secangkir kopi pekat yang baru saja disuguhkan Bion. Beau.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a