Langsung ke konten utama

Zero Waste: Kampanye, Kebijakan dan Literasi Soal Sampah

  Sumber: Bagus Puji Panuntun via Kompas.com

Masihkah ingat tragedi Leuwigajah di tahun 2005 silam? 157 orang menjadi korban ketika tempat pembuangan akhir (TPA) sampah kota Bandung dan sekitarnya ini meledak dan longsoran sampahnya menimbun dua kampung, Kampung Cilimus dan Kampung Pojok. Ledakan ini disebabkan oleh gas metana yang dihasilkan oleh tumpukan sampah. Alhasil, Bandung saat itu menjadi "Bandung Lautan Sampah".

Masalah sampah ini masih terus berlanjut dan masih menjadi isu global sejak lama. Di kota Bandung sendiri, pemerintah mencoba atasi masalah ini dengan membuka lahan untuk TPA baru dan sementara di kawasan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, tepatnya Desa Sarimukti. Karena lahan TPA ini bersifat sementara, pengelolaan sampah bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya memang harus mulai dikelola secara mandiri dan bijak. Walikota Bandung saat itu, Oded Danial, mendorong masyarakat Kota Bandung dengan program Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan).

Apakah program ini berhasil dilakukan oleh semua pihak mengingat tahun 2024 TPA Sarimukti akan ditutup? " 

Faktanya Kang Pisman belum secara efektif dilakukan oleh masyarakatnya. Pada dasarnya program ini bertujuan mengurangi jumlah sampah mulai dari sumbernya yaitu rumah tangga. Setiap orang setidaknya menyumbang 0,6 kg sampah yang seharusnya dapat dikelola dengan Kang Pisman ini. Namun, banyak orang yang belum menyadari keterlibatan mereka dalam penanganan sampah ini.

Kampanye Nol Sampah (Zero Waste)
Perubahan iklim secraa global menuntut keterlibatan semua orang. Anak-anak muda di kota-kota besar mulai mengadopsi dan mengadaptasi gaya hidup minimalis dan nil sampah. Mereka tidak lagi menenteng kemasan makanan dan minuman sekali pakai, karena kemasannya beralih pada kemasan yang dapat diguna ulang. 

Mereka yang sudah sekian lama menjalani gaya hidup ini berhasil mendorong berbagai inovasi terkait pengelolaan sampah. Slogan "Go Green" atau "Hijaukan Bumi" mulai terdengar di masyarakat awam berbarengan dengan adanya pembatasan penggunaan plastik sekali pakai di pusat-pusat perbelanjaan. Berbagai perlengkapan harian yang ramah lingkungan dan dapat diguna ulang, seperti pembalut kain/menstrual cup, sikat gigi bambu, sabun alami dari biji lerak dan lainnya, pun mulai dikenalkan.

Pengelolaan sampah secara mandiri sebagai salah satu bentuk nol sampah sudah dikenalkan secara luas. Pengomposan melalui metode Takakura untuk mengatasi sampah di rumah tangga semakin mudah dilakukan. Namun, tidak semua rumah tangga mau melakukannya, bahkan cenderung abai atau memilih mengelola sampahnya dengan dibakar. Padahal pembakaran atau insinerasi secara mandiri ini dilarang untuk dilakukan.

Kebijakan Pemerintah
Soal insinerasi ini pemerintah sudah mencantumkan dalam Undang-undang No 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Sementara tentang pengelolaan sampah rumah tangga umum, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) RI No 81 tahun 2012, dan pengelolaan sampah spesifik dalam PP RI No 27 tahun 2020. Kebijakan ini sebenarnya sudah mengatur pengelolaan sampah hingga tingkat terbawah.

Kerjasama pemerintah dengan masyarakat dilakukan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kebersihan (KLHK) dengan pihak swasta, berbagai komunitas dan lembaga terkait lingkungan memang perlu dilakukan. Ini menjadi penting karena angka timbulan sampah per tahun saja di Indonesia sudah mencapai 18,3 juta ton dan sampah terkelola baru mencapai 77,28 persen dengan jumlah pengurangan sampah hanya 26,73 persen. Angka pengurangan sampah ini belum signifikan karena mayoritas masyarakat masih cenderung memilih kemasan dan produk yang dianggap praktis seperti kemasan sachet atau plastik kresek.

Agar bisa mengatasi masalah sampah ini, KLHK melalui dinasnya di setiap kota perlu membantu kampanye yang digerakkan pihak swasta dan komunitas, memfasilitasi pendirian dan pelaksanaan bank-bank sampah sehingga dapat mengelola sampah residu, seperti minyak jelantah, plastik PET, kaleng dan lainnya,yang sulit dikelola oleh masyarakat di tingkat rumah tangga. Namun, untuk melakukan pengelolaan dengan memilah sampah di masyarakat pun dibutuhkan edukasi.

Edukasi Nol Sampah
Mengetahui tata cara pemilahan sampah di kalangan rumah tangga dan masyarakat secara umum membutuhkan berbagai pihak, khususnya media massa. Sayangnya media mainstream terkesan masih setengah hati memberikan edukasi soal lingkungan dan sampah. Padahal tidak bisa dinafikan masyarakat mendapatkan informasi lebih banyak dari media mainstream.

Meski begitu, keberadaan portal media yang memusatkan perhatiannya pada isu lingkungan dan dikelola oleh para pemerhati, peneliti, dan pegiat lingkungan sangat membantu edukasi ini.
Ditambah lagi dengan bermunculannya komunitas yang melakukan jemput bola dalam pengelolaan sampah seperti Waste for Change dan Octopus membuat masyarakat urban menyadari pentingnya keterlibatan mereka.

Dengan edukasi nol sampah ini, masyarakat sewajarnya tidak lagi hanya memilah sampah melalui metode 3R ( reduce, reuse, recycle) tetapi juga meningkatkan nilai (upcycle) dari sampah yang dihasilkan. Selain itu, edukasi membuat mereka semakin bijak dalam mengelola sampahnya.

Dalam menerapkan gaya hidup nol sampah ini sebaiknya kita melakukannya secara perlahan, bertahap dan konsisten sehingga dapat memberikan solusi nyata bagi masalah sampah. Jika bukan kita dan sekarang, masihkah kita layak disebut sebagai seorang manusia yang diberi akal dan amanah untuk mengelola bumi ini?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a