Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2023

Gregetnya Mendaftar Relawan Audio Buku Gemari Baca

Foto: Instagram Sebelum audiobook booming dan podcast ramai dibicarakan, keduanya sudah lama hadir dan memiliki penggemarnya masing-masing. Bagiku keduanya adalah cara terbaik untuk menikmati karya-karya klasik yang belum sempat kubaca. Memang saya paling sering mendengar banyak audiobook berbahasa Inggris selain waktu itu librivox hanya menyediakan selain bahasa Indonesia, juga karena saya belum menemukan versi Indonesia. Agak sulit memang untuk mencari buku-buku Indonesia yang dibacakan dalam format audio di awal tahun 2000. Sir Christopher Lee, Inspirasiku Hingga saat ini, saya masih mendengarkan audiobook dan podcast sambil mengerjakan pekerjaan rumah. Salah satu audiobook yang saya gemari adalah The Tell Tale Heart karya Edgar Allan Poe yang dibacakan Sir Christopher Lee. Sebagai penggemar Poe, saya merasa suara Lee sangat cocok untuk membacakan semua karya Poe. Cara Lee membacakan cerita seperti mendongeng dan terasa begitu nyata. Suaranya yang dalam, rendah sekaligus berat,

Let's Read Asia Bekal Ayah Bunda Membaca Bersama Si Kecil

Seringkali sebagai orang tua, kita ingin membelikan buku-buku terbaik untuk anak-anak. Seringkali juga kita terbentur dengan kondisi keuangan yang masih terbatas. Apalagi harga buku-buku berkualitas memang cukup tinggi. Belum lagi dengan masalah lain seperti keterbatasan ruang dan pilihan bacaan yang tepat sesuai usia dan tingkat membaca anak. Saat ini kita tidak lagi perlu kehabisan bahan bacaan, hemat secara finansial dan ruang sebab The Asia Foundation memiliki sebuah aplikasi bernama Let's Read . Yayasan ini bekerjasama dengan banyak institusi seperti USAID, UNESCO, All Children Reading, Global Digital Library, The World Bank, dan banyak lagi. Dengan memiliki 18 kantor di kawasan Asia, yayasan ini bertujuan untuk menjalin hubungan dengan masyarakat lokal dan menyediakan bacaan yang dapat diakses kapan dan di mana pun. Let's Read , sebagaimana yang disampaikan di laman situsnya, menyatakan bahwa tujuannya menjalin hubungan dengan masyarakat lokal di berbagai pedalaman kawas

5 Pekan Pertama Di Komunitas ODOP

Foto: Graphicriver.net Setelah sekitar lima belas tahun lebih bergelut do dunia pendidikan, saya mulai merasakan sedikit kelelahan. Setiap kegiatan dan hal yang biasa sangat digemari, berubah menjadi dangkal, hampa dan menjemukan. Suatu hari saya menyampaikan keinginan untuk mengundurkan diri kepada dua orang rekan terdekatku. Layaknya teman, mereka memintaku mempertimbangkan kembali putusanku. Membuat dan mengambil keputusan itu sangat tidak mudah sesungguhnya. Tahun 2019, semakin mantap saya membuat keputusan mengundurkan diri. Para kolega, mahasiswa, tentunya atasan, sudah mengetahuinya. Mereka tahu keputusaku sudah bulat. Sebelum pergi, kutunaikan dulu semua kewajiban dan tugasku. Jangan sampai siapapun penggantiku harus membereskan bahkan membersihkan kotoran-kotoranku. Terjadilah, 20 Februari 2020 berkas pengunduran diri sudah sampai ke sekretaris rektorat. 13 Maret 2020, saya resmi menjadi ibu rumah tangga. Menjadi Full Time Mom Setelah sekian lama bekerja, menyiapka

Setangkai Lili Calla (Tamat)

