Langsung ke konten utama

Demi Kearifan Lokal, Baduy Dalam Meminta Penghapusan Sinyal

Fenomena kaum urban adalah selalu menginginkan segala sesuatunya berjalan dengan cepat dan mudah. Teknologi yang makin canggih menuntut perangkat pendukung yang juga dapat berfungsi optimal. Antusiasme mereka begitu tinggi mengetahui adanya peningkatan kualitas jaringan menjadi 5G.

Dengan sinyal kuat, mobilitas mereka akan bergerak lebih cepat dan efisien. Begitu memang ekspetasinya dari keberadaan teknologi informasi dan komunikasi. Sayangnya seperti sebuah pedang bermata dua, perkembangan teknologi ini pun dapat membawa dampak buruk.

Mulai dari kesenjangan sosial sampai hilangnya tradisi dan kearifan lokal masyarakat. Indonesia dengan kurang lebih 360 suku bangsa memiliki budaya, tradisi dan kearifan lokal tersendiri yang membuatnya sangat unik. Indonesia juga menjadi negara kedua setelah Papua Nugini dalam jumlah bahasa yang ada, yaitu 720 bahasa.

Keragaman budaya dan bahasa ini bisa musnah dengan adanya bombardir informasi dan teknologi yang terus-menerus. Langkah nyata yang perlu dilakukan tidak bisa diambil secara sepihak sebab terkait dengan berbagai pihak. Hal ini seperti yang dilakukan oleh masyarakat Baduy Dalam, Urang Kanekes atau kelompok Tangtu, di kawasan Lebak, Banten.

Foto: pmb.brin.go.id

Sebagaimana dilansir CNN Indonesia, tetua adat Baduy dari Desa Kanekes, Leuwidamar, Lebak meminta adanya penghapusan sinyal internet atau blankspot area internet. Surat ini ditujukan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Surat ini ditandatangani oleh Tangtu Tilu Jaro Tujuh, Wakil Jaro Tangtu, Tanggungan Jaro 12, Wakil Jaro Warega, dan diketahui oleh Jaro Pamarentah atau Kepala Desa Kanekes kepada Pemerintah Kabupaten Lebak.

Keinginan penghapusan sinyal internet ini bertujuan untuk menjaga kemurnian masyarakat Baduy Dalam. Mereka adalah satu dari sekian banyak kelompok etnis yang sangat ketat dalam menjaga kelestarian alam dan bersih dari teknologi. Cakupan kawasan Baduy Dalam adalah Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik dengan total warganya sekitar 5.000 jiwa.

Upaya Menjaga Kearifan Lokal
Masyarakat Baduy Dalam berbeda dengan Baduy Luar yang sudah beradaptasi dengan teknologi. Kawasan tinggalnya yang mencakup Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Cisagu, Gajeboh dan lainnya yang mengelilingi Desa Kanekes. 

Secara umum kedua kelompok ini bisa dilihat melalui ciri-ciri khasnya sendiri. Warna pakaian masyarakat Baduy Dalam harus selalu berwarna putih sebagai lambang kemurnian. Sementara Baduy Luar menggunakan warna hitam dan biru tua untuk menunjukkan bahwa mereka tidak lagi murni. 
Foto: kabarbanten.pikiran-rakyat.com

Banyak dari pemuda Baduy Luar yang sesekali menggunakan kaos oblong dan celana jeans. Sebabnya adalah interaksi sosial dan informasi yang diperolehnya melalui internet sampai berniaga lewat daring. Selain itu, banyaknya wisatawan baik lokal maupun mancanegara juga memengaruhi masyarakat Baduy Luar.

Hal ini tentunya berbeda drastis dengan Baduy Dalam yang samasekali tidak melakukan interaksi dengan orang luar. Mereka tidak melakukan perniagaan dengan orang luar sebab mereka menganut konsep komunal dimana segala kebutuhan hidupnya dipenuhi bersama-sama.

Mereka memroduksi pakaian sendiri dengan menenun dan menjahitnya secara tradisional. Tidak ada satupun rumah warga yang menggunakan bahan dan teknik modern. Posisi rumah pun diharuskan mengarah ke utara atau selatan. Terkecuali rumah Pu'un atau tetua adat yang diperbolehkan menghadap ke arah lain.

