Langsung ke konten utama

Memberi Penandawarna (Highlighter), Ada Strateginya Lho!

Memberi penandawarna pada bacaan untuk memudahkan pemahaman (Foto: Charlotte May)

 

Kita sering ya menggunakan penandawarna dalam keseharian, khususnya ketika belajar. Malahan kita sering mengoleksi banyak penandawarna untuk memotivasi diri sendiri. Selain itu, kita menggunakan metode ini untuk mengingat, memahami dan membuat hubungan antar gagasan. Tapi bagaimana dan kapan seharusnya penandawarna ini dipakai sih?

Penandawarna ini sendiri menjadi kontroversi di antara pakar pendidikan. Beberapa pakar, salah satunya Lucy Cui, menyebutkan bahwa memberi penandawarna pada teks tidak sepenuhnya efektif. Jelasnya ini bisa diakibatkan oleh ketidakmampuan pelajar memberi tanda yang tepat.

Meski begitu nih, banyak pakar juga yang menyampaikan penandawarna membantu kita ketika membaca bukan untuk ujian. Artinya ketika kita membaca dengan penuh perhatian terhadap semua gagasan yang ditawarkan atau mungkin terkait dengan informasi yang sudah dimiliki sebelumnya, penandawarna bisa membantu dengan baik.

Lalu cara terbaik untuk menggunakan metode penandawarna ini adalah dengan memerhatikan beberapa hal. 

Pertama, sebaiknya tidak menggunakan metode ini untuk pembacaan pertama sebab kita tidak atau belum mengetahui gagasan yang ditawarkan. Jadi, penandawarna bisa kita lakukan di pembacaan kedua dan seterusnya. Strategi ini akan efektif sebab pada pembacaan kedua, kita sudah mendapatkan garis besar dari gagasan atau topik yang muncul dalam suatu karya. 

Pada dasarnya menggunakan penandawarna pada buku teks atau karya sastra sih sama saja. Tetapi, buku teks biasanya memiliki judul dan subjudul bahkan glosari untuk memudahkan pembacaan.

Membaca untuk meluangkan waktu berbeda dengan membaca aktif (Foto: SHVETS Production)


Kedua, memberikan penandawarna setelah kita menyelesaikan setidaknya satu halaman atau satu paragraf. Ini memudahkan kita untuk mengidentifikasi istilah atau pernyataan yang penting atau sesuai tujuan kita membaca.

Mengidentifikasi gagasan (Foto: Pinterest)


Ketiga, sekadar membaca untuk refreshing atau meluangkan waktu tidak memerlukan metode ini; lain halnya dengan membaca untuk memahami. Artinya tujuan membaca akan membantu kita mengidentifikasi kata, frasa, istilah atau pernyataan yang mengandung gagasan tertentu. Gagasan ini, biasanya, didukung oleh pernyataan-pernyataan setelahnya atau bahkan disampaikan secara tersirat pada bagian sebelumnya.

Mengidentifikasi gagasan di setiap paragraf (Foto: Pinterest)

Keempat, menggunakan penandawarna yang berbeda untuk setiap gagasan yang berbeda sehingga kita bisa membuat klasifikasi berbagai gagasan yang ditawarkan. Misalnya saja warna merah muda untuk istilah yang mewakili gagasan, warna biru untuk gagasan pendukung, warna hijau untuk penjelasan, dan warna kuning untuk kosa kata/gaya penulisan.

Ilustrasi penandawarna berbeda (Foto: Pinterest)


4 strategi ini dapat membantu kita untuk memahami lebih mendalam terhadap suatu gagasan yang saling berkaitan baik dengan karya yang kita baca saat ini atau sebelumnya. Caranya, adalah dengan membuat ringkasan dari hasil membaca berdasarkan penandawarna yang sudah kita lakukan. Alhasil, tulisan kita pun akan menjadi lebih komprehensif dan jelas. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya Warna pada Ilustrasi Buku Anak

Sumber: mandira.id Pernahkah kita bertanya "Kenapa buku anak-anak selalu penuh warna?" Bahkan, sebagai orang dewasa, seringkali kita tertarik dengan sampul-sampul buku yang berwarna-warni. Faktanya, berdasarkan penelitian, warna memang bisa merangsang kecerdasan dan literasi pada anak.  Peneliti menyebutkan anak-anak lebih mampu mengklasifikasikan dan mengembangkan konsep-konsep tertentu di dunia nyata berdasarkan warna ketimbang bentuk dan fungsi suatu objek. Mereka dapat memahami makna simbolis dan disepakati secara universal. Misalnya ketika mereka melihat tiga warna pada rambu lalu lintas. Semua orang, secara konvensional, menyepakati bahwa lampu merah menandakan berhenti, kuning menandakan hati-hati, dan hijau menandakan jalan. Konvensi ini muncul karena manusia dengan penglihatan warna normal, tidak buta warna, bisa membedakan lebih dari enam juta warna. Artinya pengenalan visual warna bisa dilakukan sejak dini, alias ketika masih bayi. Meski begitu, sistem

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat. Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Perso

Psikoanalisis di Ranah Kritik Sastra? Bisa!

Foto: Lee Gatlin via Pinterest "Miss, ada kemungkinan nggak kalau Lolita itu yang mentalnya bermasalah dan bukan cuma si Humbert?" "Aku pernah baca kalau Alice itu kena schizophrenia, bener Miss?" "Miss, Dr. Jekyll itu ngalamin disassociated personality nggak sih?" Saya masih ingat banyak pertanyaan dari kawan-kawan mahasiswa ketika membahas salah satu kajian kritik sastra. Psikoanalisis. Entah kenapa kritik sastra ini pernah naik daun sampai-sampai hampir satu angkatan menggunakan pendekatan ini. Tiga pertanyaan di atas berkaitan dengan novel Lolita karya Vladimir Nabokov, Alice in The Wonderland karya Lewis Carroll dan Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson. Ketiganya memang memaparkan gejala-gejala masalah kejiwaan dalam alurnya.  Tokoh-tokoh dalam karya sastra tidak pernah memiliki jiwa, tetapi cara penulis membangun karakter dan karakterisasinya membuat mereka seolah hidup. Mereka hanyalah tokoh fiksi a