Langsung ke konten utama

5 Alasan Pentingnya Mempelajari Sastra

             Sumber: www.freepik.com

Sering juga ya ketika kita menonton film drama kerajaan yang memperlihatkan para anggota keluarganya belajar sastra dan filsafat. Mereka malah diwajibkan membaca, menghafal dan memahami semua karya sastra klasik. Tujuannya agar mereka menjadi seorang pribadi dan pemimpin yang berbudi pekerti dan berpengetahuan. 

Lalu di era post-mo ini, apakah fungsi mempelajari sastra masih sama seperti dulu? Meski zaman sudah berubah dan peradaban manusia berkembang pesat, sastra masih memberikan manfaat dalam kehidupan manusia. Sastra menjadi sebuah refleksi tidak hanya hidup manusia, tetapi juga pikiran dan jiwanya.

Sebagai seorang yang hidup di era digital dan informasi ini, kita perlu mempelajari sastra. Selain untuk refreshing dan sekedar hobi, ada lima alasan pentingnya sastra dalam hidup kita.

Mendorong kreativitas dan imajinasi
World Literacy Foundation menyebutkan cara terbaik untuk menumbuhkan imajinasi adalah aktivitas membaca. Ketika membaca, kita menafsirkan sekaligus membayangkan wujud adegan secara mental dari susunan kata-kata. 

Ketika membaca sebuah novel bergenre horor karya Stephen King, misalnya, kita seolah berada di antara fenomena supranatural yang aneh dan ekstrem. Tanpa sadar, kita merasa sedang diawasi. Atau ketika kita membaca The Silmarilion karya J.R.R. Tolkien yang mengisahkan kehidupan dan silsilah para Elvish jauh sebelum terjadinya peperangan di Mordor pada karyanya The Return of The King.

Dari hasil membaca ini, pemikiran kreatif dan inovatif melahirkan sebuah video game dengan nama dan tema yang sama bernama LOTRO (Lord of The Ring Online) game. Para penggemar Tolkien kemudian bisa mewujudkan imajinasinya untuk berpetualang seperti para tokoh dalam trilogi Lord of The Rings.

Mempelajari sejarah dan masyarakat
Setiap kita pasti pernah berkhayal untuk bisa melakukan perjalanan lintas waktu dan dunia. Entah untuk kita mempelajari sejarah di periode tertentu, cara hidup dan budaya masyarakatnya
atau sekedar ingin tahu kesesuaiannya dengan informasi pada buku pelajaran.

Sastra menawarkan cara unik untuk kita bisa terlibat dengan sejarah. Pengalaman membaca dan mempelajari sejarah dengan mengasyikkan daripada mempelajari garis waktu atau menghafal fakta tentang peristiwa dan pelaku sejarah. Dengan mempelajarinya, kita bisa memahami maksud pernyataan "sejarah dapat terulang" karena karya sastra memberikan perspektif lain penyebab terjadinya suatu peristiwa.

Misalnya saja ketika kita membaca 1984 karya George Orwell. Novel tersebut mengisahkan kondisi masyarakat suatu negara totalitarian dimana mereka tidak dapat memiliki kebebasan berbicara ataupun bersikap. Mereka dicuci otak hingga tidak mampu berpikir selayaknya manusia bebas dan berakal. Banyak pembaca yang kemudian merasakan fenomena ini dalam kehidupan nyatanya.

Mengaktifkan otak
Membaca pada umumnya bisa menjaga otaknya tetap sehat dan aktif. Setidaknya membaca bisa membuat kita terhindar dari Alzheimer dan demensia yang merupakan gangguan otak degeneratif. Dengan membaca buku, khususnya karya sastra, dua gangguan ini bisa dicegah selama stimulasi mentalnya teratur.

Wei dkk pada tahun 2013 menggunakan pemindaian MRI fungsional untuk mengukur efek membaca novel pada otak para relawan yang membaca novel "Pompeii" selama 9 hari. Hasil penelitian menunjukkan banyak area otak yang menyala ketika ketegangan terbangun dalam cerita. penelitian lainnya menunjukkan peningkatkan aktivitas di central sulcus yang bertanggung jawab atas aktivitas motorik sensorik. 

Neuron di bagian ini aktif dan memberikan sensasi atas pemaparan dalam cerita.Ketika sang tokoh sedang berlari, neuron terkait dengan lari menjadi aktif. Begitu juga ketika sang tokoh merasakan lonjakan emosi, sistem limbik dalam otak kita pun akan aktif.

Mendorong keterampilan berpikir kritis
Ketika membaca kita harus memperhatikan detail, membentuk hubungan, dan mengembangkan gagasan untuk memahami sepenuhnya apa yang terjadi dalam cerita. Artinya selain memperbesar kapasitas otak, kita menjadi terlatih untuk berpikiran terbuka saat memproses informasi, sehingga bisa membuat keputusan yang lebih efisien. 

Membaca mengharuskan kita memproses sejumlah besar informasi dengan lebih lambat sehingga memungkinkan kita untuk menyesuaikan dan mengubah pemikiran saat membaca. Harvard (2020) dalam penelitiannya menyebutkan hal ini terjadi secara alami khususnya ketika kita mengkaji fiksi dari perspektif luar yang mungkin tidak kita alami dalam kehidupan nyata. 

Ketika membaca novel The Jacatra Secret karya Rizki Ridyasmara,misalnya. Kita disuguhi cerita bahwa kota Jakarta dibangun oleh Freemason dengan sekian banyak bukti bahwa para Freemason ini terus membangun Jakarta. Dengan membaca novel ini, kita didorong untuk mencari lebih jauh informasi tentang pembangunan Stadhuis atau Gedung Museum Sejarah Jakarta alias Museum Fatahillah. 

Meningkatkan keterampilan literasi 
Literasi dalam hal ini bukan cuma membaca dan menulis tapi juga memproduksi karya sastra itu sendiri. Kosakata kita bertambah dan lebih variatif. Kita bisa jadi tidak terbiasa dengan bahasa yang digunakan di dalam buku-buku yang ditulis di masa lalu. 

Selain kosakata baru, kita menjadi terpapar pada beragam gaya bahasa, gaya penulisan dan struktur kalimat bahkan membangun makna dan konsep melalui konteks dalam cerita. Dengan begitu kita menjadi bisa mengartikulasikan diri dengan mudah dan jelas. Terlebih ketika kita menulis karya sendiri, pemaparan tentang tokoh, latar dan isu yang diangkat pun menjadi lebih kaya.

Seorang anak yang terpapar dengan buku bacaan yang beragam memiliki kosakata lebih banyak. Dia bahkan bisa menciptakan karya berdasarkan imajinasinya sendiri, seperti yang dialami seorang penulis cilik bernama Sri Izzati. Dia sudah bisa membaca buku dan menulis pada usia tiga tahun. Bahkan ketika berusia 19 tahun, dia sudah menghasilkan 11 judul novel dan 6 antologi cerpen.

Jadi, membaca novel untuk sekedar rehat atau serius pun kita tetap mendapatkan manfaatnya. Apalagi ketika kita serius mempelajarinya. Selamat membaca dan salam literasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a