Hujan masih mengguyur, Gani yang kelelahan setelah seharian memikul karung sudah mulai terkantuk-kantuk di bawah lampu tempel tua milik ayahnya. Jika banyak anak muda seusianya tidur dengan keremangan lampu tidur, aromaterapi yang menenangkan dan hangatnya selimut, Gani harus puas dengan bau menyengat dan sarung tipis yang sudah kependekan.
Gigitan nyamuk dan serangga lainnya tidak lagi dihiraukan, seolah mereka memang sudah menjadi bagian dari ritual tidurnya. Beberapa kali Gani melihat seekor kecoa melintas di antara kakinya. Kaki-kaki kecilnya bersentuhan lembut dengan rambut kaki Gani, sesekali dia tersenyum karena rasa geli.
Harusnya ku bunuh saja kecoa sialan itu.
Kaki kanannya menepis si kecoa yang berlalu dengan cepat ke dalam tumpukan kardus. Entah apakah iba atau jijik yang dirasakan Gani ketika melihat serangga itu. Iba karena mereka berkehidupan serupa. Jijik karena makhluk kecil itu terbiasa menelesak dan memungut makanan dari berbagai jenis sampah.
Gani menggosok kedua tangannya dan mengepitnya di bawah ketiak. Meski tidak seberapa hangat, setidaknya sekarang rasa dingin itu tak lagi menggeretakkan giginya. Hawa dingin masuk dari sela-sela dinding reyot tempatnya berbaring.Tiba-tiba lidahnya seolah teringat manis dan hangatnya kuah kembang tahu yang dulu pernah ibunya buat. Air liurnya mengumpul di dalam mulutnya, Gani hanya bisa menahan rindu dan menelan ludah. Ia menghela nafas, panjang dan berat.
Kedua matanya terasa perih karena kantuk, tajamnya bau sampah basah semakin menyeruak, memenuhi udara malam itu. Bukan sekali ini Gani merasa kesal pada ayahnya yang bersikukuh tetap tinggal di dekat kawasan pembuangan sampah. Alasan Pak Karta pun sangat mudah dimengerti, mereka tidak memiliki uang untuk biaya hidup apalagi pindah ke tempat yang lebih layak.Membayar lima ratus ribu rupiah untuk sebuah kamar kos di pinggiran berarti Pak Karta dan Gani harus memulung sampah dan rongsokan hingga malam dan tanpa henti. Uang bukan perkara mudah.
Tepat ketika Gani akan terlelap, Pak Karta, duduk di seberangnya sambil menyimpan botol-botol plastik bersih.Nafasnya begitu pendek, tersengal lalu batuk. Gani memicingkan mata dan melihat ayahnya mengurut dadanya perlahan. Batuknya kian memburuk, tapi obat Pak Karta pun sangat mahal. Terusik, Gani setengah bangkit dan berbicara dengan suara serak.
"Pak, geura kulem atuh"
"Nya, sok we ti heula, Jang. Bapa rek turun heula sakeudeung."
Gani tidak mendebat ayahnya yang bergegas turun di tengah malam itu. Hujan di luar gubuk mereka masih cukup deras. Hanya saja ada kegundahan tanpa sebab keyika melihat ayahnya mengambil topi caping dan keresek hitam untuk menutupi tubuhnya. Mata Gani perlahan-lahan menutup sambil samar melihat bayangan ayahnya.Gundah itu terkalahkan oleh rasa kantuknya.
Tetiba suara ledakan terdengar begitu keras, Gani melompat dari tidurnya. Dia melihat di samping kirinya kobaran api begitu besar padahal hujan belum juga reda. Tanpa berpikir, tubuh atletis Gani dengan gesit berlari menuju kobaran api. Tanpa memedulikan api yang semakin besar, Gani berlari semakin cepat sambil berteriak memanggil Pak Karta.
"Bapa, Bapa..."
Teriakannya semakin parau dan tertutup suara teriakan puluhan orang lainnya. Nafasnya terengah-engah, berat.Gemetaran tubuh Gani, tenggorokannya terasa sakit dan perih bukan karena asap dan udara yang dihisapnya melainkan ia tahu bahwa ayahnya berada di antara tumpukan sampah di depannya.
Ini perasaan ini, seharusnya aku tadi melarang Bapa pergi. Gani. Kau bodoh.
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar