Langsung ke konten utama

Ayah, Atasi Fatherless dengan Bermain Yuk

Foto: let's read Indonesia

Gawat! Indonesia ada di peringkat ketiga Fatherless Country.

Beberapa bulan lalu media mainstream dan media sosial mengangkat tajuk ini. Hampir di semua laman, headline-nya menyebutkan hal yang sama. Fatherless Country

Begitu banyak berita menyampaikan soal peringkat Indonesia ini tidak satupun menjelaskan siapa pemberi peringkat ini. Saya malah jadi sangat penasaran dengan negara mana yang menjadi peringkat nomor satunya.

Sekian lama mencari informasi secara daring, bahkan di portal berita internasional pun, hasilnya nihil. Sumbernya tidak jelas. Sampai lah saya membaca CNN Indonesia yang memuat tajuk Fatherless, Ketika Ayah 'Tak Hadir' di Kehidupan Anak pada 1 April 2021.

Indonesia sendiri disebut menempati urutan ketiga di dunia sebagai negara dengan anak-anak tanpa ayah (fatherless country) terbanyak. Namun demikian, masih belum jelas penelitian mana yang menyimpulkan hal tersebut.

Ketika Indonesia memang diklaim berada di peringkat ketiga, Finlandia justru meduduki peringkat pertama sebagai negara yang memiliki keterlibatan ayah secara penuh dalam soal pengasuhan. Namun isu pentingnya memang ketidakhadiran ayah dalam pengasuhan. 

Foto: toolbox.finlandia.fi 

Kita kemudian perlu mencari tahu penyebab ketidakhadiran ayah ini. Sebagai seorang istri yang menjalani pernikahan jarak jauh dan ibu yang membesarkan anak tanpa sosok ayah hadir secara fisik, saya memang sangat peduli dengan isu ini.

Patriarki Sebagai Penyebab Utama
Padahal isu ini sudah lama muncul, mungkin survei di Indonesia baru diketahui tahun 2014. Namun sebenarnya keberadaannya sudah ada sejak lama. Banyak hal yang mendorong bahkan melanggengkan kondisi ini.

Salah satunya adalah soal patriarki yangmana menuntut ayah sebagai kepala rumah tangga bertugas mencari nafkah semata. Aib ketika seorang laki-laki harus berdiam diri di rumah. Begitu pandangan kaum konservatif.

Namun bagi banyak generasi milenial yang memiliki keluasan jenis profesi, terlibat dalam perihal rumah tangga dan pendidikan adalah biasa. Apalagi dengan pandemi Covid-19 kemarin, para ayah dipaksa dan terpaksa harus bekerja dari rumah.

Saya jadi teringat satu karya untuk dibacakan nyaring pada Rayya. Sebuah cerita anak yang berjudul Siapa Guruku? Dalam cerita karangan Salvacion C. Montenegro ini hanya ada tokoh "Aku" dan "Ayah".

"Aku" ingin segera bersekolah tetapi "Ayah" memberitahu sekolah belum akan segera dibuka karena Covid-19. Sebagai gantinya, "Ayah" atau "Ibu" yang akan menjadi guru untuk "Aku". 

Bagian menarik adalah meski di awal "Aku" meragukan "Ayah", pada akhirnya "Aku" malah ingin segera menjadi seorang ayah. Dia terkesan dengan semua jawaban ayahnya. Sebagai pembaca pun, saya mengakui bahwa jawaban "Ayah" sangat solutif.
 
Kondisi ini bisa dimengerti sebagai salah satu karakteristik laki-laki yang disepakati secara universal. Howard S. Friedman dan Miriam W. Schustock (2006) menyebutkan bahwa laki-laki dideskripsikan, atau bahkan mendeskripsikan dirinya sendiri, memiliki karakteristik tertentu.

Karakteristik itu adalah rasional, dominan, objektif, agresif, berorientasi prestasi dan tidak bisa melakukan multitasking. Namun, ketika ayah terlibat dalam pendidikan dan pengasuhan tentu akan terasa beda. Ayah memberikan perspektif berbeda dari ibu, sehingga menumbuhkan kematangan sebagai seorang individu.

Indonesia Joining Forces (IJF) yang berfokus pada pemenuhan hak anak memetakan dampak dari peran ayah dalam pola pengasuhan positif. Pengasuhan seimbang antara ayah dan ibu berdampak positif dan mampu mengoptimalkan perkembangan anak di semua aspek seperti kognitif, sosial, emosional, dan spiritual anak.

Maskulinitas Beracun
Berbicara tentang maskulinitas beracun atau toxic Masculinity, kita perlu mengetahui maksud dari maskulinitas itu sendiri. Secara umum, kita terbiasa mengaitkan maskulinitas sebagai ciri atau karakteristik individu berjenis kelamin dan gender laki-laki.

Jenis kelamin ini seringkali menjadi patokan untuk mendidik seorang anak, yangmana anak laki-laki cenderung diharuskan memiliki kualitas kepribadian baik dan kepemimpinan. Para pakar antropologi menyebutnya sebagai nature (alamiah) dan nurture (hasil pengasuhan).

Anak laki-laki cenderung dididik untuk tidak memperlihatkan emosi, memiliki fisik yang kuat, pada intinya bisa mendominasi. Namun, ini membuat mereka tidak mampu mengenali emosi pada dirinya sendiri dan orang lain. 

Dia mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan emosional dengan anak-anaknya. Karena tidak mampu mengatasi permasalah emosionalnya, dia memilih untuk menjalankan perannya sebagai pencari nafkah semata.

Solusinya adalah Bermain
Menjalin hubungan dan kehangatan bersama keluarga sebenarnya sangat mudah. Kita menjalankan peran, tugas dan kewajiban dengan berkesadaran penuh. Sebagaimana kebutuhan fisik yang harus terpenuhi, begitu juga kebutuhan emosional.

Cara termudah untuk memulainya adalah melalui bermain. Bermain dengan anak tidak selalu membutuhkan banyak mainan atau menghabiskan dana besar. Anak-anak justru menyukai permainan sederhana dan menggunakan tubuh ayah dan ibunya.

Selain bermain, ayah bisa mengajak anak-anak membaca buku kesukaan mereka. Membacakan nyaring sudah terbukti bisa menguatkan hubungan emosional antara orang tua dan anak-anak. Membacakan nyaring tidak harus menghabiskan satu buku, sebab yang terpenting adalah komunikasi yang terjalin.

Ayah, meski hanya 20-30 menit, bermain bersama anak-anak pasti sangat dinantikan. Peran ayah dalam mengasuh dan membesarkan mereka sama pentingnya dengan peran ibu. Ayah, mari bermain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a