Sumber: www.deelestari.com
Nama dan sosok Dee Lestari sudah tidak asing di dunia hiburan dan penulisan Indonesia. Bernama lengkap Dewi Lestari, Dee adalah putri keempat dari Yohan Simangunsong dan Tiurlan Siagian. Lahir di Bandung pada 20 Januari 1976, perempuan yang kini berusia 47 tahun tumbuh besar dalam lingkungan seni. Dee bersama ketiga saudara perempuannya yang juga aktif di bidang seni sudah terlibat di dunia musik, seni dan menulis. Di masa kecilnya, Dee sendiri sudah aktif dalam dunia musik dan berlatih vokal bersama beberapa pelatih, salah satunya adalah Elfa Secoria.
Berpengalaman sebagai penyanyi latar untuk para musisi papan atas Indonesia seperti Chrisye, akhirnya Dee, Sita dan Rida membuat rekaman album pertamanya. Ketiganya tergabung dalam sebuah grup bernama RSD. Bagi Dee bekerja sama dengan Sita tidak asing karena mereka adalah rekan menyanyi sejak kecil. Sementara Rida menjadi rekan barunya yang direkomendasikan oleh Andre Hehanusa. RSD kemudian merilis album pertamanya, Antara Kita,pada tahun 1995.
Pernikahannya bersama Marcell Siahaan pada 2003 membuahkan seorang anak laki-laki bernama Keenan Avalokita Kirana. Sayangnya pernikahan itu berakhir pada tahun 2008. Tak lama kemudian, Dee menikahi Reza Gunawan dan memiliki seorang putri bernama Atisha Prajna Tiara.
Di dunia kepenulisan pun nama Dee berhasil menjangkau pembaca asing lewat novel Supernova episode pertama dan Perahu Kertas (Paper Boats) yang sudah diterjemahkan. Beberapa kali Dee mewakili para penulis Indonesia dan menjadi pembicara di event bergengsi dunia seperti Frankfurt Book Fair (2014), London Book Fair (2019) dan Brahmaputra Literary Festival (2019) di India. Bukan tanpa alasan, dia memilih nama pena Dee Lestari. Konon nama itu dipilih karena tak jarang sulit bagi orang asing untuk menyebutkan nama Dewi.
Di Indonesia sendiri selain seri Supernova, karyanya yang lain pun selalu berhasil menjadi best seller diantaranya Madre, Perahu Kertas, Filosofi Kopi, Rectoverso, Aroma Karsa, dan Rapijali. Bahkan beberapa karyanya sudah diadaptasi menjadi film layar lebar. Dalam mendeskripsikan dirinya sebagai seorang penulis, Dee menyebut dirinya tipe penulis yang berada di persimpangan antara penulis fiksi sastra intelektual dan sastra populer.
Prinsip yang diyakini dan diterapkannya dalam berkarya adalah Kaizen, sebuah perbaikan kecil yang dilakukan berkesinambungan. Sebagai wujud kepeduliannya terhadap dunia literasi Indonesia dan 20 tahun lebih berkarir, Dee membantu para calon penulis muda dalam program menulis secara online bernama Kaizen.
Sang Mentor Kaizen
Menulis prosa dan puisi tidak melulu soal cinta adalah pesan Papa padaku. Menjadi seorang penulis sudah menjadi impianku sejak kecil setelah melihat sosok Papa. Aku belajar menulis secara otodidak dengan bekal membaca banyak buku ketimbang bermain dengan teman-teman.
Tulisanku buruk, terasa hampa, tidak bernyawa dan miskin rasa. Tumpukan tulisan masa kecil itu tersingkir oleh tumpukan lainnya. Dua dekade kemudian, aku menemukan kembali tulisan itu. Teringat dengan sebuah informasi kelas penulisan di Kuncie.com bersama Dee Lestari membuatku ingin bergabung.
Dalam program menulis online itu, Dee menawarkan seni bercerita yang lebih tertata, membentuk para tokoh, dan melakukan riset secara menyeluruh. Soal riset ini sudah pasti diperlukan untuk bisa menulis karya fiksi. Bagaimana pun menulis fiksi ini lebih menantang, kalau tidak sama menantangnya, dari menulis karya ilmiah akademik.
Perahu Kertas, mengulang kenangan masa lalu
Setiap kita memiliki kenangan masa sekolah yang campur aduk. Perahu kertas adalah kisah cinta ala remaja yang perlahan mendewasa. Sebuah cinta platonik yang berujung bahagia. Begitu kesan pertama yang kurasakan ketika membacanya belasan tahun lalu.
Bagiku sosok Kugy dan Keenan memang harus memiliki kekurangan, setidaknya pilihan atau perilakunya yang nyeleneh adalah pelengkap dari penggambaran sosok yang terlalu sempurna. Meski membuat penasaran dengan kisah keduanya, membaca novel ini terkadang terasa melelahkan.
Gagasan tidak peduli pada orang lain padahal dalam benaknya, Kugy sangat peduli pada penilaian mereka. Atau, Kugy yang berlaku baik pada semua perempuan sehingga memberikan pesan yang salah, membuatku gemas. Sepertinya aku yang saat itu berusia 25 tahun merasa kesal, karena sensasi emosi itu masih kurasakan sampai sekarang.
Di usia ke-39 ku, membaca lagi kisah cinta keduanya hanya sekadar untuk hiburan. Seperti mengulang kembali ingatan ketika sekolah, dan mengingat bahwa tidak selamanya kisah cinta berakhir bahagia meski sudah penuh dengan pengorbanan, cinta dan kejujuran.
Menulis dan teruslah menulis.
Komentar
Posting Komentar