Langsung ke konten utama

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id

Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak. 

Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan.

Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna.
Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem visual pada bayi berusia empat - delapan minggu masih belum sempurna. Ini terkait dengan optik mata, kontrol gerakan mata, juga morfologi dan fisiologi retina yang masih pendek.

Ketika warna digunakan pada ilustrasi buku anak-anak, tampilan visual warna yang berbeda memberikan cara yang efektif untuk memahami dan berkomunikasi dengan dunia. Melalui ilustrasi penuh warna ini, mereka menemukan dunia di sekitar dan menanggapi pengalaman dengan melakukan eksplorasi. Mereka pun mendapatkan pengalaman dan tanggapan baru, termasuk ketika mereka menemukan rangsangan berulang pada paparan warna yang berbeda.

Secara umum, para peneliti sepakat bahwa warna pada buku anak meningkatkan kecerdasan, memori, dan emosi. Tetapi bagaimana caranya? Para peneliti di bidang neurolinguistik menyebutkan warna menstimulasi bagian struktur memori. Struktur memori itu sendiri termasuk memori sensorik, memori jangka pendek dan memori jangka panjang. 

Warna sebenarnya adalah suatu persepsi yang dibangun oleh otak kita. Itu sebabnya ketika informasi warna sampai terlebih dahulu di memori sensorik, informasi ini dianalisis karakteristik fisik dan sensoriknya. Informasi itu lalu masuk ke area memori jangka pendek untuk dikenali dan dilabeli. Terakhir, hasil analisis ini akan dipindahkan ke memori jangka panjang untuk penyimpanan secara permanen.

Selain itu, warna memengaruhi mood, perilaku bahkan kesehatan anak. Kumi, Conway, Limayem, & Goyal (2013) menyebutkan warna diketahui memengaruhi perilaku serta kemampuan kognitif, kinerja, niat gairah mereka. Sementara studi yang dilakukan oleh Plass, Heidig, Hayward, Homer, dan Um (2014) menunjukkan bahwa warna-warna hangat seperti kuning dan jingga dapat meningkatkan pembelajaran anak-anak daripada warna-warna dingin seperti abu-abu.

Warna terang, seperti merah, bisa membantu anak-anak mengenali emosi marah atau malu ketika dilekatkan pada tokoh dalam ilustrasi. Atau hitam yang dikaitkan dengan kegelapan dan ketakutan. Ini yang kemudian disebut sebagai tata bahasa visual atau visual grammar oleh Kress dan Van Leeuwen (2002, 2006). 

Tata bahasa visual ini dimaknai bahwa gambar memiliki fungsi sosial seperti bahasa dan bisa menyampaikan makna representasional dan makna interaktif karena warna menyediakan cara untuk mendeskripsikan dan mengomunikasikan fitur-fitur dari suatu gambar. Selain itu, tata bahasa visual bisa menyampaikan komposisi makna karena bisa melihat dari dekat untuk membangun makna. 

Dengan mengetahui pentingnya warna bagi anak-anak, sebagai orang tua, kita perlu mempertimbangkannya ketika memilih buku untuk anak. Memilih buku dengan gambar besar atau ilustrasi cerah dan berani dengan latar belakang yang kontras, juga memiliki gambar dan kata-kata sederhana bisa menjadi tips terbaik. Atau, buku besar dengan satu kata dan gambar yang besar di setiap halaman tentunya akan disukai oleh bayi dan balita.

Yuk, kita pilih buku bergambar terbaik untuk anak-anak kita.

Komentar

  1. Lagi di fase ingin membelikan buku buat si bayi, tapi masih bingung entah apa yang dibingungkan. 😆 Terimakasih infonya, kak. Setidaknya artikel ini jadi alasan kuat buat tidak menunda membeli buku bayi 😄

    BalasHapus
  2. Wah terima kasih kak, sangat bermanfaat. Oh ya bagaimana warna bisa mempengaruhi kesehatan?

    BalasHapus
  3. Lagian kalau ada warnanya emang bikin menarik juga ya. Jangankan anak kecil, org dewasa pun barangkali suka jika bukunya memiliki ilustrasi hehee.

    BalasHapus
  4. Betul, makanya anak-anak lebih suka dengan buku yang banyak warnanya

    BalasHapus
  5. wah nice thanks infonya. jadi tahu kenapa kenapa buku berwarna sangat digemari anak2

    BalasHapus
  6. Baca artikel ini, saya jadi introspeksi diri. Anak saya yg usianya 2.5 tahun masih kesulitan membedakan warna. Ternyata harusnya lebih sering dibacakan buku supaya mengenal warna ya, bukan ditanya-tanyain ini warna apa, itu warna apa. Thanks, Kak! Saya mendapat pencerahan dari tulisannya.

    BalasHapus
  7. Wooo, jadi begitu. Rupanya pengaruh ilustrasi dan warna-warna sangat besar bagi anak. Nice info Kak.

    BalasHapus
  8. Sebegitu pentingnya warna bagi anak ya. Dampaknya begitu besar untuk jangka pendek dan jangka panjang. Aku juga beli buku yg banyak warnanya agar menarik perhatian anak. Sambil selalu belajar mengenalkan warna. Pengaruhnya aku rasakan sendiri, anak jadi lebih excited gitu buat belajar.

    BalasHapus
  9. Ternyata warna itu punya peran segitu besarnya untuk anak-anak.

    BalasHapus
  10. Warna menumbuhkan imajinasi bagi anak. Nice info kak.

    BalasHapus
  11. belum punya anak, tapi jadi tambah referensi kalo mau belikan keponakan buku cerita baru. Nggak asal ambil dari rak buku lagi sebab ada pertimbangan baru, yaitu pemilihan warna.

    BalasHapus
  12. memilih buku anak itu memang susah susah gampang apalagi di era digital seperti ini, tantangannya dibandingkan dengan menariknya sajian gawai, hehehe. saya termasuk orang yang pemilih ketika membeli buku, termasuk masalah ilustrasi, bahasa, sajian, dan kemenarikan warna

    BalasHapus
  13. Oh jadi alasan buku anak2 warna warni itu bukan cuma supaya menarik tapi juga karena ada pengaruhnya secara ilmiah. Artikelnya menarik sekali. Penulisannya juga rapi. Kereen kak, semangaat

    BalasHapus
  14. Kalau boleh berkomentar, rasanya sayang ya mba, nggak semua orang tua punya akses ke buku-buku bagus. padahal sesuai penjelasan mba di atas, buku-buku full ilustrasi kan sangat penting untuk tumbuh kembang kedepan. Suka sedii kalau mengingat kondisi sosial yang jomplang ini

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a