Sumber: www.raullara.net
Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) mengalami kemajuan yang amat pesat sejak enam dekade lalu. Semua adalah impian menjadi kenyataan bagi Jules Verne dan H.G. Wells, sekaligus mimpi buruknya Isaac Asimov. Bagaimanapun imajinasi mereka berhasil mendorong berbagai inovasi di banyak bidang terkait teknologi dan rekayasa genetika.
Pada akhirnya kecerdasan buatan ini membantu manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Banyak penemuan di era digital ini terbentuk dan mengintegrasikan AI dalam penggunaannya. Kita bisa menemukan contohnya seperti fitur pengenalan suara dan wajah pada ponsel cerdas, robot otomatis di pabrik-pabrik perakitan, asisten virtual dan lainnya. Bahkan, informasi yang tampil pada laman media sosial kita pun diatur dan direkomendasi berdasarkan algoritma AI.
Belakangan masyarakat diramaikan dengan ChatGPT dan teknologi AI sejenisnya. Salah satu yang membuat ChatGPT ini menarik perhatian adalah kemampuannya dalam mengumpulkan informasi dan menyajikannya sesuai kebutuhan pengguna. Para pelajar dan mahasiswa, misalnya, dapat menggunakan teknologi ini untuk membuat sebuah esai.
Esai yang dihasilkan tentunya jauh lebih baik dari yang diharapkan daripada yang dibuat oleh si pelajar. Sayangnya, satu hal terpenting bagi seorang manusia berakal telah hilang, yaitu kemampuannya bernalar. Kita mungkin sering mendengarnya sebagai keterampilan berpikir kritis atau critical thinking skill.
Berpikir kritis ini sangat membantu kita dalam memandang dan memahami dunia sekitar maupun secara global. Selain itu, keterampilan ini kemudian bisa membuat kita melihat masalah dan cara menyikapinya dengan efektif. Bisa dikatakan bahwa berpikir kritis adalah salah satu cara untuk bertahan hidup.
Namun, keterampilan ini bisa hilang begitu saja ketika kita tidak melatihnya. Apalagi ketika kita sepenuhnya bergantung pada AI. Berpikir kritis melibatkan cara kita menentukan dan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan. Kemudian, kita mengevaluasi dan menganalisis informasi yang diperoleh berupa data, fenomena, dan fakta. Berdasarkan hasil bernalar ini, kita bisa membuat suatu keputusan yang rasional dan logis terkait masalah yang dihadapi.
Seorang pelajar atau mahasiswa yang ditugasi menulis esai tentang salah satu karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya. Ketika dia tidak pernah mengenalnya sama sekali,bisa jadi dia berusaha mencari tahu melalui mesin pencari atau langsung pergi ke perpustakaan untuk membacanya. Mendapatkan informasi melalui internet akan membuatnya kewalahan sebab dia tidak mengetahui cara memilahnya. Dia mungkin berakhir dengan mengambil informasi secara acak tanpa memikirkan koherensi di antaranya.
Sementara ketika dia membaca sendiri karya yang dipilihnya, dia akan memeroleh pandangan lebih personal dan emosional. Dia bisa jadi tidak akan berpatokan pada informasi fisik karya seperti tahun terbit, penerbit dan jumlah halaman. Melainkan, dia akan memaparkan bagian-bagian tertentu yang menarik perhatiannya karena itu terasa familiar atau justru mengganggu benaknya.
Dia kemudian akan belajar menyampaikan perasaan dan pikirannya atas peristiwa dalam alur cerita lewat tulisannya. Isinya pun bisa saja mendebat atau menawarkan perspektif lain sehingga ini pun berpengaruh pada caranya memandang kehidupan di sekitarnya. Dengan begitu, esainya terasa tidak objektif tetapi sangat subjektif dan personal sebagaimana yang diharapkan oleh pemberi tugas.
Lalu apakah teknologi AI tidak perlu digunakan sama sekali?
Realitanya kita memang tidak bisa berlepas dari teknologi ini, sehingga cara terbaik adalah bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakannya. AI sebagai sarana pengumpul data tentu akan sangat membantu. Namun, bagaimana informasi itu dipergunakan atau disampaikan sebaiknya berdasarkan nalar kita sendiri.
Komentar
Posting Komentar