Langsung ke konten utama

Kemasan Sachet, Si Nikmat Membawa Sengsara

Foto: theguardian.com

"Engga tau kenapa ya, kalau beli sachetan sampo, sabun, pewangi dan pelembut ko irit. Pake yang refill-an malah boros banget."
"Murahan beli yang sachet."
"Enggak ada yang jual ukuran gede jadi ya sachetan aja."
"Praktis pake sachet tuh, tinggal srat sret."

Kira-kira seperti itulah obrolan yang sempat aku simak dalam kolom komentar di salah satu aplikasi online. Mereka intinya sepakat bahwa kemasan sachet sangat membantu dan memudahkan. Dengan hitung-hitungan ala mereka, membeli serenceng sampo berisi 12 sachet berukuran kecil malah cukup untuk tiga minggu bahkan satu bulan.

Satu renceng atau sepuluh sachet susu full cream ukuran 26 gram dibanderol Rp.32.000, sedangkan susu yang berukuran 195 gram dibanderol Rp.30.800. Meski berbeda sekitar Rp.1.200, banyak orang lebih memilih rencengan karena mereka merasa lebih bisa mengaturnya dengan cara membagi untuk dua kali minum. 

Ironisnya, justru kemasan sachet lah yang menjadi masalah sampah plastik di dunia. Dalam laporannya di tahun 2020 lalu yang berjudul “Throwing Away The Future: How Companies Still Have It Wrong on Plastic Pollution Solutions” 
Greenpeace menyebutkan bahwa penjualan kemasan sachet mencapai 855 miliar di seluruh dunia tahun ini. Penyumbang terbesarnya adalah Asia Tenggara dengan menyumbang sekitar 50% dari pasar. Kalau kondisi ini terus terjadi, Greenpeace pun menduga pada tahun 2027, angka penjualan kemasan sachet diperkirakan akan meningkat menjadi 1,3 triliun.

Konsekuensi dari penggunaan kemasan sachet dan kantong plastik secara massal bisa membahayakan mikroorganisme, organisme laut dan organisme hidup lainnya. Pada akhirnya, kondisi ini bisa memengaruhi kondisi iklim dunia dengan signifikan. Cara terbaik adalah dengan mengurangi atau membatasi, jika tidak bisa sepenuhnya melarang, penggunaan kemasan sachet. Terlebih lagi sachet termasuk dalam sampah plastik yang paling sulit di daur ulang.

Sachet terbuat dari material atau bahan baku yang berbeda sehingga membutuhkan perlakuan berbeda. Untuk membuat satu kemasan sachet, setidaknya ada 3 - 4 bahan berbeda yaitu lapisan plastik transparan dan tipis di bagian dalam, aluminium foil, lapisan gambar dan lapisan kertas laminasi. Lapisan-lapisan ini bertumpuk sehingga membuatnya sulit dipisahkan untuk proses pengolahan.

Pada November 2022, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) melakukan berbagai penelitian dan investigasi di kawasan Indonesia terkait sampah sachet dan penanganannya. Di tahun yang sama, sebuah hasil audit terhadap perusahaan besar (brand audit) juga dilakukan oleh ECOTON (Ecological Observation and Wetland Conservation) dipublikasikan. Hasilnya mencengangkan.

Selama periode 2018-2022, Danone menjadi top polluter secara berturut-turut (2020-2022). Bersama ECOTON, tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) juga menemukan timbulan sampah sachet dan plastik di sepanjang pantai Indonesia Timur. Pada 15 November 2022, tim ESN mendatangi PT. Unilever untuk menyerahkan bingkisan berisi sampah sachet produk minuman, minuman, deterjen, sabun dan lainnya.

Hasil temuan ini memang mengejutkan sekaligus mungkin terjadi sebab Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas. Sampah sachet yang dibuang di sungai-sungai kecil di pulau Jawa, sangat mungkin hanyut ke wilayah timur Indonesia. Bahkan pada foto di atas, sampah Indonesia menjadi salah satu sampah yang mencapai perairan di Inggris Raya. Belum lagi dengan bahaya pada kesehatan kita dari masuknya mikroplastik ke dalam tubuh. 

Kita harus lebih menyadari bahwa solusi-solusi nyata adalah dengan mendorong perusahaan untuk membuat kemasan yang praktis sekaligus aman bagi lingkungan dan kesehatan. Mereka juga perlu diatur oleh undang-undang yang mengikat dengan tegas. Juga kita sebagai konsumen bisa mendorong perusahaan untuk mulai beralih pada penyediaan produk isi ulang yang lebih murah dan ramah lingkungan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a