Langsung ke konten utama

Prinsip 3 B Menjalankan Literasi Sejak Dini

Menanamkan kebiasaan dan kegemaran membaca di keluarga itu mudah. Sebagai orang tua atau orang dewasa di rumah, kita bisa mulai membiasakan diri membaca. Tidak cuma membaca buku fiksi, tapi membaca apa saja mulai dari berita di koran sampai buku resep.

Memulai kebiasaan sejak dini bisa diartikan ketika si kecil sudah memasuki usia 4-6 bulan atau justru sejak si kecil masih berupa janin. Sudah banyak penelitian yang menyebutkan manfaat membaca, khususnya membacakan nyaring, pada janin. 

Mereka sudah bisa mendengar suara ibu atau ayahnya, sehingga ia akan mulai mengingatnya. Termasuk mengenali bahasa yang digunakan oleh kedua orang tuanya. Dengan begitu, si kecil sudah terbiasa dengan banyak kosakata.

Lalu bagaimana untuk kita terus memelihara kebiasaan literasi ini? 

Jim Trelease dalam bukunya The Read Aloud Handbook menyebutkan ada sebuah prinsip bernama 3 B. Prinsip ini membantu supaya anak-anak bisa memiliki keterampilan literasi dan gemar membaca.

Foto: Mandira.id

Book (Buku)
Anak-anak setidaknya memiliki satu atau dua buah buku yang dimilikinya secara pribadi. Artinya dia tidak perlu mengembalikan buku-buku yang sudah selesai dibacanya.

Buku yang dimilikinya sendiri akan sangat memudahkan kapanpun mereka ingin membacanya. Mereka tidak perlu kuatir untuk mengembalikan atau menunggu buku yang mereka sukai. Mereka pun akan belajar tentang tanggung jawab.

Nama yang tertulis di sampul depan atau halaman depan buku akan membuat mereka menjaganya. Rasa kepemilikannya pun muncul sehingga mereka tidak akan meletakkannya sembarangan. Buku yang mereka pilih sendiri pun akan selalu disukainya.

Itu sebabnya mengajak si kecil ke toko buku dan mengizinkannya memilih buku, lalu membubuhkan namanya di buku akan sangat berkesan. Meski begitu, kita juga tetap perlu memerhatikan jenis buku yang dipilih supaya masih sesuai dengan usianya.

Foto: Pinterest
  
Book Basket (Keranjang/Rak buku)
Seringkali anak-anak yang tumbuh besar di rumah yang penuh dengan buku menjadi seorang pembaca yang baik. Kebanyakan dari kita menyimpan buku di dalam rak-rak tinggi. Kemungkinan anak-anak akan sulit untuk mengambilnya. 

Dengan menyimpan keranjang buku di beberapa sudut rumah, mereka bisa membacanya dimana pun. Banyak tempat untuk kita menyimpan buku, mulai dari ruang keluarga dan teras, atau ada juga yang menyimpan di kamar mandi. 

Bahkan kita bisa menyimpan beberapa buku di kursi belakang mobil. Mereka bisa membaca ketika merasa bosan ketika berkendara. Akses buku yang mudah bisa membuat mereka lupa pada gawai atau televisi. 

Foto: Pinterest
 
Bed lamp (Lampu tidur)
Lampu tidur dimaksud sebenarnya bukan yang jenisnya temaram atau berornamen, melainkan lampu dengan penerangan cukup. Ketika membaca di malam hari atau tidak bisa tidur, anak-anak bisa membaca buku kesukaannya.

Ayah dan ibu bisa menemaninya membaca sebagai rutinitas sebelum tidur. Seiring bertambahnya usia, mereka akan memiliki waktu tidur lebih malam. Salah satu cara untuk tetap membuatnya tenang dan siap untuk tidur adalah dengan membaca.

Pemilihan lampu tidur yang tepat sangat membantu anak-anak. Membaca buku di nyala lampu yang terlampau terang atau redup bisa membuat matanya cepat lelah dan perih. Lampu tidur berwarna-warni pun sebaiknya tidak dipilih. Lama kelamaan anak-anak akan merasa pusing karena perubahan lampunya.

Menumbuhkan kecintaan pada buku berarti menumbuhkan kecintaannya pada ilmu. Kita bisa menyediakan berbagai jenis buku bacaan, dan berdiskusi kemudian. Pengalaman literasi mereka akan makin kaya dengan fasilitas dan akses yang dimilikinya.

Mari membaca, meski hanya 15 menit atau 5 halaman. Selamat membaca dan salam literasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a