Langsung ke konten utama

Let's Read Asia Bekal Ayah Bunda Membaca Bersama Si Kecil

Seringkali sebagai orang tua, kita ingin membelikan buku-buku terbaik untuk anak-anak. Seringkali juga kita terbentur dengan kondisi keuangan yang masih terbatas. Apalagi harga buku-buku berkualitas memang cukup tinggi.

Belum lagi dengan masalah lain seperti keterbatasan ruang dan pilihan bacaan yang tepat sesuai usia dan tingkat membaca anak. Saat ini kita tidak lagi perlu kehabisan bahan bacaan, hemat secara finansial dan ruang sebab The Asia Foundation memiliki sebuah aplikasi bernama Let's Read.

Yayasan ini bekerjasama dengan banyak institusi seperti USAID, UNESCO, All Children Reading, Global Digital Library, The World Bank, dan banyak lagi. Dengan memiliki 18 kantor di kawasan Asia, yayasan ini bertujuan untuk menjalin hubungan dengan masyarakat lokal dan menyediakan bacaan yang dapat diakses kapan dan di mana pun.

Let's Read, sebagaimana yang disampaikan di laman situsnya, menyatakan bahwa tujuannya menjalin hubungan dengan masyarakat lokal di berbagai pedalaman kawasan Asia agar anak-anak memiliki literasi dan mengetahui identitasnya sebagai suatu suku bangsa.

Buku-buku di laman dan aplikasi Let's Read memiliki beragam tema, latar belakang dan bahasa daerah. Dengan begitu, apapun bahasa daerah yang digunakan, anak-anak tetap bisa bertualang, menambah wawasan dan kosakatanya.

Fitur Menarik Dari Let's Read
Selain bisa memilih bahasa yang digunakan, satu hal yang menjadi sangat penting bagi orang tua dan anak-anak sendiri adalah tingkat kemampuan membaca. Let's Read menyediakan enam pilihan tingkat kemampuan membaca mulai dari 0 sampai 5.
Artinya anak-anak usia dini atau 3 tahun, sesuai rekomendasi para pakar mengenai usia dan paparan layar (screentime), sudah bisa menikmati buku-buku digital ini bersama orangtuanya. Semakin tinggi tingkat kemampuan membacanya, jumlah halaman dan tema yang disuguhkan pun makin bertambah.

Fitur menarik berikutnya adalah jenis format buku. Let's Read menawarkan tiga jenis format yaitu teks, audio, dan alt image. Anak-anak bisa melihat dan mendengar cerita dalam buku dibacakan sesuai pilihan bahasanya.

Dengan 15 pilihan kategori tema, anak-anak dan orang tua tidak akan kehabisan bahan bacaan. Kita bisa sama-sama mengeksplorasi berbagai budaya dan cerita dari banyak negara-negara di Asia. Bahkan buku-bukunya banyak juga yang menyuguhkan isu kontemporer terkait lingkungan dan pemberdayaan masyarakat, khususnya perempuan.

Bahasa Isyarat 
Selain mengusung keberagaman dan pemberdayaan, isu terkait difabilitas dan disabilitas pun disuguhkan. Bahkan setidaknya ada 10 judul buku yang disertai dengan bahasa isyarat berbahasa Indonesia. 
Tampilan ketika membaca memang agak membingungkan karena ada dua layar aktif dalam satu tampilan. Layar pertama memperlihatkan cerita aslinya, sedangkan layar kedua berupa video yang menampilkan seorang penerjemah bahasa isyarat.

Target Membaca
Pada aplikasinya, Let's Read menawarkan target membaca dan pengingat yang disesuaikan secara mandiri dan sesuai kebutuhan. Sebagai orang tua, kita perlu memerhatikan durasi paparan layar dan rentang konsentrasi anak-anak.
Dengan adanya target membaca, anak-anak yang memiliki tingkat kemampuan membaca di atas 3 bisa termotivasi untuk tidak hanya menyelesaikan satu buku tetapi juga berdiskusi. Beberapa buku memberikan pertanyaan terkait isi buku sehingga orang tua pun terbantu untuk terlibat dalam proses berpikir kritis anak-anak.

Banyaknya bahan bacaan dengan beragam jenis dan format tidak akan bermanfaat jika tidak dibaca dan dibacakan. Mari membaca bersama si kecil di mana dan kapan pun. 

Komentar

  1. Wah menarik aku pengen coba juga. Untuk yang bahasa isyarat bisa di hide gitu gak sih mbak? Biar 1 bagian layar penuh aja

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a