Langsung ke konten utama

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest

"Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?"

"Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?"

"Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?"


Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini.

Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya. 

Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi atau paper person. Kita juga sebagai pembaca yang memberi makna pada setiap peristiwa yang dialaminya.

Lalu bagaimana mereka bisa dikaitkan dengan isu kejiwaan yang dialami manusia sungguhan? 

Sama seperti halnya kita yang memiliki pengalaman hidup dan emosi, tokoh-tokoh dalam novel diciptakan untuk memiliki emosi tertentu. Penulis menyisipkan emosinya melalui paparan cerita dari awal sampai akhir. 

Pengalaman hidupnya adalah alur cerita yang mengarahkannya pada berbagai konflik. Konflik yang memuncak bisa mengakibatkan para tokoh melakukan sesuatu berdasarkan alurnya juga. Bisa jadi mereka menuturkan sendiri apa yang dialami dan dirasakannya.

Tuturan dan tulisan adalah kata kunci dalam psikoanalisis. Beberapa orang rekan yang berprofesi sebagai seorang psikolog berkomentar bahwa di masa sekolah sarjananya, mereka menggunakan karya sastra untuk mengganalisis gejala-gejala psikologis.

Dua orang pakar psikoanalisis menyebutkan bahwa menulis adalah alat luar biasa yang memungkinkan kita membangun proses cerita analitis, untuk membantu kita merasakannya tapi sekaligus tidak terlalu terpengaruh oleh gejolak emosional yang ditimbulkan oleh kehidupan itu sendiri. Melalui tulisan dan tuturan penderitaan atau emosi apapun dapat terekam.

Kata-kata dan caranya dipaparkan supaya bermakna atau memiliki makna tersembunyi bisa menjadi kualitas luar biasa yang khas dari ketidaksadaran. Dengan begitu, bagian dari kita yang ditutupi atau tersembunyi dapat muncul tanpa disadari. Pada bagian inilah sastra menggunakannya sebagai sebuah kritik.

Kritik sastra psikoanalisis cenderung membahas pikiran penulis, para tokoh, para pembaca bahkan teks itu sendiri. Gagasan yang seringkali diadopsi adalah gagasan Freud, Lacan dan Jung. Melalui gagasan Freud tentang Id, Ego dan Superego, kritik sastra dapat menganalisis penyebab dan motivasi dari tindakan sang tokoh.

Foto: Pinterest

Pada pertanyaan di awal, misalnya, Humbert Humbert memiliki ketertarikan kepada seorang gadis remaja bernama Dolores "Lolita" Haze. Karakterisasinya dibuat sebagai sosok seorang keturunan Eropa yang tinggal di Amerika, mahir berbahasa dan cenderung memanipulasi perempuan dengannya.

Dia berdalih bahwa Lolita yang menggodanya dan dia hanya mengikuti instingnya. Lolita di sisi lain dibuat sebagai seorang gadis belasan tahun yang genit yang akhirnya lepas dari Humbert. Hubungannya dengan Humbert menjadi intens setelah ibunya dinikahi Humbert. Kemudian, berakhir setelah Humbert mengajaknya dalam aksi pornografi anak.

Baik Humbert atau Lolita merupakan tokoh yang bisa dianalisis menggunakan psikoanalisis gagasan Freud. Pilihan kata yang digunakan Humbert adalah kata-kata sulit dan tertata untuk menunjukkan dirinya sebagai seorang yang terdidik. 

Ini menjadi bentuk Ego yang dilihat orang lain supaya motif sang Id tidak diketahui. Penilaian masyarakat menjadi superego yang membuat Id direpresi dan muncul apa adanya hanya pada Lolita.
 
Ketika menggunakan gagasan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism), perilaku Humbert adalah ciri-ciri dari dari usahanya menutupi kecemasan dan kegagalannya di masa kecil. Dari sepuluh jenis mekanisme pertahanan diri, bisa dikatakan tokoh Humbert Humbert hampir memiliki semuanya.

"I was angry,disappointed and bored, but being a polite European, could not refuse to be sent off to Lawn Street in that funeral car, feeling that otherwise McCoo would devise an even more elaborate means of getting rid of me."

Misalnya ketika dia menggambarkan diri sebagai seorang Eropa yang sopan, berbudaya dan terdidik. Sesungguhnya dia sedang menggunakan mekanisme pertahanan diri berupa reaksi formasi.

Reaksi formasi ini adalah bentuk ego melindungi dirinya dari pikiran atau perasaan yang tidak dapat diterima individu karena nilai yang dianut dan berlaku secara pribadi, keluarga, komunitas atau sosial.

Kira-kira begitulah cara penggunaan psikoanalisis dalam kritik sastra. Sastra adalah bagian dari manusia. Itu sebabnya apapun yang terkait manusia dan dunianya, sastra memberikan ruang untuk berdiskusi. Terlebih lagi bicara tentang ilmu, sebaiknya memang tidak perlu ada dikotomi.

Komentar

  1. Waah baru tahu, Alice in the wonderland, Lolita, Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde merupakan sebuah novel. Saya tahunya sebuah film. Ada juga drama korea dengan judul Alice in the wonderland sama Jekyll Hyde, Me, apakah mereka daot inspirasi dari novel ini, ya? Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. begitu sepertinya krn memang banyak karya yg juga terinspirasi dari karya sastra.

      Hapus
  2. Wah bahasannya berat, Kak. Keren tapi, membahas psikoanalisis memang selalu menarik

    BalasHapus
  3. Im not freudian btw, bahkan ada teorinya yg gak aku sepakati. Tapi memahami kondisi mental seseorang dari karya sastra adalah sesuatu yang sangat menarik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat, ada beberapa gagasan juga yg ngga berterima buatku.

      Hapus
  4. Wah ternyata ada istilahnya ya untuk kritik sastra ini. Bener bgt berkaitan dengan manusia jadi pikirannya pun secara tidak langsung ikut di kritik. Kok aku teringat sama bedah tulisan ya wkwk.

    BalasHapus
  5. wah, dapat ilmu baru nih. Aku suka banget pembahasan yang kayak gini xixixi

    BalasHapus
  6. setuju dengan statement penutupnya. Bener banget bahwa sastra adalah bagian dari manusia. Itu sebabnya apapun yang terkait manusia dan dunianya, sastra memberikan ruang untuk berdiskusi. Terlebih lagi bicara tentang ilmu, sebaiknya memang tidak perlu ada dikotomi.

    BalasHapus
  7. Bagi aku yang ngakunya suka sastra, tapi belum tahu fakta ini, duh berterima kasih banget sama kakak. Udah share ilmu sedaging ini. Aku jadi lebih tau lagi tentang sastra dan psikologi

    BalasHapus
  8. Dari dulu pengen nulis kritik sastra, tapi belum kesampaian karena ya gitu ... Tapi setuju sama statemen terakhir. Sastra adalah bagian dari kehidupan manusia

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso