Foto: zerowaste.id
Ketika membawa bayiku pulang dua tahun lalu, perawat di rumah bayi meminta aku dan suami menyiapkan pakaian dan popok. Sebagai orang tua baru, kami tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang seperti apa popok yang diperlukan. Perawat bayi kami menyarankan untuk membeli popok khusus Newborn.
Satu pak popok newborn isi 40 ternyata harganya cukup mahal, sekitar Rp 60-75 ribu. Dalam satu hari, si bayi harus mengganti popok sebanyak 5-6 kali. Artinya, dalam satu bulan saja lebih kurangnya sekitar 150 limbah popok sekali pakai (pospak). Dana yang dikeluarkan untuk popok saja mencapai Rp.4,5 juta setiap tahunnya. Menurutku ini adalah masalah yang perlu diatasi segera.
Hal yang paling menggangguku setelah itu adalah jumlah limbah popok juga cara penanganannya. Beberapa bulan berikutnya jumlah limbah popok setiap bulan berkurang secara signifikan karena aku putuskan untuk menggunakan popok kain di pagi hingga sore hari. Popok sekali pakai hanya dipakai ketika si kecil tidur.
Berlanjut hingga si kecil berusia dua tahun, popok kain biasa dan clodi menjadi celana kesehariannya. Pospak hanya kupakaikan ketika kami pergi dalam durasi yang cukup lama. Selain kemasan sachet dan kantong plastik, limbah pospak adalah salah satu penyumbang mikroplastik di kehidupan manusia.
Material pada pospak memang 55% adalah plastik dan membutuhkan waktu 200-500 tahun untuk bisa terurai secara alami. Belum lagi adanya kandungan Super Absorbent Polymer (SAP) sebanyak 42%. SAP adalah senyawa kimia yang membuat pospak cepat menyerap cairan karena sifatnya bisa berubah menjadi gel ketika terkena air.
Fakta ini membuatku harus mencari solusi ketika si kecil belum bisa sepenuhnya menggunakan celana kain. Bertemulah aku dengan sebuah organisasi bernama Octopus dan mendaftar sebagai anggota penggunanya. Selain bisa memberikan limbah pospak, aku pun bisa memberikan barang-barang yang bisa didaur ulang seperti botol-botol plastik HDPE dan PET, botol kaca, kaleng dan lainnya. Sayangnya aku hanya bisa menikmati layanan pengambilan popok ini hanya beberapa bulan.
Informasi yang kudapat dari petugas Octopus alias pelestari adalah perusahaan yang merupakan produsen popok menghentikan bantuan dananya padahal biaya pengelolaan dan pengolahan pospak cukup besar. Di waktu yang sama memang si kecil sudah sangat jarang menggunakan pospak karena sedang menjalani Toilet Training. Limbah pospak yang ada kucoba olah menjadi media tanam untuk tanaman non pangan. Hasilnya cukup memuaskan.
Kalau bicara tentang kepraktisan, pospak adalah pemenangnya. Sayangnya ada harga mahal yang harus dibayar oleh makhluk hidup yang tinggal di bumi. Itu sebabnya kita lebih baik memilih popok kain atau clodi meski terkesan tidak praktis. Dalam satu hari setidaknya kita harus sedia 10-12 helai popok kain bersih, dan memang kendalanya ada pada waktu kita untuk mencuci, menjemur dan menyetrika. Belum lagi kalau cuaca yang tidak mendukung karena mendung atau hujan seharian.
Tetapi kalau memperhitungkan jumlah dana yang dihabiskan, rasanya memilih popok kain jauh lebih hemat. Belum lagi ketika si kecil memiliki kulit sensitif yang tidak bisa menggunakan pospak sehingga menimbulkan ruam popok. Sebenarnya pilihan untuk memakai popok kain atau pospak kembali pada kesadaran kita akan kesehatan tubuh dan kelestarian lingkungan. Dengan memilih popok kain, kita sudah bergerak selangkah untuk membantu bumi dari bencana.
Komentar
Posting Komentar