Langsung ke konten utama

Peringatan Yeonmi Park dalam While Time Remains

       Foto: simonandschuster disunting via Canva

Aku mendengar dan melihat penampilan perdana Yeonmi Park lebih kurang 8 tahun lalu. Ketika itu dia berusia 22 tahun. Yeonmi menyampaikan kisah hidupnya di depan publik dalam pertemuan One Young World di Dublin, Irlandia. Tidak lama kemudian, Yeonmi juga berbagi kisahnya di United Nation.

Di tahun 2015, Yeonmi meluncurkan sebuah memoar berjudul In Order to Live. Dia menuliskan kisahnya sebagai seorang anak berusia 13 tahun yang kabur dari negara kelahirannya sendiri bersama sang ibu. Buku pertamanya ini berhasil membuatku tercengang sekaligus terinspirasi untuk terus berjuang dalam hidup.

Memang Yeonmi bukan satu-satunya orang yang meninggalkan negaranya, tetapi kesan pertama yang ditinggalkannya di Dublin membuatku terkesima. Perjuangannya kabur menuju negara Cina bukan demi kebebasan dan kesejahteraannya. Dia pergi demi mendapat semangkuk nasi untuk makan.

Bagaimana tidak, perjuangannya dimulai sebagai seorang gadis remaja yang dijual seharga $300 karena masih perawan. Sementara ibunya seharga $65. Dia lalu terpaksa menikah dengan pemiliknya hanya untuk "selamat". Kisah hidupnya ini membuatku seperti membaca sebuah novel distopia. 

Pengalaman hidupnya terasa sangat jauh dengan realitaku yang tinggal di Indonesia. Sebuah negara, meski dengan segala kebobrokannya, yang bertolak belakang dengan Korea Utara tetapi masih memberikan kebebasan. Kebebasan berbicara, berpikir, dan memiliki hak hidup yang dilindungi Undang-undang.

Itu sebabnya buku memoar Yeonmi begitu berbekas di pikiranku. Bukunya mendorongku untuk mencari tahu lebih banyak tentang situasi dan kondisi di Korea Utara. Setelah dia menyelesaikan sekolahnya di Korea Selatan, dia kemudian pindah ke Amerika Serikat. 

Buku kedua Yeonmi Park
Tahun 2023 ini, Yeonmi meluncurkan kembali buku barunya. Buku ini berjudul While Time Remains: A North Korean Defector's Search for Freedom in America. Buku ini ditulisnya setelah dia resmi menjadi warga negara Amerika Serikat di tahun 2022. Buku inilah yang akan aku ulas.

Seperti buku pertamanya, aku sedikit banyak setuju dengan pemaparannya tentang privilese kita di negara bebas. Seringkali kita abai dan tidak bersyukur untuk hal-hal yang kita anggap biasa. Sebut saja kemudahan kita mendapat akses internet bahkan menggunakannya untuk mencari penghasilan.

Sinopsis 
Setelah melarikan diri dari Korea Utara dan berjuang di Cina dan Korea Selatan, Yeonmi akhirnya menemukan kemerdekaan dan kebebasan di Amerika. Dia berkesempatan untuk kuliah di Universitas Columbia. 

Kedatangannya di Amerika masih membuatnya ketakutan. Saking aneh dan asing dengan kondisi di New York sebagai sebuah kota besar, dia menyebutnya seperti mendarat di planet lain. Selama bersekolah di Korea Utara, pemerintah menyebarkan banyak propaganda. 

Yeonmi menceritakan bahkan cenderung mengingatkan masyarakat dunia, khususnya warga negara Amerika Serikat atas kelalaian mereka. Baginya, sebagai warga negara, dia harus memberi peringatan agar negara Amerika Serikat tidak menjadi Korea Utara.

Beberapa bagian yang menurutku perlu digarisbawahi adalah adanya propaganda, diskriminasi dan pengabaian. Fakta-fakta ini yang membuat Yeonmi mungkin merasa terkejut lazim terjadi di negara barunya. Tiga hal yang masih terjadi di negara-negara demokrasi seperti Amerika masih memiliki kesamaan dengan kondisi di Korea Utara. 

Propaganda 
Salah satu propaganda keluarga Kim adalah tidak ada manusia lain di luar Korea Utara. Kalaupun ada, mereka adalah makhluk menyeramkan. Begitu juga dengan Amerika, baginya Amerika adalah negara yang dihuni monster yang bisa menghancurkan mereka di Korea Utara. 

Arriving in New York City in November of 2014 was like landing on Mars.(2023: 1)

Dari pernyataan ini, Yeonmi seperti masih mengalami culture shock. Padahal sejak bergabung dengan komunitas keagamaan yang bisa membawanya bersekolah, dia berkeliling ke beberapa negara bagian di Amerika Serikat. 

Yeonmi tidak pernah mengetahui tata cara bergaul kalau saja dia tidak pergi belajar di Seoul, Korea Selatan. Namun, situasi dan kondisi di Korea Selatan yang notabene adalah kawasan Asia tentu berbeda dengan Amerika.

Propaganda dan didikan di Korea Utara yang diperolehnya memang tidak bisa begitu saja dihapuskan. Yeonmi tidak pernah mengetahui bahwa semua kekejian yang dialaminya semasa kecil dapat menyebabkan trauma. 

