Langsung ke konten utama

Integritas Akademik, Masih Adakah?

Foto: Grup Ikatan Dosen Indonesia 

Sejak lama para akademisi dikejar oleh tuntutan untuk menerbitkan artikel yang dipublikasikan di jurnal terakreditasi dan tereputasi. Mereka dituntut untuk produktif menulis tanpa melalaikan tugas utamanya sebagai pendidik.

Selain itu, mereka pun beramai-ramai harus segera mengurus jabatan fungsional yang menyangkut hajat hidupnya. Ditambah lagi, ada banyak tuntutan administrasi yang perlu dipenuhi tidak hanya di setiap semesternya melainkan juga setiap hari.

Pandemi Covid-19 kemarin seharusnya memudahkan mereka untuk bisa bekerja dengan baik tanpa ada administrasi harian. Namun, banyak rekan yang mengeluhkan pekerjaan mereka bertambah banyak dan panjang alurnya. Belum lagi mereka harus menggunakan begitu banyak aplikasi mulai dari Sister, Sinta, Google Scholar, Bima dan lainnya.

Kabar yang kudapat, mereka harus mengisi setidaknya 10-50 jenis aplikasi berbeda. Padahal sepengatahuanku dulu, semua itu seharusnya dimaksudkan untuk mengintegrasikan semua data. Para akademisi bisa mengunggah datanya kapan saja dan akan terintegrasi dengan pusat data.

Fakta di lapangan ternyata tidak begitu. Mereka tidak hanya menjadi "budak" Scopus dan Turnitin, tetapi juga korban dari semerawutnya sistem dn manajemen pendidikan di tingkat penyelenggara. Universitas baik negeri maupun swasta berlomba-lomba untuk mengejar indeks penulisan karya ilmiah internasional. 

Hal ini sebenarnya wajar karena mereka harus mengikuti Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 9 Tahun 2015. Peraturan ini mewajibkan para akademisi sebagai peneliti yang sudah berada di jenjang profesor riset untuk mempublikasikan karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi.  

Foto: Grup Ikatan Dosen Indonesia

Selain itu, ada juga Surat Edaran Dirjen Dikti No. 152/E/T/2013 Tanggal 27 Januari 2012 yang mewajibkan mahasiswa doktoral mempublikasikan karya ilmiah di jurnal internasional. Hal ini yang kemudian bisa mengarah kepada hilangnya integritas akademisi.

Para akademisi diharapkan untuk menjunjung nilai-nilai kejujuran, bertanggung jawab, adil dan terhormat. Semua ini harus tercermin dalam sikap profesionalismenya juga karya-karya ilmiah yang dihasilkan. Namun sayang, fenomena hyperauthorship bahkan perdagangan kepenulisan merebak di kalangan akademisi.

Foto: Grup Ikatan Dosen Indonesia

Mereka yang dikejar poin untuk jabatan fungsional tetapi kehabisan waktu mendapat angin segar dari para penyedia jasa publikasi ilmiah. Mereka tinggal menyiapkan dana sesuai pilihan slot dan karya ilmiahnya. 

Apakah kemudian karya ilmiah mereka patut dipublikasi atau tidak? Bisa jadi mereka agak tutup mata. Terlebih lagi dengan adanya peraturan baru terkait kenaikan jabatan dan kewajiban publikasi karya ilmiah. Suara para akademisi pun terbelah.

Sebagian mereka mempertanyakan bahkan mengutuk praktik perdagangan jurnal sebagai sebuah kriminal. Sebagian lainnya menganggap ini sebuah upaya untuk membantu mereka memenuhi kewajiban di tengah kepadatan tuntutan Tri Dharma Perguruan Tinggi.


Akhirnya dengan melihat data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk periode 2017-2021 terjadi peningkatan 7-13% pada jumlah artikel ilmiah di jurnal-jurnal Scopus. Persentase ini beragam berdasarkan peringkat jurnalnya yaitu Q1-Q4). Kebijakan publikasi di Indonesia direspon dengan kuantitas dan bukan kualitas.

Saya harus mengakui bahwa budaya ilmiah di Indonesia masih lemah. Adapun munculnya peraturan pemerintah tentang penulisan karya ilmiah ini memang bertujuan positif. Kualitas karya ilmiah tidak bisa diperoleh dengan mudah, perlu waktu dan keseriusan.

Prihatin juga ketika banyak mahasiswa harus merelakan karya ilmiahnya untuk diklaim sebagai milik para dosennya. Mereka tentunya tidak memiliki kuasa, toh nama mereka tetap dicantumkan meski sebagai penulis kedua. Namun akan sampai kapan praktik seperti ini terus terjadi?

Pemerintah seharusnya benar-benar memerhatikan bagaimana peraturan-peraturan yang dikeluarkan itu dipahami dan diterapkan oleh pihak penyelenggara pendidikan. 

Pemeringkatan universitas pun seharusnya diikuti oleh peningkatan kualitas dan kemampuan para akademisi. Penilaian pada akreditasi nasional dan internasional seharusnya menunjukkan data sesuai fakta sehingga bisa meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.

Mari kita perbaiki kualitas pendidikan dengan mengusung nilai kejujuran, bertanggung jawab, adil, dan terhormat sebagai nilai kunci integritas akademik dalam belajar dan bekerja. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a