Langsung ke konten utama

5 Pekan Pertama Di Komunitas ODOP

Foto: Graphicriver.net

Setelah sekitar lima belas tahun lebih bergelut do dunia pendidikan, saya mulai merasakan sedikit kelelahan. Setiap kegiatan dan hal yang biasa sangat digemari, berubah menjadi dangkal, hampa dan menjemukan.

Suatu hari saya menyampaikan keinginan untuk mengundurkan diri kepada dua orang rekan terdekatku. Layaknya teman, mereka memintaku mempertimbangkan kembali putusanku. Membuat dan mengambil keputusan itu sangat tidak mudah sesungguhnya.

Tahun 2019, semakin mantap saya membuat keputusan mengundurkan diri. Para kolega, mahasiswa, tentunya atasan, sudah mengetahuinya. Mereka tahu keputusaku sudah bulat. Sebelum pergi, kutunaikan dulu semua kewajiban dan tugasku.

Jangan sampai siapapun penggantiku harus membereskan bahkan membersihkan kotoran-kotoranku. Terjadilah, 20 Februari 2020 berkas pengunduran diri sudah sampai ke sekretaris rektorat. 13 Maret 2020, saya resmi menjadi ibu rumah tangga.


Menjadi Full Time Mom
Setelah sekian lama bekerja, menyiapkan bahan ajar, berkumpul dan berdiskusi, membaca hasil karya tulis mahasiswa, rasanya tidak mengerjakan apapun menjadi aneh. Aku berusaha menikmatinya, terlebih memang langkah ini kubuat supaya ku bisa memiliki keturunan.

Tak berselang lama, setelah istirahat beberapa bulan dari kelelahan fisik dan mental, saya hamil. Kehamilan dan kelahiran si kecil pun mengubah diriku, atau tepatnya melahirkan sosok baru. Aku mulai rindu bergelut dengan kesibukan kampus. Bukan kampusnya tetapi para mahasiswanya.

Mereka sebenarnya teman diskusi yang menyenangkan, penuh tantangan. Terlebih mereka bisa membuat keriuhan di kepalaku teratasi. Saya sadar harus mengalihkan keriuhan itu dengan aktivitas lainnya.

Pertemuan dengan ODOP
Mulailah saya mencari tahu tentang berbagai kegiatan menulis yang bisa diikuti oleh seorang ibu. Beberapa komunitas, webinar dan sekolah jarak jauh sudah kulakukan. Berikutnya selalu ada pertanyaan, "Berikutnya apa lagi?".

Tanpa sengaja algoritma Instagram mengarahkan pada beberapa komunitas menulis, salah satunya adalah ODOP. Informasi yang pertama muncul adalah komunitas menulis ini sedang melakukan open recruitment. Mereka menyebutnya Oprec ODOP 2023 Batch 11. 

Kubaca baik-baik persyaratannya tapi belum ada keinginan untuk bergabung. "Mungkin nanti." Kataku. Saya masih mencari informasi tentang beberapa komunitas yang sayangnya tahun ini mereka sudah mengakhiri masa penerimaan anggota baru. 

Saya kembali penasaran dengan apa dan siapa komunitas ODOP ini. Kubuka profil Instagramnya, scrolling sampai postingan paling awal. Berikutnya saya membaca satu per satu postingannya. Akhirnya kuputuskan untuk bergabung. 

Rumah Belajar, Keluarga Baru
Setelah menyelesaikan persyaratan untuk bergabung, Saya kemudian bertemu dengan para pengurus ODOP yang luar biasa pengalaman dan ilmunya. Saya siap belajar lagi, memulai dari nol dan mengosongkan kembali gelasku.

Bertemu secara daring vis grup WhatsApp buatku sudah lumrah, tetapi dengan sekian banyaknya anggota baru saya ingin lebih personal. Ternyata saya beserta teman-teman baru di Batch 11 terbagi dalam dua kelompok, Buya Hamka dan Dee Lestari.

Saat ini saya berada di kelompok Dee Lestari bersama kurang lebih 25 teman baru. Kami belajar bersama dengan dipandu oleh dua orang penanggung jawab. Kegiatannya beragam, seru dan penuh tantangan.

Dengan program yang jelas di tiap harinya dan dijelaskan di awal pertemuan, saya merasa ini komunitas yang tepat. Mereka jelas mengetahui bagaimana cara mengelola komunitas dan para anggotanya untuk aktif berkegiatan. 

Para penanggung jawab menjelaskan bahwa Komunitas ODOP ini memiliki empat agenda, yaitu Satu Jam Lebih Dekat (SJLD), Materi Kulwap, Bedah Tulisan dan Posting Harian.

Agenda SJLD ini dilaksanakan setiap Senin malam. Para peserta baru diberi kesempatan untuk akan mengenalkan dirinya. Agenda ini menarik bahkan membuat para peserta penasaran sebab tidak ada tahu giliran siapa untuk tampil.

Materi Kulwap biasa diberikan dua kali dalam satu pekan. Buatku, materi yang disampaikan sangat baik, bermanfaat dan penuh inspirasi. Materi ini berbentuk diskusi di grup Whatsapp dan dipandu oleh seorang moderator. Hal paling menarik adalah setiap materi berakhir, para peserta mendapat tugas berupa tantangan terkait materi.

Agenda berikutnya adalah bedah tulisan dari setiap peserta. Saya bersemangat karena ini adalah momen untuk menerima berbagai masukan. Bahkan dari bedah tulisan ini, saya pribadi jadi lebih hati-hati dalam menulis dan lebih sering membuka KBBI.

Agenda yang harus rutin dilakukan adalah Posting Harian. Karena saya hiatus setelah sekian lama, tuntutan untuk menulis di blog dan dipantau setiap hari menjadi motivasi. Setiap kegiatan ternyata dinilai berupa poin.

Sistem poin ini juga memotivasi untuk tetap ada di batas aman setiap minggunya. Sedih juga karena sempat ditinggalkan beberapa peserta karena mereka tertinggal banyak poin. 

Ke depannya saya berharap bisa menjadi lebih konsisten dan komitmen, kembali ke tujuan awal bergabung. Menulis untuk mencurahkan keriuhan di kepala, melatih kembali tata cara menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Terima kasih Komunitas ODOP, semoga kita bisa berkembang lebih baik ke depan bersama-sama.

Komentar

  1. Aamiin, senang ketemu sama teman-teman yang memiliki passion dan ketertarikan yang sama. Semoga kita masih dipertemukan lagi ya Kak, di event-event selanjutnya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a