Meski begitu, mereka sebenarnya mengakui bahwa teknologi tidak dapat dicegah. Namun mereka memilih dan memilah produk kemajuan agar tidak merusak dan merugikan tatanan hukum dan budayanya.

Tanggapan Pemerintah dan Pihak Terkait
Kawasan Baduy termasuk dalam area dewa wisata sehingga kondisi ini pun diketahui oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sandiaga Uno sebagai Menparekraf menyebutkan bahwa kementriannya sudah melakukan koordinasi dengan pihak terkait juga tetua adat.

Desa wisata Saba Baduy sendiri adalah kawasan Baduy Luar dan mereka tidak mengajukan keberatan apapun seperti Baduy Dalam. Adapun lokasi pemancar yang dimaksudkan oleh tetua adat Baduy Dalam berada di Cijahe dan Sobang. Kepala Desa Kanekes, Saija, menginginkan agar sinyal internet itu mengarah ke luar.

Terkait dengan permintaan itu, Kemenkominfo melalui Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Usman Kansong, berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kominfo. Seperti yang dilansir CNN Indonesia bahwa pihaknya masih menunggu surat yang ditujukan.

Dia menyatakan bahwa setelah surat dari tetua adat dan Pemerintah Kabupaten Lebak diterima, pihaknya akan segera berkoordinasi dengan perusahaan-perusahaan operator seluler. Solusi yang ditawarkan adalah mengalihkan sinyalnya ke arah kawasan Baduy Luar sehingga tidak perlu membongkar menara pemancarnya.

Kita memang perlu menjaga kelestarian alam dan tradisi yang ada, terlebih keduanya saling berdampingan. Teknologi memang tidak dapat ditolak atau dicegah, tetapi kita bisa kuasa untuk memilih dan memilah. Terlebih lagi ketika kita belum siap dalam menggunakan dan menerima dampaknya dalam kehidupan.

Komentar

  1. Waahh, rupanya masih ada masyarakat yang mau dan berjuang melestarikan sebuah budaya dan tradisi. Enggak kebayang kehidupan tanpa teknologi. Minimal teve. Apakah di sana juga enggak diperbolehkan, ya? Jadi keinget, ada beberapa negara yang juga mengisolasi dari lajunya masyarakat luar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. untuk di Baduy Luar sih ada, kak. Baduy Dalam yang menolak dan melarang semua jenis teknologi dari luar.

      Hapus
  2. Kalau mbak Nenden sendiri setuju ga dengan sikap baduy dalam? Kalau aku sih setuju aja ya. Mungkin mereka sudah nyaman dengan hidup tanpa teknologi. Jadi walaupun ga ada sinyal buat mereka ya ga masalah. Toh masih ada baduy luar yang masih diperbolehkan untuk menggunakan teknologi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sepakat, selama ini pun tanpa listrik dan teknologi lainnya mereka bisa bertahan hidup krn sejalan dengan alam. buat saya mereka adalah pegiat gaya hidup hijau dan nol sampah yg sebenarnya

      Hapus
  3. Sebenarnya ga salah sih. Mungkin para tetua kan punya tanggung jawab untuk terus menjaga nilai-nilai budaya yang ada di suku Baduy ya. Para wisatawan harusnya memahami hal itu, karena posisi mereka kan sebenarnya tamu. Jadi ya harus menghormati tradisi, adat istiadat dan kebiasaan tuan rumah. Aku sepakat, semoga pemerintah bisa membantu mereka melestarikan budaya nenek moyangnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, dan memang harus dijaga biar ngga terkontaminasi dan tetap jadi hidden gem.

      Hapus
  4. Salut sama mereka semua yang masih menjaga kelestarian alam dan adat kebudayaan khususnya Baduy Dalam. Aku gak bisa tanpa internet, mereka malah pengen memutus internet. Keren bgt sih 🥺

    BalasHapus
  5. Gimana yaa rasanya hidup tanpa internet? Salut sih mereka di era majunya peradaban mereka menolak teknologi.

    BalasHapus
  6. Aku penasaran dari dulu sama Baduy dalam, cara hidup mereka seharusnya bisa dicontoh oleh pemerintah bahwa sebenarnya Negara kita bisa hidup tanpa negara lain. Seperti kata Bung Karno, Berdikari. Sayangnya ya ... 😣

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a