Langsung ke konten utama

3 Keterampilan Literasi Digital di Era Informasi

                Sumber: www.freepik.com

Pandemi Covid-19 di awal 2020 hingga 2022 meningkatkan penggunaan internet secara masif di seluruh dunia. Datareportal.com menyebutkan pemberlakuan aturan lockdown meningkatkan durasi pemakaian internet menjadi sekitar enam jam per hari. Hingga Januari 2023, pemakaian internet di seluruh dunia masih berada di kisaran 6 jam 37 menit. Di Indonesia sendiri, masyarakat menggunakan internet selama 7 jam 42 menit setiap harinya.

Para pekerja terpaksa bekerja dari rumah, begitu juga dengan para pelajar menggunakan jaringan internet. Pelaksanaan kelas jarak jauh sebenarnya bukan fenomena baru dalam bidang pendidikan, cuma Indonesia baru saja menerapkan secara masal di periode ini. Para pelajar dituntut untuk memiliki perangkat yang terkoneksi internet untuk bisa mengikuti pembelajaran.

Yang menjadi perhatian adalah angka literasi digital Indonesia kemudian mengalami peningkatan dari 3,44 pada 2021 menjadi 3,52 pada 2022 (Katadata.co.id). Peningkatan ini sayangnya masih dianggap rendah, sebab Indonesia menjadi negara dengan literasi digital terendah di ASEAN. 

Lalu sebenarnya apa itu literasi digital? Istilah ini mencakup tiga kemampuan dalam menggunakan informasi dan teknologi di era digital.

Literasi Informasi
American Library Association mendefinisikan literasi informasi sebagai kemampuan yangmana seorang individu menemukan dan mengenali kapan informasi dibutuhkan, mengevaluasi, dan menggunakannya secara efektif. Literasi informasi ini penting dalam pembelajaran seumur hidup, mendorong dan menginformasikan pemecahan masalah dan pemikiran kritis. 

Ini terkait dengan kecenderungan informasi yang muncul secara online adalah fakta, data statistik, dan grafik. Dia dituntut untuk mampu membedakan antara fakta dan fiksi, terlebih dengan banyaknya informasi yang tidak valid. Jika dia tidak mampu, informasi yang didapatnya bisa diterima atau disebar begitu saja.

Literasi Media
Literasi media ini sebenarnya adalah sebuah kemampuan memahami,mengidentifikasi metode dalam pembuatan dan penyebaran informasi, sumber informasi, menganalisis juga tujuan yang ingin dicapai. Seorang individu dituntut untuk bisa membedakan kredibilitas tiap informasi dan sumbernya dengan jelas. 

Artinya dia tidak hanya memahami informasi berupa teks tetapi juga data atau gambar. Misalnya, ketika seseorang melihat iklan obat, makanan dan film setiap pergi dan pulang. Dia akan memahami pesan iklan dan bertanya tentang tujuan dan asal pesan itu muncul. Kemudian, dia akan menganalisis dan mengambil keputusan terkait pesan itu. 

Literasi Teknologi
Di era digital dan penuh akan informasi ini, seorang individu dituntut untuk memahami guna dan fungsi dari perangkat teknologi yang ada. Literasi teknologi ini berarti seorang dia tidak hanya akrab dengan informasi dan perangkat digital untuk keperluan bekerja atau belajar, tetapi juga mampu menggunakan dan memanfaatkan teknologi disertai kemampuannya berpikir kritis.

Dalam hal ini, berpikir kritis yang dimaksud adalah kemampuannya untuk menilai, memperoleh, dan mengkomunikasikan informasi dalam lingkungan yang sepenuhnya digital. Dia bisa dengan mudah memanfaatkan berbagai perangkat digital seperti komputer, smartphone, tablet. Dia mampu menggunakan antarmuka seperti email, internet, media sosial, dan komputasi awan untuk berkomunikasi, memecahkan masalah, dan memecahkan masalah di keduanya. 

Penggunaan internet dan teknologi informasi yang semakin cepat, canggih dan masif memang tidak terbendung. Alhasil kita "dipaksa" untuk memiliki kemampuan dalam menggunakannya. Satu hal penting lainnya yang perlu diingat adalah tanggung jawab kita dalam menggunakan teknologi dan informasi.

Komentar

  1. Gara-gara covid-19 pertumbuhan teknologi memang begitu pesat. Bahkan anak-anak sekarang begitu pandai dan melek teknologi. Setuju banget tu dengan statemen terakhir.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, pendampingan dr orang tua/org dewasa itu diperlukan. Jadi kita harus lebih melek ya

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a