Langsung ke konten utama

Doa Nara

Sumber: Jcomp via Freepik.com

Pagi-pagi sekali Nara sudah menyiapkan air panas untuknya mandi. Lalu, dia bergegas menyiapkan pakaian terbaik sambil sesekali melihat jam dinding di kamarnya. Oh, alas kaki. Nara belum menyiapkannya. Dia teringat lalu setengah berlari ke kamar belakang mencari alas kaki yang pas. 

"Aduh, pakai yang mana ya? Sepatu ini empuk tapi bikin gerah. Sendal ini nyaman tapi masa pakai sendal?!" Nara berbicara seorang diri.

Tak lama dia mendengar suara peluit dari dapur. Air mandinya sudah matang. Nara mengambil sepatu sandal yang tidak dia pilih sebelumnya. Disimpannya alas kaki itu di samping meja tidurnya, tepat di bawah baju pilihannya yang tadi sudah menggantung rapi.

Nara mandi lalu bersiap diri cukup lama, pasti karena dia ingin tampil terbaik. Sekarang Nara sudah anggun memakai dress berwarna lilac yang dipadukan dengan bandu pita cantik. Nara ingin Ayah dan Bunda melihatnya sudah rapi. 

Tiba-tiba hop ada seekor kucing melompat masuk dari pintu depan. Nara terkejut dan tidak sengaja tangannya menyenggol cangkir kopi Ayah. Mendengar suara nyaring, Ayah dan Bunda berbarengan mendatangi Nara di ruang tamu. 

"Astaghfirullah kenapa, Ra?" tanya Bunda agak panik.

Sedetik kemudian Ayah bertanya "Kamu ada yang luka?" sambil melihat tangan dan kaki Nara.

"Nara kaget ada kucing lompat ke sini." Nara menjawab sambil menunjuk kursi.

"Ya Allah. Tapi ngga ada luka kan" Bunda bertanya lagi. Bunda sepertinya sangat kuatir, Nara mendekat lalu memeluk Bunda sambil berbisik "Jagoan masa terluka sih, Bun."

Bunda menarik nafas dan menghembuskannya pelan-pelan. Ayah sedari tadi membereskan pecahan cangkir dan mengelap tumpahan kopi. Ayah tahu putri semata wayangnya itu anak yang kuat. Makanya sesudah melihat tidak ada luka di tubuh Nara, Ayah berjalan mengambil lap, sapu dan pengki. 

Bunda mengajak Nara minum air putih di ruang makan. Bunda masih memperhatikan gerak-gerik Nara. Bunda masih cemas. Nara lalu bangkit dan mengajak Bunda ke teras rumah. Dia mencari-cari si kucing yang tadi mengejutkannya. Sangat yakin tadi si kucing itu keluar setelah melihat Ayah dan Bunda datang.

Ayah menyusul mereka ke depan sambil mengeringkan kedua tangannya. Tiba-tiba ponsel Ayah berbunyi, dia lalu sibuk memeriksa saku celana dan bajunya. Bunda tersenyum kecil dan memberikan ponsel Ayah yang ada di atas meja kopi tadi. 

Nara sudah tidak sabar lagi untuk pergi menjenguk Aki dan Nini di Bandung. 

Ooh rupanya itu yang membuat Nara begitu penuh perhatian dengan tampilannya hari ini. 

Ayah tiba-tiba menutup pembicaraan dengan nada sedih. Ibu berdiri dan memegang tangan kanan Ayah.

"Kenapa Yah? Siapa tadi yang telpon?" Tanya Bunda.
"Bun, Nini masuk rumah sakit. Aki di rumah sendirian. Bi Inah nemenin Nini di ambulans." Ayah menjawab pelan. 

Bunda lalu masuk dan tidak lama keluar dengan menarik koper di kanan dan kiri tangannya. Nara melihat Bunda, dia berlari ke dalam. Rupanya dia mengambil kunci mobil Ayah dari atas rak dan memberikannya pada Bunda.

"Ayah tau kan Nini diantar ke rumah sakit mana?"  
"Iya, Edelweiss, Bun."
"Ya udah, Bunda yang nyetir ya. Ayah temani Aki di rumah sama Nara. Biar Bunda langsung nyusul ke Edelweiss setelah antar kalian ke Aki." Bunda memberi instruksi dengan tegas.

Ayah dan Nara mengikuti arahan Bunda. Ayah masuk mobil dan duduk di kursi penumpang sebelah Bunda. Nara menggeser pintu belakang, duduk lalu memasang sabuk pengaman. Nara melihat Ayah dan Bunda bergiliran. Dia tahu kedua orang tuanya sedang cemas, jadi dia berusaha untuk tidak membuat keduanya tambah cemas.

Nara mendengar Ayah dan Bunda membaca doa bersama. Dia lalu berbisik "Bismillahirrahmanirrahim." Jam di dashboard menunjukkan pukul 07.48. Sinar matahari mulai masuk ke sisi kanan mobil. 

Bunda menyalakan mesin mobil. Ayah melihat posisi spion dan mengangguk pada Bunda. Dalam hatinya, Nara berdoa supaya Aki dan Nini baik-baik saja. Nara juga berdoa supaya perjalanan mereka menuju Bandung berjalan lancar. Mobil putih keluar dari garasi rumah Nara menuju rumah Aki. 

Komentar

  1. Awalnya agak bertanya-tanya dg sosok Nara yang sedang bersiap di pagi hari, apa tokohnya anak kecil? Atau sudah dewasa? Dari cerita yang disajikan, pembaca dpt mengetahui bahwa karakter tokoh merupakan anak yang mandiri dan pengertian, memiliki rasa empati yang tinggi, dan (sepertinya, biasanya) tokoh anak perempuan yang mempunyai gambaran karakter seperti itu,
    Di tengah cerita kayanya ada mitos yang dibalut dg adegan gelas pecah tidak sengaja, seakan menjadi pertanda sesuatu yg buruk akan terjadi,
    di bagian akhir, finally doa Nara revealed, doa sederhana seorang cucu yang to the point untuk kakek neneknya tercinta, satu kata “Bismillaah” memberikan kesan bahwa tokoh menyikapi rasa khawatir dengan berpositif thinking pada Sang Maha Kuasa,
    Cerpen ini seperti prolog dari sebuah cerita utuh atau mungkin cerbung, aku sendiri sbg pembaca penasaran dg apa yg akan terjadi selanjutnya, apa yg terjadi pada mereka sesampainya di rumah Aki.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah Masya Allah, makasih banyak ya komentarnya Ummi Nda 🥰

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a