Langsung ke konten utama

Akankah Kunang-kunang Menjadi Mitos?

Sumber: Quadcitiesdaily.com

Beberapa malam lalu, anak 2 tahunku, Rayya, bertanya tentang kunang-kunang. Dia mengetahui tentang nama serangga itu dari sebuah buku, katanya "ada senter di pantatnya". Aku juga jadi teringat kapan kali terakhir melihat kunang-kunang di alam bebas.

Kalau tidak salah ingat, aku melihatnya bergerombol sekitar tahun 2005 di perbukitan daerah Timur kota Bandung. Beberapa tahun yang lalu, aku juga sempat melihatnya di taman dekat area pemakaman. Itu mungkin sebabnya di daerahku kunang-kunang sering disebut sebagai wujud dari kuku orang meninggal. Setelah itu, rasanya tidak lagi ada kunang-kunang yang terbang bebas.

Aku penasaran dan mencari tahu tentang kunang-kunang di berbagai portal media. Di sana aku menemukan bahwa kunang-kunang adalah serangga yang masuk ke dalam jenis kumbang. LiveScience menjelaskan kunang-kunang bisa bercahaya karena kumbang ini memiliki pigmen luciferin. Pigmen ini kemudian menghasilkan cahaya ketika bercampur dengan oksigen. Bagian terakhir dari formulanya adalah kristal asam urat, yang terletak di sel-sel yang membuat cahaya dan menyinari cahaya dari tubuh kunang-kunang.

Serangga ini terancam punah karena keberadaannya tersingkir oleh eksplorasi dan ekspansi manusia. Anak cucuku bisa jadi tidak akan pernah melihatnya langsung bertahun-tahun yang akan datang. Kompas.com menyebutkan hasil dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh 350 orang anggota Jaringan Internasional Fireflyers. Tiga sebab utama kunang-kunang langka di seluruh dunia adalah kehilangan habitatnya, polusi cahaya, dan pestisida.

Scientific American menyebutkan bahwa dari 2.000 spesies kunang-kunang dan menempati setiap kawasan di dunia, satu-satunya tempat yang tidak disinggahi kunang-kunang adalah Antartika. Mayoritas spesies kunang-kunang dan mangsanya, membutuhkan habitat yang lembab seperti rawa-rawa, sungai, dan tanah lembab. 

Kekeringan yang disebabkan oleh perubahan iklim, gangguan aliran air alami dari sungai, dan penurunan permukaan air juga bisa menjadi penyebab mulai langkanya kunang-kunang. Ditambah lagi adanya pembangunan tempat tinggal membuatnya kehilangan habitat aslinya. 

Spesies ini juga tidak dapat berkembangbiak atau berkomunikasi karena polusi cahaya dari perkotaan di langit. Meski ada spesies kunang-kunang yang tidak menggunakan cahaya untuk berkomunikasi, spesies lainnya sangat membutuhkan langit malam yang gelap untuk berkembangbiak dan berkomunikasi.

Berbekal informasi ini, aku akan menjelaskan pada Rayya alasannya tidak bisa melihat kunang-kunang di malam hari. Sepertinya tidak cuma kunang-kunang yang mulai langka, masih ada serangga lain seperti kupu-kupu yang tidak banyak dan beragam seperti dulu. Sempat juga ku dengar di salah satu dokumenter bahwa kepunahan massal makhluk hidup diawali dengan punahnya serangga sebagai rantai makanan terbawah.

Kondisi ini memang memprihatinkan dan harus segera diambil tindakan oleh kita, manusia. Sebagai makhluk yang lebih sempurna, mudah-mudahan kita bisa lebih bertanggungjawab terhadap kondisi lingkungan dan dunia. Jangan sampai kita lebih pandai menghancurkan daripada merawat. Jangan juga kita menjadi manusia tamak dan rakus pada alam yang sudah menyediakan berbagai kekayaannya.

Kita bisa memulai dengan membuat taman-taman kecil di pekarangan, atau menanam lebih banyak jenis tumbuhan. Selain itu, Mengurangi penggunaan pestisida atau zat-zat kimia yang bisa merusak kondisi air, tanah dan udara sekitar juga adalah hal sederhana yang bisa kita lakukan. Semuanya supaya generasi setelah kita tidak akan mengenal banyak hal cuma dari buku atau cerita, bahkan menjadikannya mitos belaka. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a