Langsung ke konten utama

Kenapa Tikus Selalu Ada Dalam Sastra Anak?

Sumber: Alekuwka via Dreamstime.com

Salah satu buku kesukaan Rayya adalah Wild Symphony karya Dan Brown. Sebuah buku anak dengan genre puisi yang penuh teka-teki. Sang narator adalah seekor tikus bernama Tikus Musikus yang berperan sebagai seekor konduktor. Iya betul, konduktor dalam sebuah orkestra musik. Di dalam versi asli berbahasa Inggris, si Tikus bernama Maestro Mouse.

Si Tikus Musikus ini bertugas juga memandu kita sebagai pembaca dalam petualangan menemui para anggota orkestra. Dia mengajak pembaca berpetualang ke pekarangan belakang rumah, ke hutan tropis, Savana, bahkan ke kedalaman laut. Artinya di sini, tikus menjadi sosok yang berkelas, berbakat, berpengetahuan dan cerdas.

Rayya juga suka sekali dengan pakaian Mickey Mouse-nya yang meski sudah kekecilan tetap saja ingin dipakainya. Dia bilang Tikus Musikus dan Mickey Mouse itu lucu. Sampai satu waktu dia melihat wujud tikus secara langsung. Reaksinya antara terkejut, penasaran, takut dan berujung menangis. Mungkin karena tikus yang dilihatnya tidak sesuai dengan gambaran di benaknya.

Pertanyaan yang dia sampaikan kemudian adalah "Mama, kenapa tikusnya jelek ngga kaya Tikus Musikus sama Mickey Mouse?" Jawabannya bisa jadi sangat sederhana seperti "Tikus Musikus dan Mickey Mouse kan gambar aja, bohongan." Tapi ini tidak akan memuaskan rasa penasarannya. PR untukku, dan aku menjawab "Kenapa ya? Nanti Mama cari tahu dulu ya. Kalau sudah tau, Mama kasih tau."

Aku putuskan untuk mencari tahu sebenarnya apa jenis tikus yang dijadikan referensi kedua tokoh ini. Tapi pertanyaan lain malah muncul di benakku seperti "Kenapa si Tikus Musikus ini mengingatkan pada Desperaux dari The Tale of Desperaux?", "Kenapa cerita anak dari sastra anak dunia banyak memunculkan tokoh seekor tikus?" dan "Apa yang membuat tikus dianggap mampu merepresentasikan sosok manusia?"

Margaret Blount memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Menurutnya ukuran tikus yang kecil, banyak dan selalu bersembunyi seringkali dianggap lucu karena bulunya yang halus. Populasinya yang banyak memudahkan kita untuk bisa membayangkan mereka sebagai anggota dari sistem sosial mereka yang mirip dengan masyarakat kita.

Dalam karya sastra Barat, tikus memang memiliki banyak peran mulai dari Aesop's Fables,Stuart Little, tokoh-tokoh pada buku Beatrix Potter, dan tokoh populer seperti Mickey Mouse. Pada karya C.S. Lewis, tikus adalah ras pejuang dan paling pemberani, bahkan satu-satunya ras yang mendapatkan alur cerita rasnya sendiri. Selain itu, tikus digunakan seperti alegori untuk mendapatkan kebenaran tentang masa muda. Bukan hanya karena tikus berukuran kecil dan imut, tetapi juga tikus adalah makhluk yang paling tidak cocok dan seringkali tidak berdaya di tangan makhluk besar di sekitar mereka.

Bukankah di kehidupan nyata juga seringkali anak-anak dikucilkan dari dunia orang dewasa? Mungkin bagi anak-anak, mereka seperti tokoh Desperaux, makhluk kecil yang lembut dengan telinga raksasa, berusaha untuk berjuang dan menguasai dunia besar di sekelilingnya. Atau seperti Stuart Little yang harus menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya.

Duh, Nak, mama mu ini malah masyuk dengan pikiran dan pertanyaannya sendiri. Baiklah tunggu ya, mama masih mencari jawaban dari pertanyaanmu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a