Foto: Freepik.com Bion tampak gagah dengan setelan hitam, dan rangkaian baby breath di saku jasnya. Rambutnya disisir rapi dan kelimis. Dia bolak-balik sambil menggosokkan kedua tangannya.  Tiga orang temannya tertawa, tentu saja Bion yang menjadi bahan candaannya. Mereka pun tampil sangat rapi, tetap gagah meski ketiganya tidak menggunakan jas seperti Bion. Mereka menepuk-nepuk pundak Bion. Mereka tiba-tiba terdiam, seorang berjanggut di antara mereka menepuk pelan dada Bion dan mengisyaratkan supaya Bion berbalik. Firda berjalan diiringi kedua orang tuanya. Gaun putih panjang dengan siluet renda di bagian dada, senada dengan buket bunga lili calla di tangan Firda. Sebagian rambutnya disanggul, sebagian sengaja tergerai dan hiasan dari bunga-bunga segar melingkari sanggulnya. Lampu di kiri kanan menerangi langkahnya, sekaligus menciptakan siluet-siluet yang indah. Malam itu terasa sakral, rembulan sedang penuh dan tidak ada suara musik yang mengganggu kekhidmatan. Para ta

Setangkai Lili Calla (Bag. 3)

Foto: Freepik.com "Buna, Isa mau es kim." Marissa berlari kecil dan menggelayuti ibunya. "Boleh, sedikit aja kamu masih agak pilek." Firda mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum. "Holeee, holeee. Makasih Buna." Marissa berjingkrak dan berputar-putar mengelilingi ibunya. Firda terbangun dipelukan Bion. Dia rupanya baru saja bermimpi, dia hilang kesadaran setelah bertemu Trudi. Bion mengusap pipi dan mengecup keningnya. Melihat keduanya seperti ini menjadi bukti masih ada cinta diantara mereka. " Beau , masih pusing atau sakit kepalamu?" Bion menggenggam tangan Firda dan mengelusnya dengan ibu jari. "Kepalaku terasa ringan. Aku tadi pingsan ya?" Tanya Firda setengah berbisik. "Iya, kamu kecapekan, Beau . Hari ini kita liburan yuk di tempat favorit kamu itu. Aku sudah ambil cuti buat besok?" Ujar Bion dengan lembut. "Kamu cuti, Bae ? Serius?" Firda melepaskan diri dari pelukan Bion. "Loh iya, istr

Setangkai Lili Calla (Bag. 2)

Foto: Freepik.com Pukul 09.23 Firda terlambat lagi, kali ini hanya 23 menit. Sebuah kemajuan. Dia menoleh ke samping kiri dan kanan mobilnya, memeriksa ruang kosong untuk memarkir Citroen AMI birunya. Mobil mungil untuk Firda yang juga mungil. Sangat cocok. Sebagai seorang istri dan ibu di usianya yang awal tiga puluhan, Firda malah tampak seperti seorang siswa sekolah menengah atas. Badan mungilnya sekarang memakai pakaian casual, yang menurut Bion terlalu kekanakan, berwarna senada dengan sepatu Converse Chuck 70s ungu.   Memang kalau diperhatikan, tidak akan ada yang menyangka kalau dia sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan berusia 4 tahun. Apalagi dengan penampilannya yang berjaket bomber dipadu celana jeans flare berwarna hitam. Ditambah topi hitam milik Bion, dia benar-benar seperti seorang remaja tanggung.   Firda memarkir mobilnya tepat di samping mobil Jeep hitam Trudi. Nyalinya seketika menciut seperti seekor semut, kedua tangannya mencengkram setir e

Setangkai Lili Calla (Bag. 1)

