Langsung ke konten utama

Kemampuan Berpikir Kritis di Era Kecerdasan Buatan

              Sumber: www.raullara.net

Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) mengalami kemajuan yang amat pesat sejak enam dekade lalu. Semua adalah impian menjadi kenyataan bagi Jules Verne dan H.G. Wells, sekaligus mimpi buruknya Isaac Asimov. Bagaimanapun imajinasi mereka berhasil mendorong berbagai inovasi di banyak bidang terkait teknologi dan rekayasa genetika.

Pada akhirnya kecerdasan buatan ini membantu manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Banyak penemuan di era digital ini terbentuk dan mengintegrasikan AI dalam penggunaannya. Kita bisa menemukan contohnya seperti fitur pengenalan suara dan wajah pada ponsel cerdas, robot otomatis di pabrik-pabrik perakitan, asisten virtual dan lainnya. Bahkan, informasi yang tampil pada laman media sosial kita pun diatur dan direkomendasi berdasarkan algoritma AI. 

Belakangan masyarakat diramaikan dengan ChatGPT dan teknologi AI sejenisnya. Salah satu yang membuat ChatGPT ini menarik perhatian adalah kemampuannya dalam mengumpulkan informasi dan menyajikannya sesuai kebutuhan pengguna. Para pelajar dan mahasiswa, misalnya, dapat menggunakan teknologi ini untuk membuat sebuah esai. 

            Sumber: www.shutterstock.com

Esai yang dihasilkan tentunya jauh lebih baik dari yang diharapkan daripada yang dibuat oleh si pelajar. Sayangnya, satu hal terpenting bagi seorang manusia berakal telah hilang, yaitu kemampuannya bernalar. Kita mungkin sering mendengarnya sebagai keterampilan berpikir kritis atau critical thinking skill.

Berpikir kritis ini sangat membantu kita dalam memandang dan memahami dunia sekitar maupun secara global. Selain itu, keterampilan ini kemudian bisa membuat kita melihat masalah dan cara menyikapinya dengan efektif. Bisa dikatakan bahwa berpikir kritis adalah salah satu cara untuk bertahan hidup.

Namun, keterampilan ini bisa hilang begitu saja ketika kita tidak melatihnya. Apalagi ketika kita sepenuhnya bergantung pada AI. Berpikir kritis melibatkan cara kita menentukan dan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan. Kemudian, kita mengevaluasi dan menganalisis informasi yang diperoleh berupa data, fenomena, dan fakta. Berdasarkan hasil bernalar ini, kita bisa membuat suatu keputusan yang rasional dan logis terkait masalah yang dihadapi.

Seorang pelajar atau mahasiswa yang ditugasi menulis esai tentang salah satu karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya. Ketika dia tidak pernah mengenalnya sama sekali,bisa jadi dia berusaha mencari tahu melalui mesin pencari atau langsung pergi ke perpustakaan untuk membacanya. Mendapatkan informasi melalui internet akan membuatnya kewalahan sebab dia tidak mengetahui cara memilahnya. Dia mungkin berakhir dengan mengambil informasi secara acak tanpa memikirkan koherensi di antaranya.

Sementara ketika dia membaca sendiri karya yang dipilihnya, dia akan memeroleh pandangan lebih personal dan emosional. Dia bisa jadi tidak akan berpatokan pada informasi fisik karya seperti tahun terbit, penerbit dan jumlah halaman. Melainkan, dia akan memaparkan bagian-bagian tertentu yang menarik perhatiannya karena itu terasa familiar atau justru mengganggu benaknya.

Dia kemudian akan belajar menyampaikan perasaan dan pikirannya atas peristiwa dalam alur cerita lewat tulisannya. Isinya pun bisa saja mendebat atau menawarkan perspektif lain sehingga ini pun berpengaruh pada caranya memandang kehidupan di sekitarnya. Dengan begitu, esainya terasa tidak objektif tetapi sangat subjektif dan personal sebagaimana yang diharapkan oleh pemberi tugas.

Lalu apakah teknologi AI tidak perlu digunakan sama sekali? 

Realitanya kita memang tidak bisa berlepas dari teknologi ini, sehingga cara terbaik adalah bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakannya. AI sebagai sarana pengumpul data tentu akan sangat membantu. Namun, bagaimana informasi itu dipergunakan atau disampaikan sebaiknya berdasarkan nalar kita sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rahasia Unggul Keterampilan Literasi Untuk Manusia Modern

The Purpose of learning is growth, and our minds, unlike our bodies, can continue growing as we continue to live. (Mortimer Adler) Menjelang akhir tahun 2023, Mendikbudristek Nadiem Makariem menyampaikan skor pencapaian kemampuan membaca Indonesia di tahun 2022. Indonesia mendapat skor 359 poin dalam penilaian  Programme for International Student Assessment  (PISA) itu. Goodstats menyebutkan bahwa angka ini justru terendah sejak 2000, sebab Indonesia pernah mencapai skor 402 di 2009. Tahun 2018 saja Indonesia mendapat skor 371 poin untuk kemampuan membaca. Memang sih banyak faktor penyebab yang bisa membuat skor ini anjlok. Salah satunya bisa jadi karena penilaian ini dilakukan ketika kita sedang ada dalam kondisi pandemi Covid-19 sehingga kegiatan pembelajaran menjadi tidak maksimal. Meski sebetulnya ini juga bisa disiasati dengan kegiatan dan proses pembelajaran di rumah bersama orang tua. Sayangnya memang kondisi di lapangan tidak ideal dan jauh dari harapan, apalagi ketika sekolah

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Wah Ternyata Ada Loh Sastra Anak, Yuk Kenali 10 Jenisnya!

Don't just teach your children to read, Teach them to question what they read. Teach them to question everything. (George Calin) Selama ini kita mungkin sering kebingungan dengan pilihan dan jenis buku untuk anak-anak. Buku bacaan anak-anak sebetulnya sudah mempunyai standar sendiri. Jenisnya juga lebih beragam karena sesuai dengan usia dan kemampuan membaca anak. Tapi tahukah kalau sebetulnya buku-buku yang beredar itu termasuk sebagai sastra anak? Pada dasarnya sih, sastra anak ini adalah buku dengan segala jenis bentuk dan genre yang memang sengaja ditujukan untuk anak-anak dan remaja. Tema dan gaya penceritaannya beragam dengan tujuan membantu pemahaman dan perkembangan mereka. Kalau menurut Dr. Dorothea Rosa Herliany, pakar sastra anak, sastra anak mempunyai banyak bentuk seperti cerita, puisi atau drama. Tujuan dari sastra anak adalah membangun imajinasi, mengajarkan nilai dan norma, juga memahami dunia di sekitar mereka.  Buku anak-anak terkadang menyajikan beragam tema suli