Dia juga memiliki konsep berbeda mengenai "hunger" atau "malnutrition". Baginya lapar berarti kematian. Sementara bagi kawan-kawan Amerika-nya, lapar berarti waktunya makan ke restoran.

Yeonmi tidak mengetahui bahwa memakan steak daging yang penuh lemak, dan karbohidrat bisa menyebabkan kematian perlahan. Dia hanya mengetahui bahwa memakan kecoa dan belalang adalah sebuah kemewahan untuk mendapatkan makanan berprotein.

Diskriminasi Ras
Yeonmi menyebutkan bahwa di Korea Utara pun diskriminasi berlaku meski bangsanya sama. Kim il Sung mengembangkan kelas sosial atau songbun yang merujuk pada latar belakang. Kim membaginya menjadi 3 kelas yaitu "core", "wavering" dan "hostile". 

Ketiga kelas itu kemudian dibagi kembali tiap-tiapnya menjadi sejumlah kelas. Jumlah keseluruhan kelas sosial ini adalah 51. Oleh karenanya, diskriminasi yang dialami masyarakat Korea Utara bukan berdasarkan pada ras tetapi kelas sosial.

"THEN THERE was race. In North Korea, we are taught that we belong to the Kim Il Sung Race. Growing up, I didn’t know that I was Asian. I didn’t know what Asia was. I was just one of several million descendants of a single man." (2023: 65)

Pernyataan Yeonmi ini jelas menunjukkan ketidaktahuannya terhadap dunia luar. Bahkan dia tidak mengetahui bagaimana orang lain menyebut bangsanya. Itu pun menjadi sebab dia tidak bisa memahami stereotip atau stigma yang didasarkan pada ras.

Ketidaktahuannya ini seringkali dianggap lelucon oleh rekan-rekannya semasa kuliah. Bahkan ketika Yeonmi dirampok oleh seorang lelaki kulit hitam ketika keluar bandara, tidak ada yang membantunya. Mereka menganggap Yeonmi sebagai seorang Asia pun menikmati supremasi kulit putih.

Pada kenyataannya, Yeonmi dan banyak orang lainnya mendapatkan perlakuan diskriminatif dari sesama imigran. Dan, bagi Yeonmi hal ini tidak jauh berbeda dengan di Korea Utara. 

Pengabaian terhadap kebebasan
Yeonmi juga menemukan tindakan keras yang meresahkan terhadap kebebasan berekspresi. Hal itu mengingatkannya pada kediktatoran yang menindasnya sehingga dia mempertaruhkan nyawanya untuk melarikan diri.

Yeonmi akhirnya memiliki perspektif unik tentang keyakinan anti-Amerika dan anti-kebebasan.Dia juga berbicara tentang cuci otak politik massal yang dia saksikan di Amerika Serikat. Karena ceramahnya ini, Yeonmi bahkan menghadapi kecaman dan ancaman pembunuhan.
 
"AS I alluded to in the introduction, for the duration of my time in the United States, I’ve been the target of attacks and accusations of being “right wing” or “far right,” almost exclusively for what I’ve said in public about the Chinese and North Korean regimes—both of which the U.S. government itself, under different administrations, has labeled enemies or competitors." (2023: 161)

Berdasarkan pernyataan Yeonmi ini, dia banyak mendapatkan ancaman. Intelijen dari Korea Selatan pun memberitahunya bahwa pemerintahan Kim memang mengirim pembunuh untuknya. Namun, karena dia sudah menjadi warga negara Amerika Serikat, mereka menyerahkan soal keamanan Yeonmi kepada pihak federal (FBI).

Meski begitu, Yeonmi juga sepertinya masih belum sepenuhnya dipercaya oleh pihak federal. Kepala federal bahkan menghubunginya secara pribadi untuk bertanya keberpihakannya pada salah satu partai di Amerika. Selain itu, semua jadwal ceramahnya di akademi FBI dibatalkan.

Kondisi ini menurutku tidak jauh berbeda dengan pembungkaman yang dialaminya pada saat menjadi warga Korea Utara. Kebebasan berbicaranya memang dimilikinya, tetapi arahnya pembicaraannya akan selalu diawasi.

Penutup
Di While Time Remains, Park memperingatkan orang Amerika tentang kemunafikan fatal, taktik massa, dan dorongan otoriter yang berbicara atas nama keterjagaan dan keadilan sosial. Dia menyebutkan pengalamannya ketika bertemu dan berbicara di hadapan para pebisnis seperti Jeff Bezos, politisi seperti Hillary Clinton, dan sutradara kenamaan Howard Weinstein.

Bagiku buku ini sangat emosional dan sentimental. Melalui bukunya, Yeonmi memberikan pandangannya tentang ideologi yang ada di negara-negara maju, khususnya di Amerika. Tentang bagaimana masyarakat menilai dan memaknai hidup mereka. 

Seringkali kita menerima begitu saja kebebasan yang ada dan tidak sepenuhnya menghargai apa yang kita miliki. Semoga kita pun menyadari peringatan yang disampaikan Yeonmi Park.

Judul                 : While Time Remains: A North Korean Defector's Search for Freedom in America
Penulis               : Yeonmi Park 
Jumlah Halaman : 320 (e-book)
Penerbit              : Threshold Editions
Tanggal Terbit     : 14 Februari 2023
ISBN                   : ‎978-1-6680-0333-6 (e-book) 
Bahasa               : Inggris


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a