Langsung ke konten utama

Hotel Mooi Indie: Romantisme dan Misteri

Foto: Dokumentasi pribadi

"sapa wae kang maru kudu mati..."

Pernyataan berbahasa Jawa Inggil ini terngiang setelah membaca Hotel Mooi Indie karya Sekar Ayu Asmara. Sebuah novel bergenre horor dengan tebal hanya sekitar 134 halaman ini habis kubaca kurang dari satu jam. Apakah begitu layak disebut page turner?

Spoiler alert ya. Aku cukup penasaran dengan blurb yang disampaikan, apalagi penulisnya adalah seorang seniman Indonesia yang namanya melambung karena Biola Tak Berdawai. Kupikir buku ini akan cukup tebal, ternyata sangat ringan dan terbagi menjadi 26 bagian. Alur cerita yang ditawarkan menarik karena ada percampuran antara kisah di masa lalu dan masa kini yang saling muncul bergantian.

Ketika membuka bagian 1, seharusnya aku menikmati saja jalan ceritanya tetapi cara penulisan cetak miring di awal cukup aneh. Beberapa bagian ditulis cetak miring, dan hanya beberapa kalimat ujaran justru tidak. Rupanya ini permainan penulis dalam menyajikan cerita.

Bagian-bagian buku yang dicetak miring dituturkan oleh Wening, istri dari Rudolph Matahari Walters alias Rudi. Sebelum dinikahi Rudi, Wening adalah seorang penari topeng yang diminati banyak laki-laki hebat juga sesama penari. Sementara Rudi adalah laki-laki keturunan Belanda yang berprofesi sebagai seorang pelukis. Melalui lukisanlah keduanya bertemu, Wening menjadi model lukisan yang dipajang di Hotel Mooi Indie.

Pilihan Wening menikah dengan Rudi didukung oleh keluarganya karena dianggap bisa memenuhi segala kebutuhan Wening. Sayangnya, semua pesona Rudi hilang karena ternyata dia senang berselingkuh. Wening bahkan memergokinya menjalin hubungan dengan seorang janda yang menjadi pembantunya sendiri di dalam kamar hotel.

Hotel Mooi Indie sendiri diwariskan kepada Rudi karena pemiliknya tidak memiliki siapapun dan Rudi dianggap mapan. Karena itulah Rudi bebas melakukan hubungan terlarang bersama Ponirah di salah satu kamar tak bernomor. Wening dan Rudi memang tinggal di komplek hotel, tepatnya di sebelah kanan bangunan hotel. Bagian kirinya disewakan kepadanya seorang seniman asal Ponorogo bernama Gus Wiwiek. 

Sosok Gus Wiwiek menjadi seorang pelindung bagi Wening sejak dia mengalami kekerasan dari Rudi. Puncaknya adalah ketika Gus Wiwiek mengetahui tangan kanan Wening dipotong secara sadis oleh Rudi. Tidak hanya mengantar dan menemani Wening ke rumah sakit, dia pun bersusah-susah membuatkan tangan palsu untuk Wening.

Romantisme terlarang ini berlanjut dan dialami oleh beberapa tokoh yaitu Bimo, Dirga, Ketut, Freedom dan Tatiana. Mereka semua terlibat perselingkuhan yang menyakiti banyak orang, dan berujung harus menerima hukuman dari Wening. Jika tanpa bantuan Savitri, seorang anak gadis yang sedang berulang tahun di hotel Mooi Indie, mereka tidak bisa diselamatkan.

Aroma mistis yang dihadirkan dalam cerita selalu berkaitan dengan lukisan yang berada di bagian resepsionis, area pemakaman dimana topeng para penari "diisi", dan sebuah makam kecil dengan topeng sebagai pengganti batu nisan. Sebenarnya meski buku ini bergenre horor, kesan horornya sangat ringan dalam arti sangat mudah ditebak bagi para penyuka genre ini.

Begitu juga dengan akhir ceritanya, tidak ada plot twist yang menggigit. Seolah semuanya sudah bisa kuterka sejak pertama kali membaca. Penggambaran tangan Wening yang putus justru mengingatkanku pada film Hands atau sosok Hand dalam film serial Adam's Family. Penggambaran tentang perselingkuhannya justru terasa sangat relevan dan familiar, adegan ranjang dan momen-momen intim yang dilakukan para tokoh membuat buku ini tidak disarankan untuk remaja.

Nah,buku ini menarik untuk dinikmati sekarang bersamaan dengan ramainya berita tentang perselingkuhan dan perceraian yang disebabkan oleh perselingkuhan. Menarik juga kalau para pasangan yang selingkuh itu mendapat hukuman gaib seperti Bimo dan kawan-kawan. Sebenarnya apa yang terjadi dengan pernikahan Wening dan Rudi, juga tokoh lainnya dalam cerita ini?


Judul      : Hotel Mooi Indie
Penulis    : Sekar Ayu Asmara
Halaman : 134 halaman
Penerbit  : Bentang Pustaka
Harga      : Rp.50.500
Rate        : 3 ,5/5

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a