Langsung ke konten utama

Belajar Urban Farming Bersama Sumi

Sumber: Letsreadasia.org

Sumi menemukan bahwa tanaman yang dirawatnya kurus, daunnya menguning, dan tampak layu. Berbeda dengan tanaman di atap rumah Mbak Kinan. Semua tanamannya segar dan subur, bahkan sebentar lagi tanamannya dipanen. 

Mba Kinan bersama teman-temannya adalah mahasiswa sekaligus pengusaha sayuran. Mereka menjual sayuran seperti kangkung, bayam, sawi, dan lainnya. Sumi tertarik untuk bercocok tanam seperti Mbak Kinan sehingga dia diajari mulai dari menanam benih. 

Sumi diajari cara menyiapkan media tanam seperti tanah dan pupuk. Akhirnya Sumi mengerti penyebab tanaman miliknya tidak bagus, tanah di rumah Sumi tidak gembur. Mbak Kinan membekali Sumi dengan benih bayam dan pupuk untuk ditanamnya di rumah. Kurang dari satu bulan, Sumi dan keluarganya bisa memanen dan menikmati sayuran hasil panennya sendiri.

Di atas adalah cerita anak berjudul Cepatlah Tumbuh karya Fransisca Emilia. Cerita ini mengajarkan anak-anak, khususnya, dan orang dewasa tentang salah satu cara untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi masyarakat urban alias di perkotaan, yaitu urban farming. Mengingat populasi di perkotaan cukup padat sehingga kebutuhan akan pangan menjadi meningkat. 

Bagi para penganut gaya hidup hijau, tentunya urban farming ini tidak asing. Mayoritas kebutuhan sayuran dan buah-buahan mereka terpenuhi dengan menerapkan urban farming di tempat tinggalnya. Selain itu, hasil panen sayur dan buahnya menjadikan sayur dan buah organik sebab pupuk yang diberikan pun adalah hasil pengomposan sendiri.

Secara umum, urban farming adalah sebuah aktivitas berkebun di perkotaan dengan lahan yang relatif kecil. Tempat yang biasa digunakan adalah halaman, balkon, atap rumah atau ruang lainnya yang tersedia. Tujuannya untuk menyediakan stok sayuran segar bagi masyarakat perkotaan. Pelaksanaannya bisa dilakukan secara perseorangan atau komunal. 

Bentuk pertanian ini sebenarnya terintegrasi dengan sistem ekonomi dan ekologi perkotaan karena bisa membuka kesempatan kerja. Selain itu, limbah yang dikelola secara pribadi atau komunal bisa digunakan untuk dijadikan kompos. Keberadaan urban farming secara komunal ini bisa membantu secara signifikan kondisi masyarakat dan lingkungan sekitar dalam penggunaan lain limbah perkotaan. Memunculkan ruang hijau dan mencegah perubahan iklim juga menjadi manfaat dari urban farming.

Dalam cerita di atas, Sumi ini membuat wadah untuk menanam benih bayamnya dari bungkus bekas deterjen dan wadah lainnya. Tindakan Sumi mungkin tampak biasa, tapi menjadi bentuk nyata dari aktivitas mendaur ulang di rumah. Tidak bisa dinafikan bahwa kebanyakan limbah perkotaan tidak dikelola dengan baik dan bijak sejak dari sumber, alias rumah. 

Artinya ketika kita mencoba bentuk pertanian semacam ini, volume sampah dan jejak karbon, khususnya sampah makanan, yang dihasilkan pun berkurang. DataIndonesia.id menyebutkan bahwa secara global makanan, mulai dari proses awal produksi sampai pembuangan, menghasilkan 13,7 metrik ton emisi gas rumah kaca (GRK). 

Belajar dari pengalaman Sumi, anak-anak dan kita bisa membuat bumi pulih sekaligus memenuhi kebutuhan hidup. Pilihan untuk hidup sehat di lingkungan yang bersih dan sehat untuk kita dan keluarga, atau abai dengan segala kondisi sekitar adalah bergantung pada sikap kita hari ini. 

Komentar

  1. Setuju banget kak, kalau urban farming perlu dilakukan. Aku tertarik nih dengan ide kakak dalam tulisan. Kalau urban farming dilakukan, suasana di sekitar rumah pasti jadi segar hehehe.

    BalasHapus
  2. Sepakat Kak, cara yang baik untuk menanamkan kesadaran pentingnya menjaga ekosistem pada anak-anak memang melalui cerita yang edukatif tapi tetap menarik

    BalasHapus
  3. Menarik sekali tulisannya. Urban farming adalah sebuah istilah baru bagi saya. Sepertinya memang sangat cocok untuk diadaptasi dan diajarkan di daerah perkotaan. Selain untuk menghijaukan rumah, perut pun terisi tanpa bikin kantong bolong. Hehehe.

    BalasHapus
  4. Urban farming Ini padahal menjanjikan bgt sih. Dijakarta ada yg menerapkan ini se rt. Kebayang kan betapa hijaunya rt itu krn tiap rumah bisa nanam sayuran. Pengen jg sih kayak gt.

    BalasHapus
  5. Aku baca sekilas judulnya Suami ternyata Sumi, hehah. Memanfaatkan limbah ini emang harus dimulai dari rumah. Meski kelihatan gak berdampak dan percuma, padahal kita udah bisa menyelamatkan bumi dari rumah.

    BalasHapus
  6. Kukira cerita anak dari awal sampai akhir, ternyata... 😄 Setuju sih soal urban farming yang harus dikenalkan sejak dini kepada anak-anak.

    BalasHapus
  7. Woah keren ya. Ini juga bisa membantu menjawab isu sustainability. Dengan berusaha bercocok tanam sendiri melalui urban farming, kita gak cuma mengurangi sampah tapi juga mengurangi ketergantungan kita terhadap penyedia bahan makanan

    BalasHapus
  8. Aku setuju kak. Kalau pekarangannya kekurangan lahan atau tanah sekarang udah banyak media tanam selain tanah. Contohnya, hidroponik

    BalasHapus
  9. Keren banget kak. Urban farming ini memang bagus banget dijadikan salah satu metode menghijaukan bumi supaya bumi pulih. Semangat kak

    BalasHapus
  10. sudah lama dengar tentang urban farming tapi belum menerapkan hingga hari ini.. oalah dasar aku..

    BalasHapus
  11. Berkebun ala masyarakat perkotaan, karena terbatas lahan, maka urban farming bisa menjadi solusinya. Hanya saja, sepertinya belum banyak yang menerapkan ini di masyarakat urban, setahu aku sih saat tinggal di Jakarta. Belum banyak yang melakukan urban farming. Ini Insightful dan bisa jadi methods alternatif berkebun bagi masyarakat perkotaan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a