Foto: Freepik.com "Sudah Bunda bilang kan. Tiap kamu mau pipis seharusnya kamu bilang, bukan diam dan sembunyi!" "Buna, aaf..."  "Lihat itu, celana dan lantai sekarang basah. Kamu pikir membersihkan rumah seharian itu tidak melelahkan?!" Teriakannya itu diikuti dengan ayunan tangan kanan Firda ke paha kiri Marissa yang mungil. "Sakit, Buna. Sakit." Marissa menangis sejadi-jadinya.  Firda seolah ditarik oleh tali kekang tetiba duduk terjatuh memeluknya. Dia mengatur nafasnya dan menghitung dalam hati. satu, dua, tiga, empat, lima .  "Maafin Bunda ya, Mba." Suara parau Firda terdengar putus-putus, tercekat oleh rasa sakit di dada dan tenggorokan. Tubuhnya gemetar hebat, ada sensasi panas dan dingin yang sekaligus menyerang tubuhnya. Firda merasakan kedua kakinya tak bertenaga, seolah layu seketika, dia bersimpuh memeluk Marissa, gadis kecil kesayangannya. Terasa sangat berat. Kedua tangan kecil Marissa memeluk leher ibunya sam

Demi Kearifan Lokal, Baduy Dalam Meminta Penghapusan Sinyal

Fenomena kaum urban adalah selalu menginginkan segala sesuatunya berjalan dengan cepat dan mudah. Teknologi yang makin canggih menuntut perangkat pendukung yang juga dapat berfungsi optimal. Antusiasme mereka begitu tinggi mengetahui adanya peningkatan kualitas jaringan menjadi 5G. Dengan sinyal kuat, mobilitas mereka akan bergerak lebih cepat dan efisien. Begitu memang ekspetasinya dari keberadaan teknologi informasi dan komunikasi. Sayangnya seperti sebuah pedang bermata dua, perkembangan teknologi ini pun dapat membawa dampak buruk. Mulai dari kesenjangan sosial sampai hilangnya tradisi dan kearifan lokal masyarakat. Indonesia dengan kurang lebih 360 suku bangsa memiliki budaya, tradisi dan kearifan lokal tersendiri yang membuatnya sangat unik. Indonesia juga menjadi negara kedua setelah Papua Nugini dalam jumlah bahasa yang ada, yaitu 720 bahasa. Keragaman budaya dan bahasa ini bisa musnah dengan adanya bombardir informasi dan teknologi yang terus-menerus. Langkah nyata yang perlu

Tak Lekang oleh Zaman, Ini 3 Novel Distopia Paling Menginspirasi

2012 lalu perfilman dunia dihebohkan oleh sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama, " The Hunger Games ". Karya Suzanne Collins bergenre distopia ini mendapatkan perhatian banyak karena mengangkat latar tempat Amerika di masa depan. Genre ini bisa dikatakan sebagai bentuk kebalikan dari Utopia, sebuah istilah yang diciptakan Thomas More dalam bukunya Utopia di tahun 1516. Sementara istilah distopia ini disebut oleh John Stuart Mill sebagai " bad place " di tahun 1868. Namun sebenarnya muncul satu abad sebelumnya oleh Lewis Henry Younge dalam karyanya Utopia: Or Apollo's Golden Days . Younge menulisnya sebagai Dustopia dan dilafalkan distopia. Genre ini mengangkat isu kontrol penuh yang totaliter dari pemerintah, korporat, dan/atau birokrat. Mereka menggunakan langkah-langkah teknis, menanamkan moral, atau alur birokrasi mempertahankan penampilan masyarakat yang sempurna dan kontrol sosial yang represif.  Dengan kata lain, distopia mengguna

Integritas Akademik, Masih Adakah?

Foto: Grup Ikatan Dosen Indonesia  Sejak lama para akademisi dikejar oleh tuntutan untuk menerbitkan artikel yang dipublikasikan di jurnal terakreditasi dan tereputasi. Mereka dituntut untuk produktif menulis tanpa melalaikan tugas utamanya sebagai pendidik. Selain itu, mereka pun beramai-ramai harus segera mengurus jabatan fungsional yang menyangkut hajat hidupnya. Ditambah lagi, ada banyak tuntutan administrasi yang perlu dipenuhi tidak hanya di setiap semesternya melainkan juga setiap hari. Pandemi Covid-19 kemarin seharusnya memudahkan mereka untuk bisa bekerja dengan baik tanpa ada administrasi harian. Namun, banyak rekan yang mengeluhkan pekerjaan mereka bertambah banyak dan panjang alurnya. Belum lagi mereka harus menggunakan begitu banyak aplikasi mulai dari Sister, Sinta, Google Scholar, Bima dan lainnya. Kabar yang kudapat, mereka harus mengisi setidaknya 10-50 jenis aplikasi berbeda. Padahal sepengatahuanku dulu, semua itu seharusnya dimaksudkan untuk mengintegra

