Sumber: www.mobiflip.de
Internet memungkinkan kita untuk tidak hanya berselancar mencari informasi, melainkan juga mendapat hiburan. Kita bahkan bisa menonton film-film terbaru atau justru yang lawas di sana. Program-program televisi yang semula sering kita tonton perlahan tidak lagi menarik perhatian. Tayangan streaming di internet dianggap jauh lebih menarik.
Salah satu penyedia layanan hiburan di internet ini adalah Netflix. Semua pelanggannya bisa menikmati beragam genre tontonan dimana dan kapanpun. Mereka bisa menikmatinya lewat ponsel, tablet, laptop, komputer atau televisi digital. Kepuasan mereka terjawab oleh Netflix yang semula adalah penyedia sewa DVD via surel.
Netflix yang menawarkan layanan menonton film sepuasnya dengan cukup berlangganan setiap bulan berhasil menggeser tren penyewaan DVD. Selama lockdown pandemi Covid-19, terjadi lonjakan pelanggan Netflix. Katadata.co.id menunjukkan bahwa selama pandemi pelanggan barunya mencapai 36,6 juta.
Sayangnya dibalik suguhan ragam tontonan di Netflix, sebuah bahaya psikologis mengancam para pelanggannya. Tanpa sadar kita bisa menghabiskan waktu hampir satu jam hanya untuk mencari film yang menarik. Atau asyik membaca sinopsis film dari daftar tontonan lalu tertidur tanpa menonton apapun. Kondisi inilah yang disebut sebagai Netflix Streaming Syndrome.
Sindrom ini dikenalkan oleh seorang blogger sekaligus novelis bernama Brian Moylan di tahun 2011. Dia menyebutkan bahwa sindrom ini memunculkan gejalai insomnia, perilaku anti-sosial dan temperamen. Insomnia ini disebabkan oleh menonton secara maraton dan mengorbankan tidur malam yang nyenyak.Waktu tidur yang tidak cukup membuat hormon kortisol terus meningkat sehingga menjadi mudah stress dan marah. Atau, mudah merasa terganggu bahkan untuk hal sepele. Perilaku anti-sosial muncul karena dia memilih untuk tinggal di rumah daripada keluar dan berinteraksi dengan orang lain.
Seorang psikolog bernama Dr. Barry Schwartz menulis sebuah buku tentang fenomena yang mirip dengan gangguan ini. Bukunya berjudul The Paradox of Choice terinspirasi oleh studi sosiologis yang menemukan bahwa lebih banyak pilihan di pasar bisa melumpuhkan seseorang karena dia menjadi kewalahan dengan pilihan yang tersedia. Dia berkesimpulan bahwa lebih banyak pilihan tidak selalu lebih baik.
Fenomena ini sebenarnya sudah muncul sejak lama, bahkan seorang novelis, cerpenis sekaligus penyair Amerika, Sylvia Plath menggambarkan hal serupa dalam kiasannya tentang pohon ara pada novel The Bell Jar. Dia menggambarkan seseorang sedang duduk di bawah pohon ara dan melihat semua pilihan hidupnya tersedia baginya, tetapi dia tidak dapat memilih. Ketika harus memilih salah satu, seseorang harus meninggalkan semua yang lain. Ketidakmampuannya membuat keputusan membuat dia kehilangan banyak kesempatan, buah ara pun mulai jatuh ke tanah dan layu.
Jadi sebenarnya fenomena ini tidaklah asing, hanya saja teknologi dan internet membuatnya menjadi bertambah buruk. Bahkan sindrom ini bisa dialami siapa pun yang berlangganan Disney, Amazon Prime, dan lainnya. Lalu kalau kita sudah terlanjur mengalami sindrom ini hal paling sederhana sekaligus sulit yaitu menahan diri.
Menahan diri untuk tidak menonton semalaman, dan mungkin tidak lagi berlangganan Netflix atau layanan streaming lainnya. Apa yang kita tonton dan baca tentunya berpengaruh pada diri, sehingga mengetahui baik buruk serta menahan diri adalah sikap yang bijak demi kesehatan kita.
Komentar
Posting Komentar