Karbon biru ini sebenarnya adalah emisi karbon dari gas rumah kaca (GRK) yang diserap dan disimpan oleh ekosistem pesisir laut dan menjadi endapan karbon (carbon sink). Tidak cuma itu, karbon biru ini pun ada di kawasan mangrove, rawa pasang dan padang lamun. Manfaatnya pun tidak hanya menjaga daratan ketika air pasang, mencegah erosi pantai, menjaga kualitas air, menjadi habitat alami bagi berbagai jenis ikan, tetapi juga menjaga iklim di bumi dari pemanasan global.
Mangrove atau bakau adalah salah satu jenis hutan tropis di tepian daratan dan lautan yang tergenang air pasang surut. Mangrove, rawa pasang dan padang lamun menjadi ekosistem yang menyerap dan menyimpan lebih banyak karbondioksida (CO2). Namun, jika ekosistem terdegradasi atau rusak, kapasitas penyerap karbonnya hilang atau terpengaruh secara negatif, dan karbon yang tersimpan dilepaskan, menghasilkan emisi karbondioksida yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Hal terburuk adalah karbon yang tersimpan bisa dilepaskan kembali ke atmosfer dalam jumlah yang lebih banyak. Fenomena ini mengingatkan sebuah cerita anak dari Kamboja berjudul Losing Mr. Shrimp karya N. Joseph.
Sumber:letsreadasia.org
Mr. Shrimp adalah seekor udang yang tinggal di bawah akar mangrove bersama para ikan. Dia mengajar anak-anak ikan untuk berani mencapai mimpinya. Dia berteman dengan dua orang anak perempuan, Vary dan Srey Mom. Satu pagi mereka melihat seekor anak ikan menangis dan hutan mangrove di sana sudah tidak lagi ada.
Si anak ikan bercerita kalau semalam ada beberapa manusia yang datang dan menghancurkan mangrove. Mereka juga menangkap semua hewan yang tinggal di bawah mangrove, dan hanya si anak ikan saja yang tersisa. Dia bersembunyi jauh sehingga bisa selamat. Tetapi dia ketakutan karena sudah kehilangan habitatnya.
Vary dan Srey Mom mendatangi gurunya untuk menyampaikan informasi itu. Gurunya, Ly Chhay, menjelaskan bahwa terkadang manusia memang melakukan hal itu karena merasa harus memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia pun mengajak mereka untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya hutan mangrove dan ekosistemnya tanpa mengorbankan kebutuhan hidup sehari-hari.
Indonesia sendiri, sebagaimana dilansir Forest Digest, memiliki total hutan mangrove seluas 3,31 juta hektar yang merupakan hutan mangrove terbesar di dunia, mencakup hingga setengah luas hutan mangrove di Asia. Artinya 23% mangrove dunia berada di Indonesia yang merupakan daerah kepulauan. Namun jumlah ini bisa saja berkurang karena adanya peralihan fungsi atau konversi.
Berdasarkan penelitian penyebab utama konversi dan degradasi ekosistem karbon biru bisa bervariasi, tetapi sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia. Banyak aktivitas seperti akuakultur, pertanian, eksploitasi hutan bakau, sumber polusi darat dan laut, serta pembangunan industri dan pesisir perkotaan, bahkan alih lahan menjadi kebun sawit seperti yang terjadi di Sumatera Utara.
Jika tidak segera diatasi 30–40% jumlah area rawa pasang surut dan lamun, bahkan hampir semua hutan bakau yang tidak dilindungi bisa hilang dalam 100 tahun ke depan. Sementara untuk mengembalikan kepada kondisinya semula pun membutuhkan setidaknya 200 tahun.
Namun isu terkait ekonomi masyarakat setempat membuat mereka memilih untuk membuat tambak seperti yang terjadi pada delta Mahakam di Kalimantan Timur. Padahal tambak sendiri memiliki waktunya sendiri. Belakangan setelah usia tambak mencapai 10 tahun, hasil panen tambak tidak pernah mencapai angka satu ton.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah merestorasi menjadi kawasan mangrove lagi, sedangkan yang belum dialih fungsikan bisa menjadi ekowisata.
Virni Budi Arifanti, peneliti karbon biru di BRIN, menyebutkan bahwa sebenarnya masyarakat di kawasan mangrove bisa memanfaatkan mangrove dengan menggunakan daun atau buahnya yang jatuh sebagai bahan pewarna batik atau tepung terigu. Penghasilan masyarakat melalui ekowisata ini malah bisa menyamai, atau melebihi, hasil tambak.
Sayangnya, pengelolaan kawasan mangrove ini terbagi menjadi tiga yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, juga Pemerintah Kota. Meski pemerintah telah menyebutkan pengelolaan ekosistem mangrove, di tingkat bawah terjadi perbedaan tujuan dalam menerjemahkan Nationally Determined Controbution (NDC).
Demi kepulihan bumi, sebaiknya memang kita bersikap satu suara dan satu tujuan. Seperti yang disampaikan Ly Chhay bahwa kita bertugas untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya hutan mangrove dan ekosistemnya tanpa mengorbankan kebutuhan hidup sehari-hari. Karena di Kamboja ataupun Indonesia, kita masih ada dalam satu bumi.
Komentar
Posting Komentar