Langsung ke konten utama

Warna Favoritmu Pengaruhi Kesehatanmu!

Sumber: Freepik.com

Siapa yang masih ingat sebutan cewek kue,cewek mamba, dan cewek bumi? Sebutan ini menjadi viral di masyarakat, khususnya anak-anak muda, melalui aplikasi TikTok yang menyoroti gaya berpakaian tertentu. Trend yang muncul di tahun lalu ini mengategorikan pilihan warna seseorang menjadi tiga tipe tadi.

Perempuan yang gemar memakai pakaian dan aksesoris terang, cerah, mencolok dan berwarna-warni. Padu padan ini mencuri perhatian karena meniru tampilan kue yang menarik itu sebabnya disebut cewek kue. Warna yang biasa dipilih adalah kuning, merah, ungu, atau warna-warna neon.

Mereka yang memilih pakaian dan aksesoris serba hitam kapanpun dan dimanapun biasa disebut cewek mamba. Sebutan ini meniru nama seekor ular yaitu Black Mamba. Itu sebabnya para cewek mamba cenderung memilih gaya edgy atau street style.

Berbeda dengan kedua tipe di atas, sebutan cewek bumi adalah mereka yang memilih warna-warna tenang dan membumi seperti pastel atau gradasi warna bumi. Pakaian dan aksesoris mereka cenderung didominasi oleh gradasi warna coklat dan monokrom. 

Ketiga tipe di atas ternyata tidak hanya soal gaya atau kesukaan, tetapi juga berkaitan dengan emosi, karakter bahkan kesehatan fisik juga mental pemakainya. Tidak bisa dinafikan manusia tertarik dengan warna sejak berabad lamanya. Beberapa warna bahkan tidak dapat dinikmati oleh masyarakat luas karena warna putih atau ungu menjadi warna paling mahal. Dalam sejarah, kedua warna ini seringkali hanya boleh dipakai oleh keluarga bangsawan. 

Terkait dengan warna ini, kita mengenal istilah spektrum warna. Para peneliti secara bertahap menyadari pengaruh warna pada psikologi manusia, dan lahirlah psikologi warna. Psikologi warna adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara warna dan psikologi manusia dan mulai banyak digunakan di berbagai bidang sejak lama.

Karakter dan kondisi kesehatan kita terpengaruh oleh pemilihan warna baik pakaian atau interior rumah. Semuanya berawal dari persepsi kita terhadap warna yang ada di sekitar. Seringkali bukan kita melihat area ibu dan anak atau rumah sakit bersalin menggunakan warna baby pink atau baby blue? Nah ini dikarenakan karakter warna itu memengaruhi kondisi psikologis dan fisiologis para ibu dan bayi. 

Sebenarnya warna adalah pantulan spektrum mental warna yang terkandung dalam satu rona atau komposisi warna dari cahaya yang sampai ke mata. Warna pun memiliki warna simbolis yang bisa jadi konvensional atau hanya berlaku secara turun-temurun di suatu budaya. Dalam psikologi warna, ada dua belas warna yang disebut warna simbolik. 

Kedua belas warna itu adalah merah, merah tua, merah muda, lavender, ungu, biru, hijau, kuning, kuning muda, oranye, putih, dan hitam. Semuanya memiliki makna simbolis yang biasa dirujuk ketika seseorang ingin memilih warna. Meski begitu, makna warna simbolis ini berbeda dan bergantung pada orang-orang dari era dan golongan. 

Dari keduabelas warna itu, ada tujuh warna yang memengaruhi kondisi psikologis dan fisiologis kita secara intens. Warna terang seperti kuning memengaruhi pelepasan hormon serotonin yang berkaitan dengan mood baik, meningkatkan metabolisme tubuh tetapi kalau terekspos berlebihan bis menyebabkan kelelahan. Merah muda membuat kita merasa rileks, penuh kesenangan, mengurangi amarah dan kecemasan. Hijau memberi efek menenangkan pada mtaa, mengurangi stres, dan berkaitan dengan penyembuhan.

Warna biru cenderung memperlambat metabolisme sekaligus menekan nafsu makan, selain itu memberikan efek menenangkan hati dan pikiran. Merah berkaitan dengan peredaran darah dan detak jantung sehingga bisa meningkatkan metabolisme. Tetapi ketika terpapar secara berlebihan, tekanan darah kita mengalami peningkatan dan memicu stres.

Warna ungu justru memberikan kesan yang baik untuk melakukan meditasi, perenungan dan meningkatkan sensualitas pada laki-laki dan perempuan. Dan warna oranye berpengaruh pada suplai oksigen ke otak dan nafsu makan yang meningkat.

Tidak mengherankan ya ketika kita memakai warna tertentu, mood kita bisa menjadi lebih baik atau justru memburuk. Apapun pilihan warna kita, sebaiknya menjaga kesehatan psikologis dan fisiologis sangat penting. Hidup sehat mulai dari sekarang karena harga ketika sakit akan selalu lebih mahal. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a