Langsung ke konten utama

Gregetnya Mendaftar Relawan Audio Buku Gemari Baca

Foto: Instagram


Sebelum audiobook booming dan podcast ramai dibicarakan, keduanya sudah lama hadir dan memiliki penggemarnya masing-masing. Bagiku keduanya adalah cara terbaik untuk menikmati karya-karya klasik yang belum sempat kubaca.

Memang saya paling sering mendengar banyak audiobook berbahasa Inggris selain waktu itu librivox hanya menyediakan selain bahasa Indonesia, juga karena saya belum menemukan versi Indonesia. Agak sulit memang untuk mencari buku-buku Indonesia yang dibacakan dalam format audio di awal tahun 2000.


Sir Christopher Lee, Inspirasiku
Hingga saat ini, saya masih mendengarkan audiobook dan podcast sambil mengerjakan pekerjaan rumah. Salah satu audiobook yang saya gemari adalah The Tell Tale Heart karya Edgar Allan Poe yang dibacakan Sir Christopher Lee. Sebagai penggemar Poe, saya merasa suara Lee sangat cocok untuk membacakan semua karya Poe.

Cara Lee membacakan cerita seperti mendongeng dan terasa begitu nyata. Suaranya yang dalam, rendah sekaligus berat, sangat khas. Kemampuannya untuk mengartikulasikan kata demi kata begitu luar biasa, ada emosi yang silih berganti dalam setiap intonasi, volume bahkan jeda.

Kemudian saya pun berlatih membaca untuk mendongeng. Bisa dibilang pada waktu itu pelafalan bahasa Inggris saya pun membaik, hanya saja kontrol terhadap suara dan intonasi dalam perubahan suara belum bisa sepenuhnya dilakukan.

Pemilihan genre juga ternyata sangat berperan, saya yang suka genre thriller, horor, misteri, pokoknya segala yang non-romance. Ternyata justru profil suara saya konon lebih cocok ke arah romance. Tragis ya. Namun, saya memutuskan untuk tidak berhenti latihan mendongeng.

Menjadi Ibu Membangkitkan Hobi Lama
Meski dulu saya berprofesi sebagai pengajar sastra, menggunakan keterampilan mendongeng sangat jarang dilakukan selain berkaitan dengan pembelajaran di kelas. Akhirnya saya dan beberapa rekan mahasiswa berlatih kembali cara mendongeng dari dasar.

Sayangnya sejak saya mengundurkan diri, kegiatan itu menghilang.Saya lebih sering menjadi penikmat belaka. Namun sejak usia kandungan saya memasuki usia 14 minggu, saya mulai rajin membacakan nyaring berbagai jenis buku pada si jabang bayi.

Kegiatan ini berlangsung sampai si kecil lahir dan sekarang menjelang 3 tahun usianya pun masih terus kubacakan. Semua orang suka mendengar dongeng kan, sehingga saya mulai berlatih lebih serius ketika membacakan nyaring kepada si kecil.

Pertemuan Dengan Relawan Audio Buku Gemari Baca
Seiring waktu saya mulai bisa beralih suara dan mengontrolnya ketika membacakan nyaring buku-buku si kecil. Terlebih ketika saya diminta membacakan buku The Little Red Riding Hood dan Roarrr Went The Lion.

Kedua buku ini memiliki banyak karakter suara dan harus dimainkan dengan mulus. Peralihan dari suara narator menjadi suara si Red, lalu Serigala dan Nenek, cukup sulit. Apalagi ketika membacakan Roarrr yang memiliki kurang lebih 8 ekor binatang.

Di waktu itu, saya tanpa sengaja justru menemukan sebuah pengumuman atas penerimaan relawan. Relawan yang satu ini bahkan berkaitan dengan audiobook dan membacakan nyaring.

Saya pun memberanikan diri untuk mendaftar tanpa berharap lebih bisa bergabung. Namun justru 6 hari kemudian saya melihat ada 759 orang  yang mendaftar sebagai relawan. Saya pun pasrah saja.

Di hari pengumuman saya juga memberanikan diri melihat tautan yang diberikan penyelenggara. Nama saya tercantum sebagai salah satu relawan yang diterima dari 216 nama yang ada. Luar biasa sekali kesempatan yang diberikan ini.

Semangat untuk belajar dan terlibat dalam proses pembuatan audiobook tentu sangat luar biasa. Apalagi audiobook ini ditujukan untuk membantu anak-anak Indonesia menikmati buku dengan mendengar.

Pengalaman ini membuatku makin yakin bahwa literasi dan membacakan nyaring tidak hanya menjadi hobi dan passion, tetapi juga cara saya menyalurkan ilmu saya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a