Prinsip 3 B Menjalankan Literasi Sejak Dini

Menanamkan kebiasaan dan kegemaran membaca di keluarga itu mudah. Sebagai orang tua atau orang dewasa di rumah, kita bisa mulai membiasakan diri membaca. Tidak cuma membaca buku fiksi, tapi membaca apa saja mulai dari berita di koran sampai buku resep. Memulai kebiasaan sejak dini bisa diartikan ketika si kecil sudah memasuki usia 4-6 bulan atau justru sejak si kecil masih berupa janin. Sudah banyak penelitian yang menyebutkan manfaat membaca, khususnya membacakan nyaring, pada janin.  Mereka sudah bisa mendengar suara ibu atau ayahnya, sehingga ia akan mulai mengingatnya. Termasuk mengenali bahasa yang digunakan oleh kedua orang tuanya. Dengan begitu, si kecil sudah terbiasa dengan banyak kosakata. Lalu bagaimana untuk kita terus memelihara kebiasaan literasi ini?  Jim Trelease dalam bukunya The Read Aloud Handbook menyebutkan ada sebuah prinsip bernama 3 B. Prinsip ini membantu supaya anak-anak bisa memiliki keterampilan literasi dan gemar membaca. Foto: Mandira.id Book

Ayah, Atasi Fatherless dengan Bermain Yuk

Foto: let's read Indonesia Gawat! Indonesia ada di peringkat ketiga Fatherless Country. Beberapa bulan lalu media mainstream dan media sosial mengangkat tajuk ini. Hampir di semua laman, headline-nya menyebutkan hal yang sama. Fatherless Country .  Begitu banyak berita menyampaikan soal peringkat Indonesia ini tidak satupun menjelaskan siapa pemberi peringkat ini. Saya malah jadi sangat penasaran dengan negara mana yang menjadi peringkat nomor satunya. Sekian lama mencari informasi secara daring, bahkan di portal berita internasional pun, hasilnya nihil. Sumbernya tidak jelas. Sampai lah saya membaca CNN Indonesia yang memuat tajuk Fatherless, Ketika Ayah 'Tak Hadir' di Kehidupan Anak pada 1 April 2021. Indonesia sendiri disebut menempati urutan ketiga di dunia sebagai negara dengan anak-anak tanpa ayah ( fatherless country ) terbanyak. Namun demikian, masih belum jelas penelitian mana yang menyimpulkan hal tersebut. Ketika Indonesia memang diklaim berada di

Peringatan Yeonmi Park dalam While Time Remains

       Foto: simonandschuster disunting via Canva Aku mendengar dan melihat penampilan perdana Yeonmi Park lebih kurang 8 tahun lalu. Ketika itu dia berusia 22 tahun. Yeonmi menyampaikan kisah hidupnya di depan publik dalam pertemuan One Young World di Dublin, Irlandia. Tidak lama kemudian, Yeonmi juga berbagi kisahnya di United Nation. Di tahun 2015, Yeonmi meluncurkan sebuah memoar berjudul In Order to Live . Dia menuliskan kisahnya sebagai seorang anak berusia 13 tahun yang kabur dari negara kelahirannya sendiri bersama sang ibu. Buku pertamanya ini berhasil membuatku tercengang sekaligus terinspirasi untuk terus berjuang dalam hidup. Memang Yeonmi bukan satu-satunya orang yang meninggalkan negaranya, tetapi kesan pertama yang ditinggalkannya di Dublin membuatku terkesima. Perjuangannya kabur menuju negara Cina bukan demi kebebasan dan kesejahteraannya. Dia pergi demi mendapat semangkuk nasi untuk makan. Bagaimana tidak, perjuangannya dimulai sebagai seorang gadis rema

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a